***
✙Iron Cross✙
***
"Ivan, makan malam!"
Pemuda itu meloncat panik dari tempat tidurnya mendengar teriakan rekannya dari balik pintu. Matanya yang masih lengket itu mengerjap-ngerjap malas. Namun, begitu mencium bau lezat yang entah dari mana membuat otaknya seperti tersengat listrik.
Tanpa basa-basi, Ivan keluar dari sarangnya dan menemukan orang-orang berkumpul di geledek kapal. Melingkari makanan hangat yang diletakkan di tengah-tengah. Perlahan namun pasti, Ivan melangkah mendekati gerumbulan itu. Ia mendudukkan dirinya di sebelah orang yang memanggilnya sebelumnya, Alicia.
Mata amethyst itu berkilauan melihat makanan yang tak seperti biasanya. Tidak ada bekas kehitaman dipinggir roti panggang atau telur yang berwarna hitam tak berbentuk. Semua itu tidak ada. Hanya satu roti panggang yang dipotong empat bagian, telur mata sapi setengah matang, dan semangkuk sup hangat yang menggugah selera makan.
"Hum! Lezat sekali!" Alicia menyendokkan sup berisi sayuran itu ke mulutnya sekali lagi. "Aku tidak menyangka kau bisa memasak selezat ini, Rain-zuz!"
"Zuz?"
"Itu cara Alicia memanggil orang yang lebih tua darinya," kata Ivan menjelaskan. "Ngomong-ngomong, meskipun perempuan, Alicia tidak bisa memasak sama sekali."
"Hei!" protes Alicia disambung gerutuan mengutuk Ivan.
Ivan menerima mangkuk bubur yang disodorkan Rain untuknya. Ia terlihat penasaran dengan bubur ini. Aroma yang menusuk hidung membuatnya semakin lapar. Di atasnya bubur bisa dilihatnya bawang goreng, irisan bayam, dan beberapa bahan yang Ivan tidak tahu.
Memang benar perkataan Alicia mengenai bubur buatan Rain. Rasanya tidak terlalu asin juga tidak terlalu lembut. Potongan daging ayam yang disajikan sebagai lauknya ikut membuatnya tergiur.
Disisi lain, Govert yang sudah menghabiskan jatah makanannya kini duduk agak menjauh. Lagi-lagi menyesap pipa rokoknya seperti biasa. Untuk sejenak, ia mencoba untuk tidak memikirkan tujuan perjalanan mereka.
"Mr. Govert," Govert mendongak mendapati si pangeran kedua, Heitz dengan ekspresi susah dijelaskan datang padanya. Pemuda blonde itu membawakan beberapa buah. "Boleh aku duduk disebelahmu? Mereka berisik sekali."
Pemilik spiky light brown hair itu mengangguk sebagai jawaban. Ia juga menerima buah yang dibawakan Heitz. Keduanya duduk diam tanpa suara. Mungkin hanya suara hembusan asap dari pipa yang dihisap Govert. Heitz juga tidak bersusah payah untuk mencari bahan obrolan dan termenung dalam lamunannya sendirian.
Govert menunjuk tiga orang yang saling tertawa dan melontarkan lelucon satu sama lain itu dengan dagunya. "Mereka sedang menikmati masa-masa damai."
"..."
"..."
"Apa kau ingin mendiskusikan sesuatu?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan tujuan kita," ucap Heitz dengan nada setenang mungkin. "Apa kau ikut perang Leiden di Kerajaan Verbena lima tahun yang lalu?"
Heitz bisa melihat ekspresi kaget dari bahu Govert yang bergetar dan menegang selama tiga detik. "Iya. Apa kau perlu tahu sesuatu?" tanyanya balik tanpa memalingkan wajahnya.
Sedikit ragu untuk membicarakannya, namun akhirnya Heitz memantapkan niatnya.
"Ibu kandungku tinggal di Verbena dan meninggalkanku di Bergenia dengan Vater setelah aku lahir. Kami bertukar kabar dengan surat setelah aku bisa menulis. Ibu bilang, ia tidak bisa ke Bergenia karena kesalahannya. Saat perang dengan kubu hitam dimulai, kota Leiden adalah salah satu tempat yang dijadikan medan perang dan ibuku tinggal disana... dan aku tidak pernah mendapat surat balasan lagi..."
Heitz tidak meneruskan perkataannya. Untung saja Govert cukup mengerti maksud darinya.
"Ada semacam catatan tentang perang Leiden di Ibukota Verbena. Semua nama orang yang berjasa hingga korban perang dicatat disana."
Mendengar penjelasan dari Govert membuat beban di pundak Heitz sedikit terangkat. Setidaknya setelah misi mereka selesai, ia akan berkunjung ke ibu kota Verbena untuk mencari tahu keberadaan ibunya.
"Maaf jika aku mengingatkanmu dengan perang itu. Aku turut berduka cita untuk keluargamu."
Govert bergeming. Sekali lagi ia menghirup pipa rokoknya yang membuat pria 27 tahun itu merasa lebih baik. Pikirannya menerawang ke medan perang yang terjadi lima tahun yang lalu.
"Tidak, itu salahku," ia menghembuskan asap rokoknya. "Salahku karena membiarkan adikku pergi."