Rintik hujan masih membasahi sebagian besar jalan di kota London, tidak banyak mobil yang berlalu-lalang pada tengah malam itu.
Beberapa orang terlihat sedang menepi, sambil menikmati hujan yang cukup deras malam itu.
Mobil ambulans hitam itu tetap melaju pesat ditengah derasnya hujan, membawa seorang pasien darusat yang harus dengan segera dilarikan kerumah sakit terdekat.
Beberapa petugas ambulance, masih terus memantau kondisi kesehatan Abigail. Dan
tidak lama mobil itu terhenti di sebuah lobi utama rumah sakit.
Dengan sigap para petugas yang berada dekat dengan pintu masuk lobi mulai mengambil ahli. Abigail terus saja mengerang sakit, tangannya masih mengepal keras.
Seumur hidupnya Ia tidak menyangka rasa sakit yang teramat luar biasa, kini ia rasakan untuk pertama kalinya.
Untuk pertama kalinya Edward merasakan perasaan bersalah. Ia menyadari tindakannya mungkin sudah melewati batas. Bagaimanapun Abigail adalah istrinya, dan ia sedang mengandung seorang anak.
Emma dan Edward terus mengikuti kemana para staff medis membawa Abigail menelusuri lorong rumah sakit yang panjang. Langkah mereka terhenti, saat Abigail sudah memasuki ruang bersalin.
"Kita harus tunggu disini, Edward." Ucap Emma cukup lelah dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
"Hhhh....Hhh...." Edward masih mencoba mengatur pernafasannya, terduduk di kursi tunggu yang letaknya tidak berjauhan dengan ruang persalinan Abigail.
"Aku harap dia baik-baik saja, begitu juga dengan anak yang dikandungnya." Ucap Edward terdengar putus asa.
"Semua akan baik-baik saja Edward. Percayalah..."
Emma berusaha menenangkan, mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Edward. Putra sambungnya, tampak tidak menghindari rangkulan Emma.
Untuk pertama kalinya juga Edward, merasakan bahwa Emma benar-benar peduli dengan dirinya. Edward terus memegangi pelipisnya, sesekali ia merapatkan kedua tangannya. T
erus berdoa agar tidak terjadi hal buruk, apapun itu dia tidak menginginkan sama sekali.
Marioline tiba dirumah sakit dengan tergesa-gesa, setelah mendapatkan panggilan masuk dari Emma. Segera saja ia menyusul, untuk mengetahui kondisi putrinya.
"Ada apa sebenarnya? Bulan ini bukanlah waktu untuk Abigail melahirkan? Pasti telah terjadi sesusatu... Apa dia kembali bertengkar hebat dengan suaminya? Atau Edward melakukan sesuatu yang berbahaya pada istrinya sendiri? SUNGGUH BODOH!"
Terlalu banyak pertanyaan dibenak Marioline, dan dia sama sekali belum menemukan satu jawaban pun. Setelah bertanya pada bagian resepsionis mengenai keberadaan ruang bersalin.
Akhirnya ia berhasil menemukan Edward dan Emma yang sedang duduk dalam kesunyian, terlihat sekali menunggu dengan cemas.
Marioline menghampiri dua orang tersebut, langkahnya yang cepat terdengar berat. Menandakan suasana hatinya yang tidak dalam keadaan baik saat itu.
"Edward !!" Pekik Marioline.
Edward langsung berdiri tegak, wajah lelahnya memandangi Marioline yang menunjukkan rasa amarah pada dirinya.
Plak...
Sebuah tamparan keras sudah mendarat pada pipi kanan Edward, Emma yang terkejut langsung saja menghadang Marioline yang masih berusaha ingin memberikan tamparan lainnya pada putra sambungnya.
"Marioline.. hentikan!! Jaga perilakumu, ini dirumah sakit. Dan ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk kau melampiaskan semua amarahmu."
Emma memegangi pergelangan tangan Marioline, dengan sekuat tenaga menghempas tangan tersebut. Edward masih terdiam, bahkan ia sedikit menunduk dan tidak enggan memandangi wajah ibu mertuanya.
"Hhhh... Baiklah... Tapi Edward kau pantas menerima hal tadi." Jawabnya kesal, Marioline langsung saja mengalihkan wajahnya kepada Emma.
"Jika sampai terjadi sesuatu pada putriku!! Kau... dan kau..." Tunjuknya kearah Edward dan Emma.
"Jika hal itu terjadi... Aku pastikan kalian yang akan bertanggung jawab!" Ancam Marioline.
Baik Emma ataupun Edward tidak membalas perkataan Marioline, bukan karena mereka takut pada wanita itu. Tapi saat ini, mereka masih memikirkan kondisi dari Abigail dan bayi yang ia kandung.
Marioline memilih untuk duduk bersebrangan dengan mereka berdua, berusaha untuk tenang dan tetap diam.
Walaupun matanya masih menunjukkan rasa amarah pada Edward yang duduk tidak jauh didepannya.
Di tengah malam yang sepi itu samar-samar, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Membuat mereka bertiga melihat dengan penasaran.
Alan Smith dan Thomas Huxley, tiba secara bersamaan. Emma langsung saja menyambut suaminya, memberikan sebuah pelukan hangat.
Emma senang, suaminya bisa mengenyampingkan egonya saat ini, dan bisa berkumpul bersama dengan mereka disaat yang genting.
Marioline hanya bisa terdiam menatap mantan suaminya yang baru tiba, Alan Smith terlihat panik dan bingung. Baru saja ia ingin bertanya pada Marioline, tapi niatnya sudah ia urungkan.
Alih-alih melakukan hal tersebut, ia menghampiri Edward. Wajahnya tidak lebih baik dari Marioline, otot pipinya menegang sebelum ia membuka mulutnya untuk mulai berbicara dengan menantunya.
"Aku bisa menjelaskannya Alan, semua ini bukan salah Edward." Ucap Emma tiba-tiba, kentara sekali ia sedang melindungi putra sambungnya.
Edward sedikit melirik kearah ibu tirinya, masih tidak menyangka bahwa Emma masih terus mencoba membantu mengatasi masalah yang ia buat.
"Walaupun ini bukan salahmu, Edward! bukan berarti kau jadi tidak bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi dengan anakku dan juga cucuku." Ucap Alan dengan suara beratnya.
Thomas menghampiri Alan, menepuk bahunya dengan perlahan. Ia tau bagaimana kekecewaan Alan pada putranya.
"Aku paham dengan kekecawaanmu Alan, bagaimanapun juga Abigail sudah menjadi bagian keluarga Huxley, dan dia juga sedang mengandung cucuku juga."
Alan melihat wajah Thomas dengan tatapan datar, Thomas sendiri tidak bisa mendeskripsikan apakah Alan juga sedang marah pada dirinya juga?
Marioline dan Alan duduk berjejer, walaupun ada dua bangku kosong diantara mereka. Membuat batasan yang sangat jelas antara hubungan mereka saat ini.
Emma terus menggenggam tangan suaminya, sedangkan Edward sudah tidak bisa hanya duduk dengan tenang menunggu. Edward terlihat berjalan mengitari pintu tingkap yang tertutup rapat.
Mengeluh pada dirinya sendiri, kenapa hal ini bisa terjadi. Seandainya saja, ia bisa mengontrol sedikit saja emosinya. Andai saja...
Pintu tingkap putih itu terbuka secara tiba-tiba. Seorang pria tinggi dengan masker putih muncul dari balik pintu tersebut. Perlahan ia membuka maskernya, kacamatanya yang berbentuk kotak ia lepaskan dan ia kaitkan pada saku celananya.
"Hhhh...." Pria itu mendesah dengan lelah, dan menatap kerumunan orang yang berada dikursi tunggu.
"Bagaimana dengan kondisi putriku, dokter?" Marioline tampak tidak sabar, sedangkan Edward mendampingi ibu mertuanya untuk berada disampingnya.
"Untunglah, pertolongan yang cepat dan tepat berhasil menyelematkan keduanya. Ibu dan sang bayi dalam keadaan selamat." Jelas dokter tersebut.
Marioline langsung saja tersenyum senang, sedangka Edward merasa lega dengan penjelasan dokternya.
"Apa anda suaminya?" Tanya dokter tersebut dengan yakin.
"Ya, benar."
"Bayi anda lahir dalam keadaan prematur, saat ini kami masih harus meletakkannya di inkubator untuk tindakan medis berikutnya."
"Dan... Selamat..." Ucap sang dokter
memberikan sebuah senyuman.
Edward menatap dengan bingung melihat sang dokter menjulurkan tangan kanannya untuk mengajaknya berjabat tangan.
"Selamat anda memiliki seorang anak laki-laki."
***
Edward mengamati setiap pergerakan yang ditunjukkan oleh tubuh mungil tersebut. Alur pernafasannya sangat begitu lambat, sesaat Edward berpikir untuk segera memanggil perawat untuk mengecek keadaan bayi mungil tersebut.
Tapi niat itu ia urungkan, ketika melihat tanda pergerakan dari sang bayi. Tangan kecilnya mengepal dan sedikit bergeser. Tubuh mungilnya tidak mengenakan pakaian sama sekali, hanya sebuah diapers yang dikenakan menutupi area vital pada bayi tersebut.
Sebuah selang pernafasan tersambung pada salah satu lubang hidungnya yang amat kecil.
"Ahh... Apa itu menyakitkan?" Batin Edward.
Matanya masih takjub dengan kondisi bayi mungil tersebut, bayo itu dapat bertahan dengan kondisi yang memprihatinkan.
Sebuah kotak kecil menjadi tempat dimana bayi tersebut harus bisa untuk bertahan hidup, sungguh suatu hal yang membuat Edward berdecak kagum untuk berkali-kali.
"Jadi... kau sekarang sudah menjadi seorang ayah bukan? Dan aku pun menjadi seorang kakek." Thomas tiba dalam ruang inkubator, berucap dengan suara yang amat pelan.Ikut khawatir dengan kondisi cucunya.
Edward menengok kearah ayahnya, sama hal dengan dirinya. Thomas memperlihatkan raut wajah yang senang bercampur dengan haru.
"Apa yang terjadi denganmu, ayah? Usai makan malam tadi?" Tanya Edward.
"Sedikit berdebat, dan ingin mencari udara segar." Jawab Thomas, tanpa memandang balik putranya.
"Aku rasa Abigail, juga tidak tau mengenai rencana ibunya dan Paman Wade.."
"Edward... sudahlah.. cukup.. Sekarang bukan waktunya untuk kita membahas masalah ini." Potong Thomas, dan masih saja ia tidak menatap wajah Edward.
Edward kembali melihat kearah kotak inkubator. Ikut memandang bersamaan sang bayi mungil yang masih tergeletak dengan lemas.
"Bahkan wajahnya, kuakui wajah itu sangat mirip denganmu. Apa kau masih akan terus meragukannya?" Tanya Thomas lagi.
"Aku akan tetap melakukan tes DnA terlebih dahulu, memastikan apa benar dia adalah anakku atau bukan." Jawab Edward datar dan tegas.
"Bagaimana kalau memang dia benar adalah anakmu, Ed?"
Edward kembali menatap wajah ayahnya, Thomas pun mulai membalas tatapan tersebut. Mereka saling diam untuk beberapa detik.
"Apa kau tetap akan menceraikannya?" Tanya Thomas kembali. Edward masih terus terdiam dan tidak ada tanda kalau bibirnya akan berbicara. Matanya hanya sedikit berkedut, menatap lurus ke arah ayahnya.
"Beberapa waktu lalu, Alan bercerita kepadaku kalau Ella adalah putrinya.. Suatu hal yang sangat mengejutkanku dan Emma."
"Apa??" Edward terkejut dengan pernyataan ayahnya.
"Seandainya dia tau lebih awal, kalau kalian memiliki rasa. Mungkin antara kau dan Abigail tidak akan pernah terjadi apapun." Jelas Thomas.
"Hhh... Apa kau sekarang juga menyesal ayah? Setelah menentang hubungan kami dengan terang-terangan, dan mengetahui siapa Ella sebenarnya. Apa kau juga menyesalinya." Ucap Edward menyindir sekaligus marah pada ayahnya.
"Edward.. bukan begitu maksudku.."
"Sudahlah ayah, aku pun sedang tidak ingin berdebat dengan dirimu. Apapun alasan ayah menentang hubunganku dengan Ella dulu, tidak akan memperbaiki kondisi saat ini."
"Dan mengenai apa yang akan kulakukan setelah hasil tes DnA itu keluar, aku tidak perlu repot untuk melapor padamu bukan? Karena aku sudah sangat dewasa dan bertanggung jawab untuk apapun yang akan aku lakukan."
Edward membalikkan badannya, berjalan meninggalkan ruang inkubator. Meninggalkan Thomas yang masih ingin terus berbicara pada putranya.
Edward sendiri, sebenarnya memikirkan keputusan-keputusan apa yang akan ia ambil. Semua hal menjadi bahan pertimbangannya. Kembali ia mengingat wajah bayi mungil tersebut, apakah benar bayi itu adalah putranya?