Chereads / Konsekuensi / Chapter 79 - Aku Wanda Ernawati

Chapter 79 - Aku Wanda Ernawati

[13 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]

Semua berjalan normal pagi ini di mansion Dhananjaya. Jhana bersiap untuk berhadapan dengan Kevlar lagi, sebab sejak tadi ia belum bertemu dengan pria itu, dan ia ingin memberikan sebuah kejutan besar bagi suami Bunga tersebut.

Dina semakin sibuk mengkawal proses pengerjaan pelaminannya, meski sepasang matanya tak lepas dari layar ponselnya. Banyak sekali pesan yang ia terima di H-13 hari pernikahannya dan Isa, terlebih lagi undangan yang mereka cetak sudah bisa diambil dan dibagikan mulai hari ini, dan Isa pun sedang membagikannya dengan orang-orang yang mereka kenal.

Sementara itu, di rumah makan Populer, Arvin sedang buang air kecil di toilet, dalam kesempatan kecil ini, Yahya pun bertanya pada Salma sebab ia merasa ada yang aneh dengan Arvin hari ini.

"Ada apa? Apa kalian bertengkar?" tanya Yahya.

"Hm? Tidak. Apa kami terlihat sedang bertengkar?" Salma bertanya balik.

"Arvin tampak berbeda hari ini, jadi kupikir kalian sedang bertengkar. Katakan saja padaku, siapa tahu aku bisa membantu dengan pengalamanku."

"Tidak, kami baik-baik saja. Well, aku tidak menyangka bahwa kau juga merasakan hal yang sama denganku."

"Apa?"

"Yah ... Aku juga merasa ada yang aneh padanya."

"Mungkin saja kau membuatnya malu," sambar Wanda.

"Malu? Aku jarang menggunakan bahasa Inggris agar tidak mempermalukan siapapun, aku sadar kalau aku masih pemula dalam bahasa Inggris. Tapi, apakah bahasa Inggrisku bisa membuat sikapnya menjadi aneh?" tanya Salma.

"Kita sedang tidak membahas bahasa Inggrismu, astaga."

"Jadi, menurutmu berpacaran denganku membuatnya malu?"

"Kenapa tidak?"

"Ssshhtt, kau tidak dibutuhkan dalam pembicaraan ini," ujar Yahya pada Wanda.

"Ok, aku akan diam mendengarkan," kata Wanda.

"Apa terjadi sesuatu padanya semalam?" tanya Yahya pada Salma.

"Kau ini laki-laki atau perempuan? Banyak sekali pertanyaanmu yang mengandung gosip," sindir Wanda.

"Bisikan setan tidak usah di dengar, Salma. Jawab saja pertanyaanku," ucap Yahya.

"Apa maksudmu?!" tanya Wanda.

"Kau merasa tersinggung? Bukankah itu artinya kau merasa kalau dirimu itu setan?"

Wanda lantas mendengus.

"Engh, memang ada sesuatu yang terjadi semalam, tapi aku tidak yakin juga kalau hal ini yang membuatnya menjadi aneh hari ini," kata Salma. Yahya lalu menaikkan alis kanannnya, menandakan kalau ia bertanya. Salma pun menceritakan saat ada sebuah panggilan masuk di ponsel Arvin semalam yang diangkat olehnya, dan bagaimana suasana berubah saat ia menyebut nama Khansa di hadapan keluarga Arvin.

'Khansa?' batin Wanda. 'Aku tidak akan melanggar perjanjian, aku akan diam. Tapi mendengar namanya dari mulut Salma membuatku jadi ingin mengulik tentangnya. Dia sudah mempersiapkan uangnya apa belum, ya?'

"Salma, apa kau tahu di mana rumah Khansa?" tanya Wanda.

"Aku tidak mengenalnya, sama sekali tidak, bahkan aku tidak tahu siapa dia," jawab Salma.

"Lalu, bisakah kau mengirimkan alamat mansion Dhananjaya ke ponselku?"

"Baiklah, akan ku kirim nanti."

"Aku tunggu." Wanda lalu pergi mengantar pesanan.

"Tapi, apa kau benar-benar tak mengenal Khansa?" tanya Yahya pada Salma.

"Tidak. Kenapa?"

"Gadis itu pernah datang kesini."

"Oh, ya? Berarti dia mengenal Arvin disini, ya? Kalau begitu kalian semua mengenalnya. Hmm, apa dia datang saat aku libur?"

"Ya, dia datang saat kau libur. Aku tidak yakin bahwa Khansa yang kau maksud dan Khansa yang ku maksud adalah orang yang sama, tapi, Arvin sudah mengenalnya sejak lama."

"Benarkah?"

"Ya, pada saat Khansa datang kesini, dia menyebut bahwa Arvin adalah kekasihnya dan memanggilnya dengan sebutan 'sayang'."

"Ceritakan lebih lanjut."

"Tidak usah merasa tegang, sebab Arvin menjelaskan padaku kalau Khansa adalah anak mantan rekan bisnis ayahnya, lagi pula Khansa mengatakan pada Arvin kalau dia membutuhkan Arvin untuk membantunya move on, dan aku ada di sebelah mereka ketika Khansa memaparkan hal itu pada kekasihmu."

"Move on?"

Yahya lantas menjelaskan apa yang ia ketahui berdasarkan penjelasan Khansa pada Arvin 3 hari yang lalu.

"Wow, dia memiliki kisah hidup yang memilukan, sangat pantas jika Arvin membantunya. Apa sejak dua hari yang lalu Arvin menggunakan waktu istirahatnya untuk bertemu dengan Khansa?" ucap Salma.

"Mungkin. Tapi, hei! Apa dia tidak menceritakannya padamu?"

"Tidak, lagi pula aku tidak berusaha mencari tahu. Yasudahlah, tidak usah dipikirkan, dia melakukan hal yang baik dan aku bangga padanya."

"Kau tidak marah? Maksudku, apa kau tidak memiliki pikiran buruk? Bagaimana jika mereka melakukan hal yang tidak kita duga? Dan kenapa Arvin tidak mengatakan hal ini padamu jika tidak apa-apa? Sesuatu telah terjadi diantara mereka."

"Maksudmu mereka berselingkuh? Astaga, hahaha. Arvin melakukan hal yang baik dengan membantu Khansa untuk move on, dan ketika tangan kanan berbuat baik, tangan kiri tidak perlu tahu, tangan pun tidak perlu heboh, kebaikan adalah kewajiban yang harus kita semua lakukan di hidup ini, jadi itu sudah biasa."

"Aku tak menyangka kalau pikiranmu cukup jernih."

Salma lantas terkekeh. Arvin pun kemudian keluar dari toilet.

'Tapi kenapa suasana berubah ketika Salma menyebut nama Khansa di hadapan keluarga Arvin? Apa Salma tidak memikirkan hal ini?' batin Yahya.

"Hei, kenapa kau lama sekali?" tanya Salma pada Arvin.

"Aku juga buang air besar tadi," jawab Arvin.

Di mansion Dhananjaya, Bunga sedang membaca buku karya UnyuVibe yang dibelinya beberapa hari yang lalu, ia membaca buku tersebut di kamarnya.

Sementara itu, Jhana yang kebetulan lewat di depan ruang kerja Ny. Zemira, dipanggil oleh Ny. Zemira yang baru keluar dari ruangannya.

"Karin!"

"Ya, Nyonya?" sahut Jhana.

"Kemana saja kau? Kevlar bertanya sampai berkali-kali tentang keberadaanmu."

"Saya selalu disini, sebab saya bekerja seharian disini dan tinggal disini. Memangnya Tuan Kevlar ada urusan apa dengan saya?" tanya Jhana yang berpura-pura tidak tahu.

"Entahlah, aku hanya merasa risih karena dia terus menanyakan keberadaanmu sejak pagi padaku."

"Apa dia sudah berangkat ke kantor?"

"Sudah."

"Sayang sekali, padahal jika tidak, saya akan menemuinya karena dia ingin bertemu dengan saya."

Ny. Zemira kemudian menatap Jhana dengan tatapan 'bosan', dan meninggalkan wanita itu.

"Tidakkah dia mengatakan kepada anda bahwa dia telah melakukan sesuatu kepada saya? Kenapa dia sangat ingin bertemu dengan saya?" tanya Jhana yang memancing masalah.

"Jaga ucapanmu," ucap Ny. Zemira, ia lalu benar-benar pergi dari hadapan Jhana. Jhana lantas terkekeh kecil.

"Seru juga kalau bisa mempermainkan emosi orang, padahal dia ibuku sendiri," gumam Jhana yang merasa geli.

'Apa yang ibu pikirkan sekarang? Kevlar menghamiliku? Jijik,' batin Jhana.

'Ibu terlihat suntuk hari ini, apa itu efek dari ketidak berhasilannya menemukan sesuatu di kamarku? Hahaha, astaga aku jahat sekali,' pikir Jhana.

Lain halnya dengan Jhana, Wanda akhirnya sampai di mansion Dhananjaya di jam istirahatnya pada pukul 11:00.

Dari depan, mansion itu terlihat sepi, sebab kebanyakan orang beraktifitas di dalam dan di belakang. Wanda memutuskan untuk masuk melalui gerbang kecil. Jaya lalu melihatnya.

"Anda mencari siapa, Nona?" tanya Jaya.

"Apa orang-orang disini kenal dengan Khansa Shakiel?" Wanda bertanya balik.

"Maaf, tapi urusan anda apa?"

"Aku ingin bertemu dengan Khansa."

"Maaf, Nona, tapi ini mansion Dhananjaya, bukan mansion Shakiel."

"Aku tahu, makanya aku bertanya apa orang-orang disini kenal dengan Khansa atau tidak? Kalau ada yang kenal, aku ingin menanyakan alamat mansion Shakiel, karena aku tidak tahu di mana Khansa tinggal."

Dari kejauhan, Raya melihat Jaya bersama Wanda, ia kemudian berjalan ke arah mereka.

"Anda mengenal salah satu anggota keluarga Shakiel tapi anda tidak tahu di mana rumah mereka?" tanya Jaya.

"Bisakah kau hanya menjawab pertanyaanku?" ujar Wanda yang mulai naik pitam.

"Tidak bisa, maaf, Nona. Bisa anda pergi sekarang dari sini?"

"Hei, apa hakmu disini?! Kau hanya tukang kebun, kan?!"

"Silakan, gerbang ada di sana."

"Kau!"

"Ada apa ini?" tanya Raya.

"Orang asing ini bertanya apa di sini ada yang mengenal Nona Khansa atau tidak, sebab jika ada, dia ingin menanyakan alamat rumah Nona Khansa pada orang yang kenal dengannya di sini. Dia mengaku mengenal Nona Khansa tapi tidak tahu di mana rumahnya, Nyonya," papar Jaya.

"Pergi, lanjutkan pekerjaanmu," suruh Raya pada Jaya.

"Baik, Nyonya." Jaya lantas meninggalkan Raya dan Wanda berdua.

"Aku termasuk Nyonya besar disini, jadi jawab aku dengan jujur. Siapa kau? Dan apa urusanmu? Aku kenal dengan Khansa, lalu apa yang kau mau? Alamat rumahnya? Kenapa kau tidak tahu alamat rumah Khansa jika kau mengenalnya, keluarga Shakiel cukup pantas untuk di ingat alamat rumahnya," kata Raya pada Wanda.

"Aku Wanda Ernawati, teman kerja Arvin Dhananjaya dan Salma, juga Dina dulu. Urusanku hanya pada Khansa, bukan pada orang lain, dan, ya, aku tidak mengetahui alamat rumah keluarga Shakiel karena bagiku mereka belum cukup pantas untuk di ingat alamat rumahnya," ujar Wanda.

"Humph, orang miskin saja belagu."

"Mari kita lihat, dalam empat hari kedepan, siapa yang akan lebih kaya, aku, atau kau? Nyonya besar."

"Ok, ok, tampaknya kau memiliki urusan yang serius dengan Khansa. Aku tidak bersedia menjawabmu, kau berteman dengan Arvin, kan? Tanya saja padanya. Selesai, kan? Tidak perlu kau jauh-jauh datang kesini, dan kau lihat itu? Jalan keluar ada di sana."

Wanda terlihat geram. "Lihat apa yang akan kulakukan padamu nanti dengan uang-uangku," ucap Wanda.

"Kau hanya orang miskin, jadi jangan sok kaya. Dan tolong jangan omonganmu, siapa tahu di masa depan nanti kau sangat membutuhkanku, jadi akulah yang akan melakukan sesuatu padamu."

"Omong kosong."

"Hahaha, terserah kau saja. Ada satu hal yang ingin kuperingatkan padamu, berhati-hatilah pada Khansa."

Wanda lantas menatap Raya, lalu pergi dari mansion itu.

"Wanita yang aneh. Arvin hanya berjarak lima jengkal darinya di sana, tapi dia lebih memilih datang ke sini dengan jarak kilometer. Antara bodoh dan aneh sebenarnya. Ya, namanya juga rakyat jelata, senang berhalusinasi, mungkin saja dia ingin cuci mata dengan melihat mansion ini dan tiba-tiba berkhayal menjadi orang kaya. Hahahaha, menjijikkan," kata Raya pada dirinya sendiri.