Chereads / Arte Stella / Chapter 9 - Man In a Bird Cage

Chapter 9 - Man In a Bird Cage

"—itz!"

Pruisen, tetaplah di kerajaan dan jagalah semua orang.

"Heitz!"

Jaga Maria juga. Ajaklah dia tinggal bersamamu. Dia saudara kembar dan kakak perempuanmu.

"HEITZ!"

Jangan lupa adik kecilmu, Heitz. Ajari dia hingga sekuat dirimu. Bimbinglah dia menjadi pria yang tangguh seperti ayahmu.

Dan yang terpenting, berikanlah kasih saying terhadap semua orang yang kau sayangi.

"Tu-tunggu!"

Dari… ibumu.

"Bruder, kau berisik sekali," Heitz mengerutan keningnya karena terganggu dengan teriakan Pruisen. Ia memberikan tasnya pada Rain dan mengisyaratkan gadis itu untuk menaiki kapal terlebih dahulu.

Pagi ini Pruisen bangun dengan bekas kehitaman di bawah matanya. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Sebelumnya pemuda albino itu memikirkan petualangan mereka. Berimajinasi tentang monster-monster, para bandit dan setiap penjahat yang ingin dikalahkannya di luar sana.

Meskipun kenyataan tak mengizinkannya.

Sejak awal ia sendiri tahu bahwa hanya satuan elit cross cross atau apalah namanya yang akan pergi menyelamatkan dunia. Mimpi yang selama ini Pruisen inginkan. Mengetahui adik dan sahabatnya pergi, ia sedikit berharap dapat mengikuti mereka.

"Heitz, kalian tidak akan meninggalkanku disini 'kan?" ucapnya sembari tertawa getir. Kedua tangannya menyentuh pundak Heitz. "Kita sudah membicarakan hal ini—"

Pruisen tersentak ketika matanya tak sengaja menatap ekspresi wajah Heitz. Adiknya yang berambut pirang itu memberikannya tatapan datar. Mata biru yang selalu memandangnya lembut kini berubah setajam pendang yang mampu mengambil nyawanya dalam sekali tebasan.

"Bruder, kau penerus sah kerajaan ini. Suatu hari nanti, kau yang akan menggantikan Vater. Setidaknya tetaplah disini dan jaga semua orang."

Mau tak mau, Pruisen mendengarkan perkataan adiknya. Sebagian dari dirinya meronta untuk keluar dari daratan yang mereka sebut 'Kerajaan Bergenia', sementara bagian dirinya yang lain membenarkan ucapan Sang adik.

Heitz menutup matanya sejenak lalu menghela nafas. Ditepisnya kedua tangan Pruisen dengan halus. Bukan maksudnya untuk melukai hati lembut kakaknya. Hanya saja, sudah waktunya bagi Sang kakak menyadari posisinya sebagai pangeran pertama.

"Kalau begitu, biarkan aku bertanya sesuatu padamu, Heitz," tanya Pruisen dengan suara yang sedikit bergetar. "Jika… jika Vater memerintahkanmu pergi ke pengasingan dan tidak memperbolehkanmu menginjakkan kaki di Bergenia, apa kau akan mematuhinya?"

Si pemuda blonde terdiam.

"Ya, jika aku melakukan kesalahan yang tak termaafkan," jawabnya tegas.

Belum ada tanggapan, Heitz berbalik meninggalkan Pruisen membeku di belakang sana. Membuat orang lain menunggu tidak ada di dalam kamusnya.

"Heitz, bukannya kau terlalu keras pada Pruisen?" tanya Rain begitu Sang pangeran kedua menaiki kapal. Ia bergantian memandang Pruisen dan Heitz dengan khawatir.

Tak ada jawaban dari Heitz. Pemuda itu menyibukkan diri menyiapkan layar kapal. Berbeda dengan kapal penjelajah yang seharusnya membawa mereka langsung ke tempat tujuan, kapal ini bahkan tidak lebih besar dari kapal mereka sebelumnya.

Salahkan para monster yang entah bagaimana mempunyai timing yang bagus untuk muncul. Dan menunggu kapal baru dari pelabuhan lain akan memakan waktu. Mereka tidak akan sampai ke kerajaan Dominica tepat waktu.

"Ah, Pruisen dan Maria pergi," masih tak ada reaksi dari si pemuda blonde, Rain tersenyum kecut. Ia meninggalkan Heitz agar pemuda itu bisa mendinginkan kepalanya.

***

✙Iron Cross✙

***