Ujung siang di rumah makan Populer, adalah waktu istirahat bagi Arvin. Dan hari ini, ia pergi entah kemana. Salma tidak memikirkan kemana Arvin pergi walaupun pria itu tidak mengatakan apa-apa pada kekasihnya. Salma percaya pada Arvin.
Sikap cuek Salma ini justru membuat hubungannya dengan Arvin sedang terancam. Arvin semakin nyaman dengan Khansa, dan entah apa yang akan terjadi pada hubungan mereka di masa depan.
Wanda pun tidak mengganggu Salma dengan ucapan-ucapannya yang mengarahkan Salma untuk berpikir bahwa Arvin telah 'bermain api', sebab Wanda menghargai perjanjiannya dengan Khansa.
Sementara itu, di mansion Dhananjaya, Mona, Fina, Zhani, Arka dan Shirina
tengah berkumpul di taman depan.
"Kenapa kita berkumpul disini? Apa yang kita lakukan?" tanya Shirina sembari melipat kedua tangannya di dadanya.
"Yah, aku memanggilmu kesini karena kak Fina menyuruhku, jadi, tanyakan saja padanya," ucap Arka.
"Kita tim sekarang, ada baiknya sesekali kita mengakrabkan diri, berkumpul seperti ini," papar Fina.
"Tim?" Arka terlihat bingung.
"Sebenarnya kau tidak dilibatkan, tapi, kau akan terkesan dijauhi jika tidak dilibatkan," ujar Zhani.
"Kalian bicara apa?"
"Paman Isa meminta kami berdamai dengan Shirina, setidaknya, pada hari pernikahannya dengan kak Dina, dia ingin kami terlihat sangat akrab, lalu dia akan memberi hadiah pada kami," jelas Mona.
"Ok. Lalu, apa yang akan terjadi setelah kalian menerima hadiah dari paman Isa, melanjutkan perdamaian? Atau melanjutkan hubungan buruk?" tanya Arka.
"Hubungan buruk, kuharap," kata Shirina.
"Kita tidak akan pernah berdamai, orang-orang seperti kalian tidak akan bisa menyatu dengan orang kelas atas sepertiku, kita beda level, kalian jauh ada dibawahku. Semua ini hanya sampai paman Isa menikah dengan kak Dina. Bahkan pertemuan konyol seperti ini, kita tidak akan pernah membahas apapun walaupun kita sering melakukan hal ini, sebab topik yang kalian bahas pasti jauh berbeda dengan yang ingin kubahas, topik pembicaraan kalian pasti tidak berkelas, ibarat sampah. Dan aku, topik pembicaarnku bagaikan emas," sambung Shirina yang secara frontal menujukan ucapannya barusan kepada Mona, Fina dan Zhani.
Mereka semua kemudian terdiam selama beberapa menit.
"Argh. Aku benar. Lihat! Tidak ada topik pembicaraan yang pas untuk dibahas, karena kasta kita berbeda. Fina, maksudku, kak Fina, kau harus sadar, bahwa berkumpul seperti ini adalah hal yang seharusnya tidak kita lakukan, karena ketika kita berkumpul seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa, kita akan diam-diaman seperti ini, dan aku sudah menduganya sejak awal. Pertemuan ini adalah hal terkonyol yang pernah kulakukan seumur hidupku," pungkas Shirina, ia lantas pergi dari 'pertemuan' itu.
"Dia baru berusia tiga tahun, dan dia mengatakan bahwa pertemuan ini adalah hal terkonyol yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Memangnya hal apa saja yang sudah dilalui oleh manusia yang baru hidup selama tiga tahun? Dia berperilaku seolah dia lebih lama hidup dari kita, lucu, kan? Hahaha, entah dia tidak senang menjadi yang termuda diantara kita atau apa, tapi, kita doakan saja semoga dia cepat tua, hahaha," ejek Arka.
"Hahahaha." Anak-anak Jhana lalu ikut tertawa, tampaknya mereka setuju dengan perkataan Arka.
"Aku mendengar!" teriak Shirina dengan wajah kesal.
"Ups." Arka, Mona, Fina dan Zhani kompak menutup mulut masing-masing dengan tangan mereka.
Di dalam mansion, Gusiana tengah berkeliling di lantai 2 saat semua orang tengah sibuk dengan urusan masing-masing.
"Hanya ada beberapa kamar disini?" gumamnya. Ia lalu berniat untuk membuka pintu kamar Raya.
"Hei, bibi tua," panggil Shirina yang tidak sengaja memergoki Gusiana saat dirinya hendak pergi ke kamarnya.
"Apa yang kau lakukan? Orang-orang harus izin dulu pada bibi Raya jika mereka ingin masuk ke kamarnya. Apa kau sudah meminta izin padanya?" tanya Shirina.
"Jadi ini kamar bibi Raya?" Gusiana balik bertanya.
"Kau bahkan tidak tahu itu kamar siapa. Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?"
"Aku calon nenekmu juga, jadi aku berhak untuk mengetahui seluruh isi rumah ini."
"Tapi rumah ini memiliki peraturan."
"Memangnya ada apa di dalam kamar ini? Kenapa bibi Rayamu itu memberlakukan peraturan seperti itu?"
"Semua orang memiliki hal-hal yang hanya boleh diketahui oleh dirinya sendiri, kan? Jadi wajar jika bibi Raya memberikan aturan itu."
"Jadi, apa kamar ini dikunci?"
"Entah, kami tidak pernah berusaha untuk masuk kedalam kamarnya, kami taat pada aturan, dan bibi Raya percaya pada kami."
"Itu artinya kamar ini tidak dikunci?"
"Kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi? Aku tidak tahu, titik," ujar Shirina, ia lantas masuk kedalam kamarnya.
'Dasar bocah ingusan, tidak bisa mencerna pertanyaan di dalam pikirannya,' batin Gusiana.
Ia kemudian teringat akan ucapan Raya padanya tadi. 'Nyonya Gucci, namamu mewah, kan? Tapi masih terlalu awal bagimu untuk paham akan segala situasi disini. Untuk memahami segalanya, kau harus benar-benar mengenal kami semua, termasuk aku, dan itu tidak akan mudah.'
'Apa maksud ucapannya itu? Apa inti dari ucapannya itu hanya dia yang ingin memberitahuku kalau dia bukan orang sembarangan atau sejenisnya?' batin Gusiana.
'Kupikir jika aku masuk kedalam kamarnya, aku akan mendapatkan informasi tentang dirinya. Dia ingin aku mengenalnya lebih jauh, kan? Maka mungkin aku harus melakukannya sendiri dengan caraku.'
"Ok, ini dia," gumam Gusiana. Wanita paruh baya itu lalu menekan engsel pintu kamar Raya, dan ternyata pintunya dikunci.
'Dikunci?' batin Gusiana. Ia memaksa agar pintu itu bisa terbuka.
"Argh, sial! Ternyata memang dikunci. Eh, tunggu. Dikunci dari dalam? Atau dari luar?" Gusiana berbicara sendiri, dirinya baru sadar jika mungkin Raya ada di dalam kamarnya dan wajar saja jika pintunya dikunci.
"Astaga," lirihnya.
"Pintu itu dikunci dari luar," ujar Jhana yang sedang menuruni anak tangga dari lantai 3.
"Hah? Eh." Menyadari keberadaan Jhana di dekatnya, Gusiana pun berlagak seolah dirinya tidak berusaha untuk masuk kedalam kamar Raya tadi.
"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti," kata Gusiana.
"Saya tahu akan apa yang berusaha anda lakukan, dan saya juga mendengar anda ketika anda berbicara sendiri tadi," papar Jhana.
"Jangan khawatir, saya tidak akan memberitahu pada siapapun perihal ini. Justru ada satu hal yang ingin saya beritahu pada anda," sambung Jhana.
"Aku tidak butuh pengetahuan apapun darimu!" tegas Gusiana.
"Memang. Apa lagi saya tidak yakin apakah pemberitahuan ini akan berguna bagi anda atau tidak, tapi, pintu itu selalu dikunci sejak kemarin, pada awalnya tidak, karena keluarga ini saling percaya, seperti yang dikatakan Shirina tadi," ucap Jhana.
"Tapi kebetulan, saya tahu bahwa pintu itu sedang dikunci dari luar, karena saya melihat Nyonya Raya keluar dari dalam tadi," lanjutnya.
"Kenapa Raya terus mengunci pintu kamarnya? Terus mengunci pintu ini, berarti dia akan menguncinya ketika dia melakukan aktivitas apapun di dalam kamar atau pun di luar kamarnya, kan?" tanya Gusiana.
"Ya, tepat sekali. Tapi, soal kenapa Nyonya Raya tiba-tiba jadi terus mengunci pintu kamarnya, tak lebih dari dua orang yang tahu alasannya."
"Siapa?"
"Anda pikir saya tahu?"
"Oh, tentu saja kau tidak tahu apa-apa. Lalu, bagaimana kalian para pembantu membersihkan kamarnya?"
"Dia membersihkan kamarnya sendiri sejak kemarin, dia mengatakan kalau ada hal-hal bersifat pribadi di dalam kamar ini yang dia tidak mau orang lain tahu."
Gusiana lalu diam, mengisyaratkan bahwa informasi yang diberikan oleh Jhana sudah cukup baginya, dan ia ingin Jhana pergi. Jhana tampaknya sadar akan hal itu, jadi ia pun melanjutkan langkahnya menuju lantai 1.
"Permisi," ucap Jhana. "Oh, iya, saya lupa memberitahu anda satu hal lagi," sambungnya, ia berhenti ketika hendak menuruni anak tangga pertama. Gusiana lantas mengernyitkan jidatnya.
"Anda salah tentang saya. Anda mengatakan bahwa saya tidak tahu apa-apa, tapi pada kenyataannya, dua orang itu adalah saya dan Nyonya Raya sendiri," jelas Jhana, wanita itu sukses membuat Gusiana bingung.
"Maksud saya, Nyonya Raya mulai mengunci pintu kamarnya sejak kemarin, dan alasan dia adalah saya," lanjutnya sambil tersenyum.
"Hahaha, bercanda. Saya hanya sedang membuat anda semakin berpikir bahwa saya sangat layak untuk dipecat. Semuanya masih terlalu awal untuk anda pahami, dan saya memiliki alasan sendiri kenapa mengatakan hal-hal ini pada anda. Permisi untuk yang kedua kalinya," kata Jhana. "Dan aku berbohong padamu," gumamnya sembari melanjutkan langkahnya.
'Tapi, bagaimana jika yang dikatakannya itu benar? Bagaimana ketika dia bilang dia berbohong, sebenarnya itulah kebohongannya?' batin Gusiana.
'Keluarga Dhananjaya beserta pembantunya sangat sulit untuk dimengerti. Mereka mengatakan padaku kalau aku masih terlalu awal untuk bisa memahami segala situasi disini, tapi aku tahu ada maksud lain dari mereka. Tapi, apa?'
'Argh, lama-lama mereka bisa membuatku gila.'
Lain Gusiana, lain pula Ny. Zemira. Sang Nyonya besar baru saja kembali dari kandang Kuda-Kudanya untuk memeriksa keadaan Kuda-Kuda tersebut, dan ternyata semuanya baik-baik saja. Ismail mengurus para hewan dengan sangat baik.
Ekspresi bahagia pun terukir di wajah Ny. Zemira. Ia merasa puas dengan kinerja Ismail, dan kini dirinya sedang berjalan menuju pintu depan, mengingat letak kandang Kuda yang menang berada di luar gerbang.
Namun, entah apa yang membuatnya justru melihat ke arah kamar Jhana, dan sebuah pikiran pun terlintas di otaknya.
'Apa aku punya hak untuk masuk kedalam kamarnya dan mencari tahu tentang dirinya? Tapi, apa aku akan menemukan apa yang kubutuhkan di kamar itu?' batin Ny. Zemira.
'Jika dia saja bisa memasuki kamarku tanpa memberitahuku, kenapa aku harus ragu masuk kedalam kamarnya? Ditambah lagi sebenarnya peraturan disini melarang siapapun selain aku dan Farzin untuk masuk kedalam kamar kami tanpa izin dariku, namun dia melanggarnya. Jadi, mungkin sebaiknya aku tidak perlu ragu untuk hanya masuk kedalam kamarnya.'
Ny. Zemira pun mengubah arah jalannya, yang awalnya menuju pintu depan, berubah ke kamar Jhana. Mona yang sedang mengobrol dengan adik-adiknya dan Arka di taman pun menyadari pergerakan Ny. Zemira yang berjalan menuju kamar Jhana, ia lalu menyenggol Fina.
Fina bertanya pada Mona dengan bahasa isyarat kepala yang mendongak sesaat, Mona pun menjawab dengan bahasa isyarat kepala yang menunjuk Ny. Zemira.
"Ups, berita buruk," bisik Fina pada Mona. Zhani dan Arka tidak menyadari percakapan lain anyara Mona dan Fina karena mereka larut dalam tawa.
"Pergilah, kau bisa menghadapinya," ujar Mona pada Fina dengan nada yang tentunya super pelan.
"Aku? Tidak! Kau yang lebih tua, kau kakakku, jadi kau yang harus menahannya," tolak Fina.
"Tapi kau anak sekolahan, pikiranmu lebih maju dariku."
"Kak, sekolah bukan jaminan bahwa pikiran seseorang lebih maju dari yang tidak sekolah. Kau yang terbaik diantara kita bertiga, percayalah. Aku akan membuat Zhani dan Arka tidak memperhatikanmu."
"Tapi-"
"Ssshhhttt. Pergi, ini bukan saatnya bagi nenek untuk tahu semuanya."
Mona sedikit terkejut dengan Fina yang menyebut Ny. Zemira dengan sebutan 'nenek'.
"Nenek, ya? Benar, dia nenek kita. Baiklah, aku akan mengejarnya, kau pastikan tidak ada yang melihat kami," kata Mona.
"Ok." Fina tersenyum.
Mona segera bangkit perlahan dari bangku, kemudian langsung berlari setelah memastikan kalau Zhani dan Arka tidak melihatnya. Gadis kecil itu berlari, namun langkahnya tak seberapa.
Ia terlambat.
Ny. Zemira sampai di depan pintu kamar Jhana lebih dulu, dan nenek dari 5 cucu itu tidak sadar bahwa dari tadi cucu-cucunya berada di taman.
"Oh, tidak," gumam Mona ketika ia melihat Ny. Zemira menekan engsel pintu kamar Jhana dan langsung masuk begitu saja. Wanita tua itu pun lantas menutup pintu kamar tersebut dan mulai berjalan perlahan di dalam kamar Jhana.
"Dari mana aku harus memulainya?" ucap Ny. Zemira, ia lalu melihat ke segala penjuru di kamar itu.
"Jika ada sesuatu berharga tentang dirinya disini, dia pasti akan menyembunyikannya di tempat yang tidak akan di duga oleh orang lain," sambung Ny. Zemira. Ibu dari 4 anak itu lalu melirik ke arah kolong ranjang, dimana Jhana menjadikan tempat itu sebagai 'tempat persembunyian' tas jinjingnya.
Tas jinjing yang sama dengan yang dilempar oleh Ny. Zemira ketika ia mengusir Jhana dari mansion 10 tahun yang lalu, dan tentunya Ny. Zemira masih mengingat tas itu jika ia melihatnya, karena Jhana merawatnya dengan begitu baik.
'Baiklah, mari lihat apa yang ada di kolong itu,' batin Ny. Zemira. Ia lalu mulai jongkok dan mengarahkan kepalanya kebawah.