Mona menutup matanya untuk melupakan tentang kejadian itu. Ia kemudian sadar bahwa ia telah membuat Dina heran.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Dina pada Mona.
"Y-ya," jawab Mona.
"Apa yang terjadi?"
"Aku ... Aku hanya teringat tentang mimpi burukku, di dalam mimpiku itu, aku tenggelam di sini dan malah mengingatnya sekarang."
"Ooh, begitu rupanya. Sudahlah, lebih baik kau dan yang lainnya jangan bermain di sini."
"Baiklah."
***
Sementara itu, di ruang tamu, Tamara dan Raya juga Bunga sedang menonton TV bersama Ny. Zemira yang sedang menganyam. Saat menganyam, pandangan Ny. Zemira tiba-tiba menjadi buram, padahal ia sudah menggunakan kacamata dan membuat jari telunjuknya tertusuk oleh jarum.
"Aw." Ny. Zemira mengaduh kesakitan, dan satu-satunya orang yang khawatir hanyalah Bunga.
"Ibu, ada apa?" tanya Bunga.
"Jari ibu tertusuk jarum, tidak apa, ini hanya luka kecil," jawab Ny. Zemira sembari melepaskan kacamatanya dan mengkucek-kucek matanya. Raya lantas menatap Tamara yang terlihat senang dengan hal ini.
"Berhentilah menganyam dulu, kau sudah tua, meskipun kau memakai kacamata, rabun tetap rabun, kan?" usul Tamara.
"Ya... Mungkin sebaiknya aku memeriksa pekerjaanku saja di ruanganku," ucap Ny. Zemira.
"Tidakkah lebih baik ibu tidur siang saja?" ujar Bunga.
"Ibu masih memiliki pekerjaan, ibu harus memeriksa laporan dari Kevlar dan lain sebagainya, selama itu ibu tidak bisa tidur," kata Ny. Zemira.
"Tapi Dokter menyarankan ibu untuk banyak istirahat."
"Aku yang lebih tahu bagaimana tubuhku."
Bunga kemudian terdiam. "Baiklah, terserah ibu saja."
'Kenapa dia tersenyum?' batin Raya yang merasa risih dengan senyuman ibunya.
'Bagus, bagus sekali. Racun-racun itu bekerja dengan sangat baik, aku sama sekali tidak rugi untuk membelinya,' pikir Tamara yang tahu jika kejadian yang barusan menimpa besannya adalah efek dari beberapa racun berbentuk obat yang dibelinya.
***
Malam akhirnya tiba, Dina mendapatkan surat dari Jhana di tasnya sebab Jhana menyelundupkannya di sana. Dina membaca surat itu di dalam hatinya saat ia bersiap untuk pulang ke kostnya. Tanpa disadari oleh gadis itu, ia telah membuat calon suaminya menunggunya.
Isa yang sudah siap dengan mobilnya pun kembali masuk ke kamarnya karena Dina tak kunjung turun, dan benar saja, ia mendapati gadis itu masih di kamarnya dan sedang membaca sebuah surat.
"Dina? Kenapa kau lama sekali?" Isa langsung bertanya saat baru membuka pintu kamarnya.
"Isa?" Dina secara spontan menoleh ke arah calon suaminya itu. "Masuklah," lanjutnya.
"Kenapa?"
"Tutup dulu pintunya."
Isa lalu menuruti perkataan Dina, dan menghampiri calon istrinya tersebut setelah melakukannya.
"Baca ini," suruh Dina.
"Kau yakin ini dari kak Jhana?" tanya Isa usai membaca surat itu.
"Ya, soalnya aku pernah mendapatkan surat juga darinya sekitar dua minggu yang lalu di area luar mansion, ketika itu Mona melihatnya di gerbang, tapi dia langsung pergi, sedangkan aku tidak sempat melihatnya. Aku percaya kalau itu surat darinya karena area luar mansion saat itu sangat sepi, tidak ada yang menjaga, sehingga wajar saja jika dia bisa masuk."
"Apa kau mendapatkan surat ini dari area luar juga?"
"Tidak, surat ini ada di tasku."
"Itu artinya dia menaruhnya langsung di tasmu?"
"Oh, astaga, aku baru kepikiran tentang hal itu. Bagaimana bisa dia masuk ke dalam mansion?"
"Sepertinya bukan dia, tapi seseorang di sini. Ada yang bekerja sama dengannya di mansion ini."
"Siapa? Anak-anaknya?"
"Aku juga menduga hal yang sama, tapi kenapa dia tidak membawa anak-anaknya pergi dari sini saja?"
"Itu berarti bukan anak-anaknya yang menaruh surat ini. Lalu siapa?"
Mereka berdua kemudian terdiam sesaat.
"Dari dulu keluargaku selalu tidak menyukai Karin, apa kau berpikir kalau dia orangnya?" ujar Isa.
"Entahlah, aku tidak benar-benar mengetahui sifatnya. Kudengar dari orang-orang kalau dia sangat memuakkan, tapi entah kenapa aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya," ucap Dina.
"Hmm, yasudahlah, ayo kita ke kostmu saja, kita butuh istirahat. Kita bisa lanjut membicarakan hal ini besok."
"Baiklah."
***
Di rumah makan Populer, semua pekerja sudah pulang kecuali Arvin, Salma dan Yahya. Yahya membiarkan Arvin dan Salma berbicara empat mata di dalam, sedangkan ia menunggu kedatangan Pak Toni di luar.
Jika Yahya berpikir bahwa Salma dan Arvin akan berbicara panjang lebar dan bertengkar, maka sepertinya ia salah. Keduanya justru terjebak di keheningan. Tidak ada yang memulai percakapan, jadi mereka hanya tatap-tatapan setelah beberapa menit memiliki waktu untuk berbicara.
Tak lama kemudian, terlihat air mata Arvin menetes, dan ya, bahkan setelah ia menangis, ia tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
"Maaf, aku jadi cengeng seperti ini," kata Arvin sembari menghapus air matanya. "Sangat memalukan bagiku untuk menangis di hadapan seorang wanita," sambungnya.
"Tidak apa, aku mewajarkan itu," ucap Salma.
"Terima kasih. Pada awalnya kupikir aku akan sanggup memuntahkan segala perasaanku di hadapanmu, tapi ternyata tidak, dan aku malah menangis seperti ini."
"Aku ... Aku ... Aku hanya ... Uh," lanjut Arvin, ia kembali mengeluarkan air matanya.
"Kau butuh waktu, jangan terlalu buru-buru. Jangan khawatir, aku akan selalu ada untuk mendukungmu," ujar Salma.
Mendengar hal itu, Arvin merasa sedikit lebih tenang dan sekarang dan mulai berhenti menangis, ia tersenyum kepada Salma sekarang. "Terima kasih untuk semuanya."
"Sama-sama." Salma menjawabnya dengan senyuman juga.
"Kau benar, keadaan sekarang belum memungkinkanku untuk menceritakan isi hatiku, tapi ketahuilah, aku akan selalu menyayangimu sebagai seorang pasangan, bukan teman."
"Dan aku akan selalu menghargai perasaanmu kepadaku."
Arvin tersenyum. "Ok, bisakah aku meminta tolong kepadamu?"
"Apa itu?" tanya Salma.
"Tolong jangan beritahu keluarga kita tentang semua ini, selama aku butuh waktu, mereka belum boleh mengetahuinya. Kumohon bersikaplah seperti biasa di hadapan mereka seolah tidak terjadi apa-apa diantara kita."
"Aku tahu itu, aku sudah memikirkannya."
"Baiklah. Kau mau kuantar?"
"Tidak usah, terima kasih."
"Ok, terserahmu saja."
"Aku... Pamit, ya?"
"Hati-hati dijalan."
Salma kemudian hanya tersenyum, ia lalu pulang ke rumahnya. Setelah melihat Salma pergi, Yahya masuk menghampiri Arvin.
"Jadi... Semuanya sudah berakhir?" tanya Yahya.
"Mungkin," jawab Arvin.
"Ada apa?"
"Entah kenapa aku tidak bisa menjelaskan kepadanya tentang apa yang ingin kujelaskan kepadanya, hal itu terasa sangat sulit dilakukan."
"Kenapa tidak menceritakannya kepadaku? Siapa tahu aku bisa membantu."
"Salma tidak tahu bahwa Khansa adalah orang yang awalnya disuruh ibuku untuk memisahkanku darinya, dan hal ini yang paling sulit untuk kujelaskan kepadanya."
"Tinggal katakan saja, apa susahnya? Kalau kau tidak bisa, biarkan aku yang mengatakan kepadanya. Bukankah kau ingin memberikan penjelasan kepadanya bahwa kau tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Khansa?"
"Ya, tapi... Semuanya tidak semudah yang kau pikir."
Yahya mengernyitkan dahinya.
"Aku tidak terlalu terbuka kepada Salma," sambung Arvin.
"Apa maksudmu?" tanya Yahya.
"Aku tidak pernah menceritakan kepadanya kalau ibuku sempat meminta bantuan Khansa untuk memisahkanku darinya sebelum akhirnya ibuku bisa menerimanya. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya tentang Khansa meskipun sudah berhari-hari aku bertemu dengan Khansa, sampai akhirnya dia tahu sendiri kalau aku punya seorang teman bernama Khansa. Dan entah kenapa saat aku terus merahasiakan tentang pertemuanku dengan Khansa, aku merasa tertekan dan merasa bersalah," papar Arvin.
"Aku tidak mengerti perasaan apa ini, aku merasa takut, bahkan aku tidak bisa menjelaskannya kepadamu secara jelas. Aku...." Arvin tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Kau takut apa? Kenapa kau takut jika kau merasa kalau kau melakukan hal yang benar dengan membantu Khansa?"
"Aku tidak mengerti kenapa, aku marah saat aku menyadari kalau Khansa sebenarnya datang untuk memisahkanku dari Salma, lalu aku berbicara empat mata dengan ibuku dan ibuku membuat keputusan untuk membatalkan permohonannya kepada Khansa untuk memisahkanku dari Salma. Kemudian aku malah membantu Khansa-"
"Kau tidak salah untuk membantunya!" sergah Yahya.
"Aku tahu, tapi ketika aku membantunya, entah kenapa ada perasaan penyesalan dan malu karena aku membantu orang yang berusaha aku hilangkan dari hidupku. Aku seperti menyesal karena telah membantunya karena sebelumnya aku membuat ibuku membatalkan persetujuannya dengan Khansa, dan saat ibuku menyetujui hubunganku dengan Salma, aku malah berkeliaran bersama Khansa, itu kenapa aku tidak pernah bisa memberitahu kepada Salma bahwa aku sedang membantu seorang perempuan bernama Khansa untuk move on."
"Dan ketika dia tahu, kau menuduhnya kalau dia menguntitmu karena perasaanmu itu."
"Ya, dan itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Ditambah ketika keluargaku tahu kalau aku sebenarnya memiliki hubungan yang bagus dengan Khansa setelah kehadiran Khansa ditolak oleh ibuku, Salma ada di situ, semakin menambah keresahanku. Aku merasa serba salah, aku seperti malu, tapi aku tidak bisa menggambarkan perasaanku secara benar."
"Dan itu alasan kenapa kau bersikap aneh belakangan ini?"
"Ya, aku terlalu memikirkannya. Meskipun aku sudah menjelaskan kepada keluargaku tentang alasanku menjalin hubungan yang bagus dengan Khansa, tapi aku tetap tidak bisa menjelaskan apapun kepada Salma, meksipun dia tidak curiga sama sekali. Aku bingung untuk menjelaskan kepadanya, tapi aku tetap merahasiakan semua itu karena aku takut perasaannya akan terluka karena aku tidak terbuka kepadanya sejak awal tentang Khansa."
"Semua ini sangat sulit untuk dipahami, bahkan bagi diriku sendiri," lanjut Arvin.
"Aku mengerti. Sekarang kau pulang dan beristirahatlah, pikiranmu pasti sedang kacau-kacaunya. Aku yakin akan ada solusi untuk masalah ini ketika pikiran kalian berdua sudah tenang lagi," ucap Yahya.
"Baiklah, aku pulang dulu."
"Hati-hati di jalan."
Arvin lalu hanya menjawab Yahya dengan mengangguk.
'Arvin salah, seharusnya dia jujur kepada semua orang kalau dia berhubungan baik dengan Khansa setelah ibunya menerima Salma. Jika sejak awal dia terbuka kepada semuanya, maka semua ini tidak akan terjadi. Huft, aku malah memikirkan masalah orang ketika aku juga memiliki masalah yang belum tuntas di hidupku,' batin Yahya.