Calvin sudah terbebas dari kuncian tangan Ella, tapi matanya masih menatap kesal ke arah Ella.
Merasa Ella sudah menjebaknya, dan mau tidak mau dia juga harus membantu temannya, sebuah permintaan yang sangat sulit untuk ia lakukan.
Ella baru saja tiba dari bagian belakang apartemennya, ia membawa sebuah gulungan karton berwarna putih yang panjang. Dengan hati-hati, dia meletakkan gulungan tersebut di atas meja.
Ella menyingkirkan berbagai makanan dan minuman yang berada di atas meja.
Tangannya dengan sigap menyingkap gulungan tersebut, Luna dan Calvin memperhatikan dengan rasa penasaran.
Ella menatap kedua temannya, matanya mulai memperhatikan raut wajah Luna dan Calvin.
"Selama ini belum ada yang mengetahui hal ini. Aku sudah menyembunyikan rencanaku sangat lama." Ucap Ella.
"Kau ingat Calvin, kenapa aku meminta bantuanmu agar aku bisa bekerja di Fogue?" Ella menatap ke arah Calvin yang hanya bisa terdiam dan mengangguk pelan.
"Inilah alasannya." Ella menunjuk ke arah meja, memperlihatkan foto ibunya yang tertempel dan berada di tengah-tengah karton.
"Ella apa ini? Kau membuatku takut." Ucap Calvin menatap ngeri.
"Calvin, jangan memotong penjelasan Ella!" protes Luna.
"Bagaimana aku harus memulai bercerita? Uhmmm... Karena aku percaya dengan kalian berdua, pembicaraan ini tidak ada yang boleh tahu. Siapapun itu... bahkan Alfred." Ella mengucapkan dengan nada serius.
Calvin dan Luna mengangguk bersamaan.
Ella pun mulai menjelaskan kondisi ibunya dulu, menjelaskan bagaimana asal usul ibunya yang merupakan seorang model Fogue.
Ella juga menceritakan mengenai Alan Smith adalah ayah kandungnya, dan mengenai hal tersebut tidak ada yang mengetahui kecuali kedua sahabat baiknya.
Setahu Ella, hanya Alan dan Marioline yang mengetahui kisah dia dan ibunya. Ditambah mereka berdua saat ini, Calvin dan Luna terkejut dengan cerita Ella.
Dia menceritakan bagaimana ibunya pernah dipenjara karena suatu perbuatan yang tidak pernah ibunya lakukan. Dan Ella berniat untuk mengungkap kasus tersebut.
"Woouuww... Apa kita sedang dalam drama televisi?" Ucap Calvin yang baru saja mendengar penjelasan Ella.
"Tapi Ella, bukankah kau bilang. Kalau ibumu sudah dibebaskan, karena terbukti tidak bersalah?" Tanya Luna karena merasa ada yang janggal.
"Ya, kau benar Luna. Tapi walaupun ibuku bebas, tapi tidak ada tersangka lain yang di tetapkan. Menurutku masalah ini belum benar-benar terselesaikan, bagaimana bisa mereka tidak menetapkan tersangka lainnya?" Jawab Ella yang juga masih bertanya-tanya.
"Jadi maksudmu, kau ingin menemukan siapa pelaku sebenarnya? Dan kau ingin membuktikan bahwa ibumu benar-benar dijebak oleh seseorang?!" Luna memberikan kesimpulan, dan Calvin menatap dengan takjub pada perkataan Luna yang terlihat cerdas.
"Kau benar Luna. Tidak banyak informasi yang bisa aku dapatkan, karena kasus ini sudah berlalu hingga puluhan tahun lamanya. Tapi Calvin... aku yakin kau bisa membantuku." Tunjuk Ella.
"Aku..? tidak mungkin Ella. Setelah mendengar ceritamu, sepertinya aku bukanlah orang yang tepat." Calvin menolak dengan halus.
"Aku saja belum lahir saat itu, bagaimana bisa aku membantumu untuk mengetahui siapa pelakunya?"
"Kau bisa membantuku Calvin! karena ayahmu–lah yang pertama kali membawa ibuku ke Fogue." Ucap Ella.
Calvin hanya bisa membuka mulutnya tanpa bersuara dan kembali terkejut dengan penjelasan Ella.
"Ibuku sempat mengatakan bahwa aku harus menjauhi keluarga Smith, entah apa yang ibuku takutkan saat itu. Dan aku menaruh kecurigaan besar pada Marioline, aku yakin wanita itu ada kaitannya."
***
Kediaman Huxley.
Emma Huxley, baru saja tiba di kediamannya. Tampak terburu-buru ketika ia keluar dari dalam mobilnya, melihat Alvin yang sudah menunggunya di depan pintu masuk.
"Sore Mrs. Huxley," sapa Alvin dengan memperlihatkan wajah cemas.
"Jadi dimana dia?" Tanya Emma sambil mengatur napasnya, Alvin semakin menunduk dan tidak berani menegakkan wajahnya.
"Aku sudah berusaha untuk menyembunyikan semuanya di gudang, sesuai dengan perintah Mr.Huxley. Tapi aku sangat terkejut..." Alvin terdiam dan masih menunduk takut.
"Ada apa Alvin, jelaskan..!"
"Aku terkejut karena Nona Clarissa, sudah menemukan semua barang milik nyonya Alicia. Aku sudah berusaha mencegahnya, tapi Nona Clarisaa sangat emosi dan sekarang ini dia masih berada dalam kamarnya?"
Emma menyentuh dadanya sendiri, penjelasan Alvin benar-benar membuatnya perasaannya menjadi tidak nyaman. Ada rasa cemas yang meliputi hatinya saat itu, Emma pun masuk dengan tergesa-gesa ke dalam kediamannya. Ia harus segera menemui Clarissa saat ini.
***
flashback
Clarissa kecil, saat itu berusia delapan tahun. Terbangun karena mendengar suara teriakan yang cukup nyaring memekakkan telinganya. Matanya mengerjap, dan ia usap dengan cepat sambil memperhatikan kondisi sekitarnya.
Clarissa menatap seisi kamarnya yang gelap, dan ia semakin memegangi erat boneka kelinci birunya.
Suara teriakan itu masih saja terdengar, dan Clarissa semakin penasaran dengan asal suara tersebut.
"Bukankah itu suara mommy?" ucapnya pelan.
Clarissa sudah menurunkan kedua kakinya, berjalan dengan langkah kecil ke arah luar kamar.
Kamar kakaknya Edward, berada dekat dengan kamarnya. Dia pun membuka pintu kamar Edward, melihat kakaknya yang masih tertidur pulas di balik selimut yang tebal dan hangat.
"Ed... Edward...?" Panggil Clarissa dengan suara pelan.
Tapi Edward sama sekali tidak terbangun dan suara nyaring kembali terdengar, membuat Clarissa memutuskan untuk tidak membangunkan kakaknya.
Dia pun melangkahkan kakinya lebih jauh lagi, mencari sumber suara yang membuatnya terbangun di tengah malam yang sepi.
Clarissa sudah mengarah ke arah ruang baca, sekarang dia tahu siapa yang membuat keributan di tengah malam itu. Ia melihat kedua orang tuanya yang sedang bertikai dengan sengit.
"Thomas!!! Apa kau benar-benar akan meninggalkanku?!" Ucap Alicia dengan histeris, Thomas sudah menunjukkan ekspresi yang tidak ramah kepada istrinya.
"Alicia, berapa kali kubilang. Aku sudah tidak bisa melanjutkan pernikahan ini!" Ucap Thomas.
"Apa kau tidak memaafkanku Thomas!! Sudah kubilang aku menyesalinya... Aku sudah tidak lagi berhubungan dengannya...."
"Alicia!! CUKUP!!!" Hardik Thomas.
"Apa karena wanita itu? Kau menjadi tega meninggalkanku dan bagaimana dengan anak-anakku?" Teriak Alicia kembali, sambil mendekat ke arah suaminya yang masih memalingkan wajahnya.
Thomas Huxley terlihat sangat kecewa, tapi tidak mungkin dia menyakiti Alicia. Meskipun wanita itu sudah memohon dan menyesali perbuatannya.
"Mengapa kau tega melakukannya, Thomas? Mengapa kau mengkhianati pernikahan kita?" Alicia mencoba menyentuh wajah suaminya, tapi Thomas sudah dengan cepat memegangi kedua tangan Alicia.
"Alicia! Apa perlu aku ingatkan siapa yang mengkhianati untuk pertama kalinya. Siapa yang sudah tidur dengan pria lain, apa perlu kuingatkan kau pergi melancong dengan KAKAKKU SENDIRI!!!"
"Tenanglah Alicia, setelah kita bercerai!! Kau masih bisa bertemu dengan anak-anak." Ucap Thomas, dan berjalan melewati istrinya.
"MAU KEMANA KAU THOMAS?? KAU AKAN PERGI MENEMUI WANITA ITU??!!"
"Alicia asal kau tahu, Emma bahkan lebih baik dari dirimu!! Bahkan dia tidak tega menghancurkan pernikahan kita." Ucap Thomas kemudian berlalu meninggalkan ruang baca.
Clarissa yang sadar ayahnya berjalan menuju luar, langsung bersembunyi di balik tembok.
"AKU LEBIH BAIK MATI THOMAS... KAU TIDAK BISA MENINGGALKANKU SEPERTI INI!!"
Alicia mulai histeris, Thomas mendengar suara Alicia, tapi ia tidak peduli. Dan tetap meneruskan langkahnya untuk segera keluar dari dalam rumah.
Setelah melihat ayahnya sudah menuruni anak tangga, ia pun pelan-pelan mengendap masuk kedalam ruang baca.
Clarissa melihat ibunya sedang bertekuk lutut, dengan posisi menghadap ke arah jendela luar.
Alicia sama sekali tidak bergerak dan tidak bersuara, ia masih mempertahankan posisi bertekuk lututnya. Alicia sendiri juga tidak sadar dengan kehadiran putrinya, yang sudah mengendap-ngendap masuk dan kali ini Clarissa sudah berada di balik punggungnya.
Clarissa memperhatikan punggung ibunya, dan masih belum berani untuk bersuara. Boneka kelincinya masih ia peluk dengan erat. Baru saja Clarissa ingin menepuk pundak ibunya, tapi hal yang terjadi berikutnya sudah lebih mengejutkan.
"DOORRRRR...!!!"
Hanya beberapa detik yang lalu, ketika Alicia sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, saat melihat Thomas berlalu meninggalkannya di ruang baca. Ia berjalan memutari meja milik Thomas, dan membuka salah satu laci milik suaminya.
Dia menemukan pistol milik suaminya, meraih dan menggenggamnya dengan hati-hati. Alicia pun menatap ke arah jendela luar, sebuah kesunyian yang kali ini menjadi temannya.
Alicia menekuk kedua lututnya, pistol yang ia genggam sudah ia letakkan kedalam mulutnya. Air matanya sudah mulai meleleh lagi, ia sudah menempatkatan posisi jari jemarinya. Matanya ia pejamkan, dan kembali tetesan air matanya berlinang.
Tubuh Alicia langsung jatuh tersungkur dengan cepat, matanya masih terbuka untuk beberapa detik dan ia bisa melihat putrinya yang sudah bersimbah darah.
Itu hanya terjadi tiga detik, selanjutnya mata Alicia langsung terpejam dan untuk selama-lamanya.
Para pelayan keluarga Huxley terbangun dengan suara tersebut, termaksud Edward Huxley.
Alvin dengan tangkas, menggendong Clarissa dan membawanya untuk menjauh dari ruang baca. Edward pun tampak histeris, dan ia mulai ditenangkan oleh pelayan lainnya.
**Flashback end
Kediaman Keluarga Huxley.
Emma melihat pintu kamar Clarissa tidak terbuka, dengan hati-hati ia masuk kedalam kamar tersebut. Ia menemukan Clarissa sedang berada di lantai dekat tempat tidurnya, Clarissa sedang mengamati banyak pigura foto.
"Clarissa...?" Panggil Emma dengan sikap hati-hati.
"Kau tahu, bu? Dulu sekali, aku pernah bertanya-tanya. Mengapa tidak ada satupun foto kecilku bersama denganmu? Aku sempat berpikir, apakah kau tidak pernah menyayangiku?" Ucap Clarissa masih memandangi salah satu foto bayinya, seorang wanita yang jelas wajah Alicia, sedang menggendong bayi tersebut.
Jelas sekali bukan wajah Emma yang berada dalam foto tersebut.
"Aku pikir itu adalah sebuah mimpi buruk, tapi kenapa mimpi itu terus saja datang. Aku melihat kau bersimbah darah, dan suara ledakan pistol itu terlalu nyata jika disebut sebagai mimpi."
Emma sudah berada dalam jarak dekat dengan Clarissa, ia pun menyentuh bahu Clarissa.
"Clarissa, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Emma dengan tetap berusaha tenang.
Clarissa menghardik tangan Emma dengan kasar.
Terlihat matanya yang sembab, karena ia sudah menangis dan karena dia juga sudah mengingat semuanya.
"SIAPA KAU?!" Ucap Clarissa dengan sorotan matanya yang tajam.
"Clarissa... aku ibumu..." Jawab Emma khawatir.
"KAU BUKAN IBUKU?! SIAPA KAU?!"
"Berani-beraninya kau mengaku sebagai ibuku!"
"SIAPA KAU!!"