[MAAF TENTANG TYPO, MOHON KOREKSINYA. DAN JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK^^]
_____
Gue memang pantas dikata brengsek karena mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika gue diberikan kesempatan untuk ikut melindungi Faras dari incaran mereka.
Bodohnya Abi terlalu sibuk dan banyak mengingkari janjinya pada Faras, dia jadi sering menangis apalagi ketika tau kedua sahabatnya juga melakukan hal yang sama. Faras merasa tidak berharga dan gue masuk kedalam rasa sakit itu sebagai pahlawan.
Menarik tangannya dari rasa sepi dan membawanya untuk kembali melihat dunia yang dulu pernah kita miliki. Membawanya pergi dari intrik kota dan dari orang-orang yang menimbulkan rasa sakit itu.
Karena gue juga merasakan kepedihan itu ketika mendengar suara isak tangis Faras, dia akan memilih bungkam tanpa mau mengungkapkan. Dia mungkin akan bercerita namun tidak akan sampai selesai, dia akhir cerita dia akan berbicara.
"Ya, begitu deh."
Karena dalam lubuk hatinya dia tidak mau terlihat lemah dan berlebihan tentang masalah ini. Banyak orang seperti itu bukan, menganggap remeh masalah orang lain sebelum mendengarkan lebih banyak.
Mereka lebih banyak memabndingkan rasa sakitnya dengan orang yang tengah bercerita tentang apa yang dia alami.
Kenyataannya memang banyak orang lebih suka menjadi hakim yang memvonis sebuah kesalahan dari mulut ke mulut. Jadi jika kamu menemukan orang yang mau mendengarkanmu tanpa membandingkan masalahmu dengannya, pertahankan mereka.
Namun seorang pendengar yang baik juga bisa jadi sisi mata pisau tajam yang dapat menusuk kamu dari belakang, namun jangan terlalu termakan tentang pendapat ini. Untuk mencari orang yang dapat dipercaya dan setia sangat sulit ditahun-tahun penuh intrik kebusukan, makhluk yang ada dibumi ini.
"Ini serba dua lima, murah banget. Aku mana nemu beginian di mall--hahahaa,"ucap Faras.
Dia tertawa karena melihat harga yang terpampang, gue senang melihat Faras yang sekarang. Dia terlihat bersemangat dan penuh warna, tidak ada lagi air mata yang gue liat membasahi pipi ataupun mata merah sehabis menangis.
Hanya ada kebahagiaan tiap kali dia menoleh meminta pendapat pada gue tentang baju yang dia pegang. Hanya ada rasa antusias yang tida dia sembunyikan.
"Neng sama mas pengantin baru ya,Liatnya lengket banget."Celetuk penjual baju itu.
"Hah--Bukan pak,"
"Loh, masa sih. Saya liat-liat, masnya ini gak merhatiin si neng pas milih baju, itu tangan juga digandeng gak dilepas-lepas."
"Doain ya pak,"
"Owalahh, tentu atuh mas. Saya doakan cepat menikah kalau memang bukan pasangan suami istri.--hehe."
Faras menatapku, matanya melotot protes. Ingin menyangkal tapi gue diamkan dan membiarkan dia menghentakkan kakinya. Membayar baju yang sudah Faras pilih untuk gue juga.
Kemudian kami berjalan lagi untuk mencari celana dalam. Wajah Faras sempat memerah dan dia terus menunduk, membuang muka tidak mau menatap kearah gue. Ketika kita menemukan toko kecil yang diecer.
Faras menahan tubuhku, tangannya berada didepan dadaku yang terkejut dengan kelakuan Faras. Jantungku berdetak kencang merasakan kehangatan tangan Faras didada bidang gue, sialan. Rasa itu menyenangkan dan gue mendadak serakah untuk memiliki semua kehangatannya.
Gue pegang pergelangan tangannya dan bertanya dengan suara berat.
"Kenapa?,"
"Kamu tunggu sini, aku aja yang beli. Berbalik dan jangan lihat," ucapnya sambil meremat kaos yang gue pakai.
"Kenapa, aku juga mau beli celana dalam." ujar gue menjawab pernyataannya dengan sedikit godaan.
Tersenyum lucu melihat Faras yang telinganya mulai memerah malu. dia benar-benar malu hanya karena ingin membeli celana dalam.
"Aku malu, jadi kamu tidak usah ikut belikan. Nanti aku saja yang pilihkan... dan apa ukurannya?,"
"Serius?. Kamu yang mau belikan?"Tanya gue yang dijawab anggukan lemah.
"Oke, sekalian belajar. Sapa tau dimasa depan ini diperlukan untuk menjadi istri yang membelikan celana dalam suami-Ahhkk! kenapa dipukul?."tanya gue samil tertawa.
Ini menyenangkan dan gue suka, melihat tiap perubahan ekspresi Faras yang baru gue liat sekarang. Sebab dulu, gue gak begitu memerhatikannya.
Pada akhirnya gue melepaskan Faras dan membiarkan dia membeli sendiri. Dan gue diharuskan memunggungi tokonya, dia malu jika harus diperhatikan oleh gue, celana dalam apa yang akan dia gunakan.
Gue terkekeh membayangkannya.
.
.
Ini hari pertama kami disinis etelah bermalam disalah satu rumah milik warga yang mau menampung kami. Mereka ramah dan tidak berprasangka buruk akan kedatangan orang luar seperti kami, mereka menerima tanpa bertanya lebih jauh.
Mereka menghargai satu sama lain. 'Matahari masih tenggelam oleh kegelapan, sekarang pukul empat subuh. Dimana Faras mengetuk pintu kamar milik gue, dia berdiri sambil mengapit jaket miliki gue menghalau rasa dingin yang mengigit.
Dia bilang ingin ke kamar mandi, namun ini rumah warga didesa yang mana banyak dari mereka membuatkamar mandipisah dari rumah dan berada dibelakang bersama alam terbuka.
"Anter kamar mandi," pintanya dengan menggemaskan.
Karena wajah bantalnya masih terlihat nyata dan terlihat lucu. Dia bilang, kalau sedari tadi dia ingin buang air kecil namun tidak berani keluar. Jadi beberapa kali terbangun dia memaksakan tidur kembali menunggu pagi buta datang, namun ternyata kantung kemihnya tidak dapat menahan lagi.
Dia benar-benar kebelet ingin pergi kamar mandi.
Jadi gue berjalan didepan Faras, mendahului dia yang ketakutan melihat langit masih gelap. Melihat itu pegangan Faras pada baju gue semakin kencang, gue tersenyum dan menoleh pada Faras yang meringis ketahuan jika dia sangat takut.
Suara jangkrik dan beberapa burung malam terdengar menyeramkan bagi orang penakut seperti Faras. Gue terkekeh dan menyuruh Faras segera masuk ke kamar mandi ketika kami sampai didepan pintu kamar mandi.
Yang mana lampunya berwarna kuning, remang-remang. Menambah kesan mistis, apalagi dibelakang sana adalah hutan bambu dimana orang sini percayai, banyak penunggunya. Cerita ini dia dapat dari salah satu warga yang mengajaknya mengobrol ketika dia duduk diwarung kopi.
"Buru sana, aku tunggu sini." Suruh gue sambil menunjuk kamar mandi dengan dagu.
"Takut..."
"Kan aku tungguin, apa yang buat kamu takut?."
Dia tidak menjawab, hanya menggoyangakan badannya gelisah. Gue tau dia sudah tida tahan tapi terhalang oleh rasa takutnya. Dasar perempuan.
"Kalau aku buka pintunya saja--"
"KAMU GILA YA?,"gue berteriak sebelum dia selesai bicara.
"Ihhh dengerin dulu. Maksudku bukan itu, aku gak berani tutup pintu kamar mandinya. Kamu berbalik dan aku biarkan pintu kamar mandi terbuka, bukan terbuka lebar. Hanya membiarkan celah kecil agar aku bisa liat kamu masih berdiri diluar..."jelasnya tergesa-gesa dan malu.
"Hah... yaudah, buru kamu masuk. Lagian aku gak mungkin ninggalin kamu, udahlah. Masuk sana, aku disini."
Barulah dia berani melangkah masuk kedalam kamar mandi. Sialan, gue usap wajah gue yang terasa panas. Sedang pikiran biadab ini malah melalang buana ke hal yang tidak seharusnya gue pikirkan.
Gawat kalau sampai Faras bersama laki-laki lain yang memiliki pikiran mesum, sudah habis dia.
Hah...
Itu artinya gue harus ekstra protektif melihat tingkah konyol Faras yang lagi-lagi baru gue temukan.