UNTUK CHAPTER POV FARAS YANG AKAN DATANG DAN SETERUSNYA AKU AKAN MENGGUNAKAN 'AKU' BUKAN LAGI'GUE'. BIAR ADA PERBEDAANNYA DEH YA... DAN DARI CHAPTER INI. KITA AKAN MULAI BONGKAR SATU PERSATU..
DAN DARI CHAPTER INI JUGA, SETIAP JUDUL BAB AKAN BERBAHASA INDONESIA HIHHIHI
SELAMAT MEMBACAAA...
.
.
Duduk di perpustakaan adalah bagian dari tempat favorit gue setelah hutan pinus. Dengan leptop dan beberap buku di sebelahnya, gue berkonsentrasi untuk menyelesaikan bab terakhir dari skripsiku.
Kalian tidak salah kok, sekarang aku memang tengah menyelesaikan skripsi. Kami ingin lulus bersama, walau Abi sudah mendahului. Dia memang selalu didepan kami bertiga. Farrel pun sama, dia tengah bercumbu ria tanpa mau ambil pusing dengan lingkungan. Dia benar-benar berkonsentrasi.
Sebenarnya sekarang kami cuma ada bertiga, Salma tengah mendatangi rumah dosen pembimbingnya yang merubah tempat untuk revisi bab skripsinya.
Sedang gue sedang mengetik dengan Abi yang mendiktekan tepat duduk disebelah gue sekarang.
"Bi, pesen makan napa sih. Abis ini gue kelar nih, buruan lu Faras. Gue males nungguin kek kemarin. Awas aja bikin gue kelaperan lagi," sewot Farrel yang tiba-tiba saja meminta Abi membeli makan dan mengomel pada gue.
"Bentar lagi kok, abis ini langsung ke cafe aja. Gue juga belum sarapan, mama langsung pergi ikut papa ke luar kota," jawab gue lesu tenpa menatap Farrel dan fokus pada leptop dan suara Abi.
Kemudian kami kembali fokus pada kegiatan merevisi bab. Sampai Farrel mengangkat topik yang juga jadi beban pikiran gue akhir-akhir ini. Salma.
"Tau nggak sih. Gue udah ngerasa gak nyaman dan pengin bicarain ini. Salam semenjak dia punya pacar yang entah siapa, intensitas dia ketemu sama kita makin sedikit. Apalagi dia keliatan makin ceria dan nggak begitu memikirkan tentang perselingkuhan ayahnya. Gue ngeras... Salma menghindari kita," itu kata Farrel yang melipat dada dan menyandarkan tubuh pada kursi.
"Salma juga bersikap beda sejak dia ketemu dosen pembimbingnya. Gue rasa ada sesuatu yang dia sembunyiin. Dan...gue sempat liat, ada cupang di bagian dada yang nggak sengaja gue liat," ujar gue tak yakin pada akhir kalimat.
"Tapi, gue juga pernah liat. Dibelakang leher tepat dibawah rambut, dan dia juga lebih sering gerai rambut ketimbang dia kuncir. Gue liat ketika dia angkat rambut karena kegerahan, itu bener-bener jelas. Ada dua cupang!." Kata Farrel lagi.
"Gue rasa, Salma bertingkah seperti sugar baby." Ucap Abi, dimana gue dan Farrel berkata 'HAH' dengan kerasnya.
Sampai kemudian kami mendengar gosip beredar tentang salah satu mahasiswa dikampus kami menjadi sugar baby yang sangat dicari. Gosip ini kami dengar sepanjang jalan tiap kali ada segerombolan perempuan berkumpul, suara obrolanmerka sangat keras yang sudah pasti kami pejalan kaki yang lewat akan mendengarnya.
Dan kami saling menatap satu sama lain, mengingat pembahasan kami.
"Jangan beropini dulu. Kita perlu langsung tanya dulu," ujar Farrel melihat kekhawatiran dimata gue.
"Sama seperti tengah dalam perjalanan dijalan. Agar tidak tersesat, kita perlu bertanya. Kita perlu bertanya agar tidak ada kesalah pahaman." Tambah Abi pada akhirnya.
Dan itu sedikitnya bisa menenangkan.
.
.
Ada beberapa pasang mata yang terus-terusan menatap kearah gue dan itu sangat membuat gue tidak nyaman. Percayalah, gue rasa mereka tengah membicarakan gue. Apalagi beberapa gerombolan geng yang duduk di satu meja.
Mereka akan bergantian menatap kearah gue, menoleh untuk kesekian kalinya dan mulai bericara yang entah apa.
Seriusan, semua ini terasa sejak gue duduk dan memesan makan bersama Abi dan Farrel. Sampai Farrel buka suara tidak nyaman.
"Ini perasaan gue doang, atau emang beberapa orang terus-terusan natap ke meja kita ya?,"
Gue mengangguk mengiyakan lalu menoleh kebelakang ketika Farrel yang dihadapanku dengan mulutnya kearah dibelakang tubuhku, yang membuat beberapa perempuan disana salah tingkah karena ketahuan olehku.
Sampai Abi membuat gue dan Farrel menatapnya. Dan Abi balas menatap gue dengan tatapan yang gue nggak paham, seakan marah, iba dan sedih.
"Lu bedua emang belum tau ya? Terutama lu, Ras."
"Tau tentang?."
"Lo bener-bener nggak tau? Belum baca berita pagi ini?."
Abi kembali memastikan dan gue tentu menggeleng. Mana sempat gue cek sosial media ketika semalaman lembur mengejar bab agar segera menemui dosen pembimbing dan selesai. Gue ingin segera lulus. hahaha.
Walau sebenarnya, gue melakukan revisi skripsi gila-gilaan semalam. Itu hanya untuk mengalihkan pikiran gue tentang berita yang Gibran kasih tau ke gue. melalui pesan yang bodohnya malah gue baca.
Yang juga salah satu alasan gue nggak buka berita di sosial media, karena takut itu benar kenyataan.
Tapi, sebelum Abi kembali bersuara. Pesanan kami datang dan Farrel meyuruh kami makan terlebih dahulu dan baru membahas apa yang ganjal dari ini semua.
Gue makan dalam diam, menikmati tiap tekstur dan rasa dari makanan gue. Tapi tiba-tiba saja, makanan yang sudah gue kunyah tidak dapat gue kunyah. Tenggorokan gue rasanya terbakar dan gue terbatuk keras beberapa kali.
Sampai gue memuntahkan darah, darah ditangan gue.
Abi disebelah gue panik dan menyentuh pundak gue berteriak bertanya.
"Ras. Faras minum! Anjing!! Darah,"
"Bii..." Gue menatapnya penuh kesakitan.
Kenapa ddengan diri gue, sebab sekarang dada gue rasanya terhimpit dan sulit untuk mengambil napas. Gue kembali terbatuk terus menerus dengan gumpalan darah yang keluar mengotori baju dan tangan gue.
"Baju lo... Bi..."
Gue mengusap tidak beraturan baju Abi yang terkena darah, Farrel yang membawa mobil terlihat panik di balik kemudi. Dia terus-terusan memaki dan membentak Abi yang tidak sabaran dengan cara Farrel mengemudi.
"Ada racun di minuman Faras, Rel!!,"
"Bangsat!. Kita lengah, seharusnya kita nggak anteng-anteng aja nunggu pergerakan!!."
"Bacot! Pokoknya bawa mobil lebih cepet lagi, darahnya makin banyak--Bangke! Faras. Sadar! Lu jangan pejamin mata, tetap jaga kesadaran lo!!."
"Faras!! Kalau sampai lo tutup mata, gue nggak akan nemenin lu lagi nongki di warkop!!."
Kedua lelaki ini berisik, gue sudah nggak kuat. Rasanya terbakar, sakit dan perih. Jadi akhirnya, kegelapan berhasil menjemput gue.
.
.
Badan gue rasanya lemas dan tidak berdaya, dan ada yang aneh dari mulut gue yang kering. Ada ganjalan yang membuat gue ingin mencabutnya, jadi dalam keadaan belum sadar penuh. Gue mencoba memegang benda itu dan menaariknya.
Tapi gue lemas, sangat tidak berdaya dan lelah rasanya karena tidak dapat menarik benda ini.
"Ehkk..."
"Nak!!... Sebentar, tunggu dokter datang nak... jangan tarik selang okrigen kamu nak...hiks...."
Itu mama, gue langsung mencoba mencari dimana objek mamam berdiri.
"Ma..." Serak, suara gue tidak jelas dan rasanya sakit sekali untuk keluarkan suara.
"Ssshhh..."Gue meringis cukup keras setelah mengeluarkan suara untuk memanggil mama.
"Tunggu nak. Jangan bersuara dulu ya... kamu masih sakit..."
Kemudian, dalam keasadaran yang masih belum bisa gue gapai. Sosok yang gue kenali sebagai suster. Kemudian entah apa, dia berbicara dan kesadaran gue hilang kembali.
Entah, gue sudah tertidur berapa lama. Hanya saja. Ketika gue bangun banyak suara yang saling bersahutan masuk dalam rungu gue.
"Gue udah tau ini bakalan kejadian!!. Dan bangsatnya si Daniel ini malah diem aja, kekuasaan dia ternyata nggak berguna selama kakeknya masih hidup."
"Gue tau, firasat gue mengatakan hal buruk ketika tau Daniel adalah orang yang dijodohkan dan melamar Faras. Gue sampai gila rasanya waktu itu. Makannya, demi kebaikan dan keselamatan Faras, gue ungkap ke media. Gue langsung dapet banyak ancaman dari banyak pihak."
"Gue hanya gak nyangka, kejadiannya bakalan separah ini!. Gila, kalau kita telat datang, Faras mungkin kehilangan fungsi bicara dan kerusakan paru-paru yang parah!!."
"Gue akan turun tangan kalau gitu,"
"Jangan gegabah!! Gue bawa lo kesini bukan untukmakin buat Faras dalam bahaya. Gue masih belum memaafkan lo."
Kemudian semuanya terdengar samar-samar kembali. Gue mengenali ketiga suara berbeda itu, Farrel dan Abi ynag terdengar marah juga suara yang gue tidak yakin adalah milik mantan tunangan gue, Gibran.
Tapi gue nggak begitu yakin, sebab pada akhirnya kegelapan merenggut kesadaran gue lagi.
.
.
Dengan sedikit kesulitan menelan bubur yang mama suapkan kedalam mulut, gue menelannya perlahan, sangat pelan dan berhati-hati.
"Kapan aku boleh pulang, ma,?"
"Nanti ka, tunggu sampai tenggorokanmu lebik baik. Kamu diijinkan pulang, ini keinginan papa juga biar kamu dirawat dirumah sakit sampai lebih baik."
"Emm..."
Gue bergerak pelan mengambil remot tv di bawah bantal yang gue ambil tadi malam ketika mama tidur. Gue turun dari ranjang pesakitan yang sudah menahan gue selama dua minggu, dimana tadinya gue tidak sadarkan diri sampai lima hari lamanya.
Dokter bilang, tenggorokan gue luka lumayan parah. Dan gue tidak tau lagi selebihnya dengan apa yang terjadi pada gue, selama seminggu lebih gue juga terus menggunakan selang oksigen.
Gue bosan, tapi mama dan semua orang tidak mengijinkan gue untuk menonton. Gue juga tida di ijinkan berselancar di sosial media, itu sangat membosankan bukan?.
Jadi setelah mama menyelesaikan acara menyuapiku yang memakan waktu lam. Dia segera memberreskan semuanya dan membawa tas. Mama bilang mau menemani papa ke luar kota lagi, hanya dua hari dan mereka akan langsung pulang kerumah sakit untuk menginap.
Gue hanya mengiyakan, sudah biasa ketika gue dinomor duakan oleh mama yang selalu mengutamakan papa. Mama hanya menginap tiga kali, selebihnya mama menemani sampai sore dan pulang. Kemudian gue akan tinggal di kamar rumah sakit vip dengan Abi atau Farrel.
Gue tidak tau kabar Salma, Abi dan Farrel selalu bungkam tiap kali gue menanyakan merka tentang Salma. Mama bilang, tidak bisa meninggalkan papa. Tapi papa juga hanya mengunjungi gue ketika gue sadar pertama kali dan minggu lalu.
Papa terlalu sibuk untuk sekedar menginap dan mengunjungi anak semata wayangnya yang sakit. Tidak, gue tidak kecewa maupun sedih. Ini sudah terlalu biasa dan gue jadi dapat terus memaklumi dan mematikan perasaan gue untuk itu.
"Mama pulang ya, kamu baik-baik selama mama belum datang. Kalau ada apa-apa telepon mama ya." Mama mencium kening gue dan kedua pipi.
Beliu tersenyum teduh kearah gue sebelum melangkah keluar. Setelah tubuhnya hilang di makan pintu, gue segera menyalakan televisi.
Dan yang menyambut pertama kali adalah berita hot isu entertaiment. Tidak dulu gue pindah channel, karena dilayar itu menampilkan sosok yang sangat gue kenal. Dimana ada poto keduanya dan video berdurasi 19 detik memperlihatkan kedekatan mereka selayaknya pasangan.
Oh, tidak. Gue juga mengenali jas yang dia gunakan, itu jas yang disamakan warnanya dengan gaun gue di pesta Ulang tahun Gibran.
[Daniel Kim membawa perempuan berkewarganegaan korea bersamanya ketika mendatangi pesta pertunangan ana kedua Nugraha sekaligus ulang tahun anak bungsu keluarga Nugraha di singapura. Lalu bagaimana dengan Farasya Mahendra yang diakui sebagai tunangannya. Ada kabar beredar jika Daniel Kim membatalkan pertunangannya]
[Apalagi salah satu Keluarga Kim kini dalam terjerat masalah korupsi yang dilakukan salah satu paman Daniel Kim dan salah satu sugar baby yang menampilkan diri, karena mendapat ancaman pembunuhan angkat bicara pada publik, membuat gempar dunia bisnis]
"Faras!!." Tubuh itu segera merebut remot tv dari tangan gue dan mematikan siaran tv, dia menatap gue marah dan iba.
"Tadi itu apa?..."
Dia diam, gue pun sama. Diam sambil menatap kematanya yang kini memerah melihat gue yang kini menitikan air mata tanpa bisa gue tahan. Gue benar-benar terkejut, tentu saja. Ingin menangis tapi rasanya tercekat di tenggorokan gue yang sakit sangat tidak enak.
semua luapan emosi, kebingungan, kesal dan merasa dibodohi yang selama ini gue tahan sejak sakit, akhirnya keluar dengan isak tangis kesakitan gue. Gue benar-benar menangis sambil memegang tenggorokan sakit.
Sampai Gibran menarik tubuh gue untuk ia peluk dalam dekap. Segera gue balas memeluk, gue rengkuh dan gue raup segala kehangatannya untuk gue.
Gue marah, gue kecewa dan tidak terima. Kenapa sebanarnya, ada apa.
"Maaf. Maafin aku...,"
Gue tidak peduli, gue hanya memikirkan emosi gue dan terus menangis.
"Tolong Ra, Berhenti menangis dan aku akan jelaskan. Jangan siksa diri kamu dengan semua ini--Ra, Faras!!."
Suara teriakan Gibran adalah hal terakhir yang gue ingat, karena rasa sakit tidak terkira mengambil kesadaran gue kemudian.
.
.
MAAF KALAU ADA TYPO DAN KESALAHAN LAINNYA YA. AKU GAK EDIT LAGI, FRESH LANGSUNG UP.
TOLONG TINGGALKAN JEJAK.>_<