Isa dan Dina menghampiri Ny. Zemira dan membantunya berdiri, Isa kemudian mengambil obat yang hampir dihancurkan oleh Ny. Zemira tadi.
"Apa yang ibu lakukan?" tanya Isa. "Ini bukan solusi meskipun rasa obat ini sangat tidak enak," sambungnya. Sementara Dina hanya diam menatap Tamara, ia masih tidak menyangka kalau besan calon mertuanya tersebut akan mengambil tindakan seperti tadi.
Mungkin Ny. Zemira salah, tapi Tamara memanglah terlalu berlebihan. Ny. Zemira tidak merespon Isa, dengan kata lain ia hanya diam.
"Ada apa?" Jhana dikejutkan dengan kehadiran Salma yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya.
"Hei!" Jhana benar-benar terkejut, sampai-sampai ia mengelus-elus dadanya. "Kau ini!" lanjutnya.
"Hehe." Salma hanya terkekeh kecil.
"Kukira kau tidak akan datang."
"Aku datang karena kau mengatakan kebenaran padaku."
"Hah?"
"Arvin membuat semuanya jelas."
"Oooh."
"Dengar, aku mungkin terlihat bersekutu denganmu, tapi secara garis besar, aku hanya membantumu untuk menjalankan niat baikmu, kau mencoba untuk memperbaiki kesalahanmu di masa lalu, walau kita tahu kalau semuanya tidak akan sama seperti semula, tapi aku tidak bisa membiarkan kejahatan menang di sini. Dan kau harus pastikan kalau kau akan pergi setelah semuanya selesai, kesalahanmu di masa lalu, kurasa tidak akan pernah bisa membuatmu benar-benar berada di sini lagi."
"Aku sudah memikirkan semua itu jauh sebelum kau datang ke kehidupanku, jadi jangan khawatir, aku bukan orang yang suka mengingkari janji."
"Baiklah, ada apa di sini? Kenapa semua orang berkumpul di sini? Dan siapa wanita tua di dekat bibi Zemira itu?"
"Akan kujelaskan padamu apa yang kuketahui, ayo kita masuk."
Jhana dan Salma lantas masuk ke dalam.
"Isa, kurasa kita harus membawa bibi Zemira ke kamar, sebaiknya jangan bertanya yang macam-macam dulu padanya," usul Dina.
"Baiklah." Isa setuju dengan Dina, mereka berdua pun lalu membawa Ny. Zemira ke kamarnya.
***
Raya akhirnya sampai di SunMor, dan ia disulitkan untuk berjalan karena tempat itu tiba-tiba menjadi sangat padat. Orang-orang berkumpul di satu tempat dan membuat jalanan menjadi macet sebab para manusia yang sedang beraktifitas di sana tumpah ke jalan.
"Ada apa ini?" tanya Raya pada salah seorang pengunjung.
"Saya tidak tahu," jawab si pengunjung tadi. Raya pun kemudian memutuskan untuk menerobos kerumunan manusia itu dan pergi ke pusat kerumunannya.
Wanita itu terkejut saat mengetahui bahwa Wanda sedang menjadi bulan-bulanan para pengunjung SunMor dan inilah hal yang mengakibatkan jalanan menjadi macet serta sesak.
'Apa yang perempuan ini lakukan?' batin Raya, ia memilih untuk tidak menolong Wanda.
"Saya bersumpah! Ini bukan uang palsu!" Wanda berseru.
"Ini bukti! Bicara dengan bukti!" Seorang pria paruh baya melawan Wanda sembari membawa Money Detector yang berisi selembar uang Rp. 100.000. Alat itu menunjukkan bahwa uang yang ada di dalamnya palsu, dan tampaknya itu adalah uang Wanda dari Khansa.
"Pak! Saya menerima uang ini dari seseorang-!"
"Halah! Jangan banyak alasan! Kalau salah ya salah saja! Giliran sudah ketahuan menipu, malah mengarang cerita!"
Baru saja Wanda akan menjawab lagi, tiba-tiba ada beberapa Polisi menerobos keramaian itu.
"Mana yang mengedarkan uang palsu?" tanya salah seorang Polisi.
"Ini, Pak! Penjarakan saja lama-lama!" jawab seorang wanita yang tampaknya juga seorang pedagang di SunMor, ia menunjuk Wanda.
"Dia belanja ratusan ribu di toko pakaian saya, dan semua uangnya palsu, Pak!" Pria yang melawan Wanda tadi angkat suara juga.
"Dia juga beli makanan di tempat saya, Pak!"
"Dia juga beli minuman pakai uang palsu di gerai saya, Pak!"
"Aksesoris di gerai saya juga dibelinya pakai uang palsu, Pak!"
"Penjarakan seumur hidup saja kalau bisa, Pak!"
Para pedagang yang menerima uang palsu dari Wanda kompak memojokkan Wanda yang sebenarnya juga ditipu oleh Khansa. Seorang Polisi lain pun dengan tanggap langsung memborgol kedua tangan Wanda.
"Tapi, Pak, saya dijebak! Saya ditipu!" Wanda memberontak.
"Mohon jelaskan di kantor Polisi saja, menjelaskan di keramaian seperti ini malah akan membuat semuanya menjadi kacau," ucap Polisi yang memborgol tangan Wanda sambil mengambil koper uang Wanda dari tangan wanita itu.
Wanda pun kemudian dibawa ke kantor Polisi oleh para Polisi tersebut. Mobil Polisi itu pergi dengan suara sorakan ratusan orang yang ada di sana, sebab tak hanya pedagang muda, Wanda juga telah berbelanja menggunakan uang palsu pada pedagang-pedagang yang lansia dan penglihatannya kurang jelas.
'Apa yang sebenarnya terjadi?' batin Raya, ia benar-benar tidak mendapatkan pemikiran tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
***
"Baiklah, aku pulang dulu, ya." Khansa berpamitan pada Arvin. Arvin hanya mengangguk sembari tersenyum.
Seusai Khansa pergi, Yahya menghampiri Arvin seraya melihat jam.
"Kenapa Wanda belum kembali, ya?" ujar Yahya pada Arvin.
"Waktu istirahatnya kan belum habis, jadi wajar saja jika dia belum kembali," kata Arvin.
"Tapi, dia selalu sudah berada di sini setengah jam sebelum jam istirahatnya usai."
"Mungkin dia sedang ada urusan mendadak. Sudahlah, tidak usah dipikirkan, yang terpenting dia ada saat jam istirahatnya berakhir."
"Hmm, kau benar juga."
***
"Astaga, kenapa banyak sekali orang jahat di rumah ini. Apa kau yakin tentang bibi Tamara?" tanya Salma pada Jhana, mereka berdua sedang berada di lantai 3 sekarang, Jhana sedang mencuci pakaian.
"Aku belum punya bukti, tapi aku sudah yakin 100% bahwa dia juga memiliki niat yang tak kalah buruk dari anaknya terhadap keluarga ini. Tapi entah apa tujuannya," ucap Jhana.
"Lalu bagaimana dengan bibi Zemira? Kau bilang bibi Zemira juga sudah memberikan tanda-tanda kalau dia sedikit mempercayaimu, kan?"
"I-" Jhana berhenti berbicara saat mendengar suara langkah kaki yang berjalan menuju lantai 3.
"Masuklah ke kamar Kevlar dan Bunga, cari buku nikah atau kartu keluarga mereka, aku akan mengurus yang satu ini," suruh Jhana pada Salma.
"Tapi, siapa yang datang?"
"Sudah pasti bukan Kevlar dan Bunga, mobil mereka belum datang, jadi kau aman."
"Baiklah, kuharap aku bisa mendengar percakapanmu dengan orang ini dari dalam." Salma lalu masuk ke dalam kamar Kevlar dan Bunga.
Jhana pun lantas melanjutkan pekerjaannya dan berpura-pura terkejut dengan kehadiran Ny. Zemira. Ya, orang yang berjalan menuju lantai 3 tadi adalah Ny. Zemira. "N-nyonya?"
"Aku mengetahui kebenarannya sekarang," ujar Ny. Zemira.
"Maksudnya?"
"Kau benar tentang Tamara, tapi aku mengetahui hal ini karena diriku sendiri, aku tidak mempercayaimu begitu saja, dan bukan kau yang membuatku tahu dengan kebenaran tentang Tamara."
"Tapi, memangnya apa yang anda lakukan? Bukankah tadi anda sedang berada di kamar anda setelah hampir menghancurkan salah satu racun Nyonya Tamara?"
"Isa dan Dina meninggalkanku setelah merasa aku sudah cukup tenang, jadi aku ke sini untuk menceritakan semuanya padamu."
"Bagaimana dengan Tuan Farzin?"
"Dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang, aku tidak mendapatkan halangan atau pun pertanyaan darinya, aku pun tidak mengatakan apa-apa padanya."
"Ok, baiklah. Apa yang ingin anda ceritakan pada saya?"
"Tentang obat-obat itu, aku tidak meminumnya kemarin sore dan malam-"
"Itu karena anda percaya pada saya, bukan?" Jhana menyela.
"Sudah kubilang kau tidak membawa pengaruh apa-apa pada pemikiranku."
"Baiklah, baiklah." Jhana sedikit terkekeh.
"Aku tidak meminum obat-obat itu karena rasanya yang memang seperti racun, jadi aku meragukannya."
"Karena saya memberitahu anda tentang Nyonya Tamara."
Ny. Zemira kali ini tidak mempedulikan Jhana. "Jadi, aku membuat rencana untuk membeli sebotol obat yang berisi sekitar 30 butir yang mirip secara kemasan dan bentuk salah satu obatku."
"Tadi pagi itu?"
"Ya, aku membawa serta racun-racun itu. Rencanaku adalah untuk mengamati reaksi orang-orang ketika aku seolah berusaha untuk menghancurkan salah satu obat."
"Padahal yang anda hancurkan adalah obat lain yang anda beli tadi pagi?"
"Ya, aku berpura-pura stress dengan obat-obat itu. Dengan melakukan hal itu, aku jadi tahu bahwa Tamara yang memberikan reaksi yang sangat berlebihan memang berusaha untuk membunuhku secara perlahan. Aku mengerti, aku mengerti bahwa dia telah mengganti obat-obatku dengan racun, dan tampaknya harapan satu-satunya bagiku untuk sembuh sekarang adalah supmu."
"Lalu apa yang akan anda lakukan dengan racun-racun itu?"
"Aku belum punya bukti tentang Tamara, tapi aku yakin 100% bahwa obat-obatku memang telah ditukar olehnya, karena itu aku tidak akan terburu-buru, aku tetap akan menyimpan obat-obatan itu."
"Baiklah, apa Nyonya Tamara sudah berbicara lagi dengan anda?"
"Belum, sepertinya dia merasa tidak enak padaku."
"Tapi setidaknya anda sekarang sudah tahu kepada siapa anda harus berhati-hati, kan?"
"Ya, dan kau masih masuk dalam daftarnya. Namun apapun itu, aku tetap ingin berterima kasih padamu, kau menyelamatkan nyawaku, dan aku ingin meminta maaf soal tamparan Arvin, itu pasti sangat sakit, kan?"
"Tidak, ini biasa saja, tidak usah dipikirkan lagi."
"Kau bohong, kau pasti masih sering menangis karena tamparan itu, kan?"
"Mohon maaf, Nyonya, tapi saya lebih tangguh dari pada anda," canda Jhana.
"Apa maksudmu?"
"Oh, ayolah, saya tahu jika anda tahu kalau saya mendengar percakapan anda dengan Tuan Arvin saat kalian berdebat tentang Nona Salma, dan itu alasan anda kuranh menyukai saya, kan?"
"Ya ampun, kau ini terang-terangan sekali."
"Hahaha."
"Tapi, kenapa kau bisa begitu dekat dengan suamiku? Bahkan setelah kau mengetahui tentang masa lalunya."
"Karena saya tidak akan pernah membenci orang yang tidak membenci saya, tidak peduli jika orang itu dulunya membenci saya atau tidak, tapi jika sekarang dia tidak membenci saya, maka saya tidak akan menilainya dengan buruk. Tuan Farzin tidak pernah membenci saya, dia selalu suka dengan kehadiran saya, jadi saya pun membalas hal itu dengan sikap yang tak kalah baik."
"Huft, begitulah dia. Entah kenapa dia selalu menyukai orang yang salah."
"Hahaha."
"Sampai sekarang aku masih tidak betul-betul mengerti dirinya. Dia selalu mengharapkan kehadiran seseorang yang sangat ku benci lagi di kehidupannya."
Jhana hanya bisa tersenyum miris mendengar hal itu, karena ucapan Ny. Zemira barusan memang ditujukan padanya sebagai dirinya sendiri.
"Yasudah, lanjutkan pekerjaanmu, aku tidak akan menganggu," sambung Ny. Zemira.
"Baiklah, hati-hati ya, Nyonya," ujar Jhana.
"Sekarang aku tidak akan bingung lagi apa maksudnya itu."
"Hahaha, untungnya saya tidak menangis ketika mengatakan itu tempo hari, ya. Kalau tidak, sudah pasti anda akan memikirkan itu sepanjang malam."
Ny. Zemira kemudian terkekeh, ia lalu turun dan meninggalkan Jhana. Setelah memastikan keadaan di luar aman, Salma lantas keluar dengan membawa kartu keluarga Kevlar dan Bunga.
"Woah, cepat sekali kau temukan ini," kata Jhana saat Salma memberikan kartu keluarga tersebut padanya.
"Ayahku adalah mantan Detektif kampung selama masa hidupnya, dia mencari hewan ternak warga yang hilang dan berhasil menangkap para pencuri di kampung kami, jadi kurasa bakat melacaknya menurun padaku," ujar Salma.
Jhana hanya tersenyum mendengar hal itu, ia lalu berniat untuk melihat kartu keluarga tersebut, namun Salma kembali bersuara.
"Aku mendengar percakapanmu dengan bibi Zemira."
"Ya, lalu?" Jhana terlihat bingung.
"Apa maksud dari 'saya tahu jika anda tahu kalau saya mendengar percakapan anda dengan Tuan Arvin saat kalian berdebat tentang Nona Salma'?"
Jhana sontak mengernyitkan dahinya. "Arvin tidak menceritakan soal sikap keluarganya yang sedikit tinggi hati padamu?"
"Dia menceritakan hal itu padaku, memangnya kenapa?"
"Ibuku dulu menolakmu dengan keras, kau tidak tahu soal ini?"
Salma menjawab Jhana dengan menggelengkan kepalanya. Sebab pada penjelasan yang diberikan Yahya mengenai Khansa, Yahya tidak memberitahu bahwa Ny. Zemira awalnya bekerja sama dengan Khansa.