Happy reading 😋😋😋
Jam berapa kalian baca ini???
-----------------------
"Aduh Jeng Intan, bentar lagi anaknya nikah ya. Sepi dong rumah ini." Suara obrolan ibu-ibu komplek mendominasi ruang tamu berukuran sedang. Cuap-cuap sembari meminum teh memang menjadi kegiatan rutin bulanan. Arisan ibu-ibu berdempul tebal.
"Iya, nih, Jeng Reni. Nasib punya anak satu."
Ibu-ibu yang dipanggil Jeng Reni itu mengerutkan kening. "Satu bukannya dua ya?" Tanyanya heran. Sambil merapikan gelung rambut yang sebenarnya tidak akan lepas.
"Itu. Aduh gimana ya, maksud saya anak saya itu yang lelaki−"
Ibu satunya−yang sedang memegang bingkai foto setengah berteriak−mengagetkan ibu-ibu di sekelilingnya. "Cowoknya cakep. Jeng Intan emang top milih mantu." Dia menunjuk-nunjuk poto Digo dengan setelan kantor. Dia tampak gagah dengan setelan kerja yang membuat mata ibu-ibu melotot melihatnya. Hawt.
"Iya, beneran cakep." Koor membahana kembali bersahutan.
"Lihat otot tangannya, walau pake baju sebegitu longgarnya tetap terlihat. Baju itu tak bisa menyembunyikan tubuh kekarnya. Gagah ya." Ibu-ibu yang sedang memakan kue menimpali. Membuat kue yang ada di mulutnya sedikit keluar. "Jorok, ih Jeng Asri."
"Ini mah artis kali, Jeng. Mirip seleb siapa gitu. Olga kali ya?"
"Udah almarhum kali, Jeng. Situ kudet banget deh." Sungut Ibu Renata.
"Iya nih, Jeng Dewi. Ada-ada aja,"
Renata−yang sedari tadi pura-pura menonton tv−sedikit demi sedikit mencuri dengar obrolan ibu-ibu arisan di kompleknya itu. Dia juga baru menyadari ternyata mamanya pecicilan. Topeng ibu-ibu sosialita yang biasanya mamanya kenakan lekas tak berbekas. Ibunya justru semakin menjadi-jadi−melebih-lebihkan topik yang menurut Renata justru sedikit sensitif jika dibahas di muka umum.
Malas meladeni ibu-ibu itu, dia beranjak ke dapur untuk membuat cokelat panas. Membayangkan cokelat lumer, manis, dan mengepul dalam wadah cangkir saja sudah membuat air liurnya menetes. Apalagi jika mencicipinya. Rasa cinnamon yang melegakan.
Dia membuka kulkas kesayangannya yang penuh makanan itu. Bodo amat gendut yang penting tetep cantik, motto hidupnya. Dipikir lagi bukankah kalau dirinya gendut itu akan terlihat lebih sexy. Lekuk tubuhnya pasti akan jelas terlihat. Bukannya seperti sekarang yang hanya sedikit di atas rata-rata. Hmm menggoda.
Tangannya membuka toples cokelat yang sekeras lem. Haduh, harusnya dia minta bantuan Bik jem−PRT rumah mewah ini−saja tadi.
"Ren" suara cempreng mama terlalu membahana untuk dilewatkan. "RENATA"
"Iya," Renata terkesiap mendengar panggilan ibunya itu. "Ada apa?" lantas bertanya. Dia bangkit dari terduduknya setelah berkecimpung dengan setoples cokelat tadi.
Gagal lagi. Padahal sedikit lagi, batinnya.
"Renata" ibunya kembali berteriak.
"Bentar." Tergopoh-gopoh mendekati asal suara itu.
Napasnya menderu cepat. Sementara peluhnya jangan ditanya. Dia menganga melihat ibu-ibu arisan itu−yang ternyata belum pulang−mengamatinya sejenak. Sontak berbisik-bisik memperlihatkan ketidaksukaannya. Ruangan ini dipenuhi bisikan-bisikan tak kasat mata.
"Kenapa manggil Rere," cengir gadis itu. rambutnya yang dicepol menambah kesan urakannya.
"Bukan gadis rumahan ya, Jeng?" Seloroh salah satu ibu-ibu yang terduduk di sofa. Sementara ibu Renata yang ditanya malah mesem-mesem bukan menjawab. ASEM..
"Tak pikir secantik apa lawannya. Rupanya modelan gini toh."
"Sama, Jeng. Kayanya jarang ke salon. Geli kali, aku nih."
"Harusnya 'kan anak gadis itu pagi-pagi sudah rapi, cantik. Mending wajahnya secantik putri, bangun tidur masih cetar membahana. Ini bangung tidur, pipi penuh air liur. Rambut sarang burung."
Renata sudah panas mendengar komentar miring tentangnya dari tadi. Dia sebenarnya bukan orang yang cepat meledak, tapi jika dipermalukan di hadapannya sendiri−di depan ibunya pula−dia jadi sedikit geram. Kayaknya bullshit deh yang bilang 'lebih baik jujur di depan kalau tidak suka daripada bergosip di belakang. Halah ini juga sakitnya tiada tara.
Ibunya malah menunduk tak jelas. Bukannya bantuin anak gadis satu-satunya ini malah diam. Pura-pura tak mendengar. Gangguan pendengaran−tuli baru tahu rasa dia. Astagfirullah, kenapa jadi nyumpahin orang tua sendiri. Kualat kamu Renata.
"Anda tidak berhak menghina−" tangan mama malah menyumpal mulutnya.
"Sudah." Ibunya menariknya agar duduk.
"Tapi ma, itu keterlaluan" sungutnya.
Sama sekali tak dihiraukan. Membuat dia dongkol setengah mati. Masalahnya ini bukan hanya tentang sebuah kesabaran. Bagaimana pun saat ini harga dirinya yang setinggi langit malah di injak-injak.
"Kenalin jeng, putri keluarga ini. Dia emang begini kalau di rumah, sedikit kurang rapi. Katanya capek dandan mulu kalau gak keluar rumah."
"Pasti jarang ke salon ya?" perkataan ibu-ibu itu menyambar jiwa ketar-ketirnya.
"Pardon?" matanya menyipit. Dia hendak berdiri sebelum tangan ibunya kembali menggaetnya duduk.
"Kelihatan, kok. Gak papa kalo malu. Jangan diaku"
"Maaf jeng Heni. Dia udah kebiasaan soalnya sekolahnya di amrik. Harvard. Ketularan kali sama orang LN." cerocos ibunya.
"Pantas. Tak tahu bertata krama."
"Maaf ya, semuanya."
"kenapa jadi kita yang harus meminta maaf." Walau agak segan Renata tetap berbisik. "Kita kan gak salah."
"Iya Jeng. Lain kali dididik ya anak itu. jangan dibuang ke negeri orang. Kalo begitu kami permisi." Ibu-ibu itu bubar meningggalkan ruang tamu yang kembali kosong.
Hening. Ibu Renata yang duduk di sampingnya kembali berdiri. Berjalan cepat meninggalkan anaknya yang termangu dalam kesendirian. "Ma, tunggu." Renata mengejar, mencoba menyejajari langkah mereka.
"Bentar, ma." Akhirnya langkah mereka berinringan. Itu pun susah payah Renata mengejarnya. Mereka tiba di ruang keluarga. Dengan ibunya yang duluan rebahan di sofa itu.
"Mama kenapa sih?" Kembali Renata buka suara.
Ibunya hanya diam. Malas menjawab.
Tak kehabisan akal, Renata menjawil hidungnya. "Ma, ngomong. Mama marah sama Rere?"
Bisu. Mulut itu tak terbuka barang sedikitpun.
"Mama," Renata menarik-narik baju mahal sang bunda.
"Lepas." Renata patuh melepasnya. "Pertama, jangan panggil aku mama. Aku bukan mamamu, anakku cuman Raffa," dengus ibunya. "Memang ya, benar kata ibu. Kamu memang pembawa sial. Beruntung Mas Haris juga membencimu. Apalagi tadi tingkahmu yang bukan seperti keturunan Adhitama yang berwibawa."
"What? Serius? Mama kecewa sama Renata karena Re Cuma bela harga diri Re yang di injak-injak. Mereka mencoba mempermalukan Re"
"Diinjak-injak gimana. Emang gitu kok kenyataannya. Selalu aku bilangin juga. Kamu itu harus stay in beautiful where are you in."
" Mama belain mereka?"
"Belain gimana? Mereka ngomong apa adanya. Jujur. Kamu aja yang terlalu ambil hati."
"Terserah ma, terserah." Ujarnya.
"ngomong-ngomong kamu udah ada persiapan buat acara nikahan minggu ini kan?"
"Sebenarnya, Re udah putusin kalau−"
"Jangan kacaukan pernikahan ini. Sesuai rencana kita di awal kan? Kamu mau mengkhianatinya?"
"Mama, Re itu bukan mesin pencetak uang."
"Ya, tapi kamu itu gadis polos pura-pura milik keluarga Vhisakka yang selalu kita manfaatkan. Kamu tidak keberatan kan?"
Ibunya mendekat dan Renata refleks berdiri. "Ma, apa dengan begini kalian akan melepaskanku untuk bebas. Seperti saat pertama kali saat sikap mama padaku belum berubah. Bukankah dulu mama tidak begini?"
"Berubah?" Tawa ibunya pecah. "Anggap saja dulu aku khilaf. Hanya rasa kasihan pada seorang anak kecil. Apa sekarang kamu juga perlu merasa dikasihani?"
Renata berhasil menguatkan dirinya lalu berdiri. Dia akan kembali ke kamarnya.
"Bersenang-senanglah Re. mimpi burukmu, 'mungkin' akan segera berakhir. Anak sial akan segera keluar dari rumah ini."
Renata tahu, jika selama ini dia hanya menjalani mimpi buruk. Nightmare yang tak berkesudahan. Dia menaiki tangga menuju kamarnya. Dia lelah. Lelah dengan semua ini. Mungkin laki-laki itu adalah jawabannya. Mimpi buruknya yang akan segera berakhir.
Dia meraih koper yang ada di bawah kasur. Malam ini dia harus pergi.
Dia men-dial nomor seseorang.
"Halo?" terdengar suara berat di sana.
Pagi ini dia merasa ada sepercik harapan di sana. Dia bisa mencium aroma kebebasannya.
.
-To be continued-
.
.
Makasih buat 4k readersnya. Sumpah bikin mood ini naik dua kali lipat, hehe. readers MBS emang warbiyasah. Oh iya jadi nyangkut SKS jadwal kemaren, intinya ku apdet kalo ga malemnya pasti paginya.
Sayang kalian,
Love you