Desain ruangan itu tidak semewah seperti ruangan lainnya yang berada di dalam kediaman Huo, tapi ruangan tersebut terlihat luas dan rapi. Semuanya ditempatkan sesuai dengan posisi yang telah ditentukan.
Kerapihannya ... rasanya hampir seperti ...
Itu tidak mungkin ...
Jantung Lu berdetak kencang. Memompa begitu cepat sehingga hampir membuat dirinya tidak bisa bernapas, adrenalinnya mendidih hingga beranjak naik sampai ke atas kepalanya ketika dia berjalan menuju ke sebuah meja, disana terdapat sebuah bingkai foto yang ia temukan dalam keadaan setengah tertutup.
Ketegangan menumpuk saat dia mencoba mengulurkan tangannya yang terasa gemetar, ingin segera menarik kain penutup bewarna putih itu jatuh ke bawah. Ada hawa dingin yang menghampiri dirinya secara tiba-tiba dan membekukan tangannya saat dia tersandung sebelum menuju meja.
Keakraban itu menyelimutinya, sebuah nama muncul dari tenggorokannya yang terkunci. Rasionalitasnya menyangkal semua yang dia rasakan, tetapi nalurinya seketika runtuh mencoba untuk membantah desakan itu.
Dia menjadi ambigu terjebak dalam pilihan antara "ya" dan "tidak". Diteruskan ujung jarinya untuk menyentuh kain tersebut.
"Nyonya, boleh saya bertanya mengapa anda berada di sini,?" dia mengambil seluruh bingkai poto yang ada.
Dia begitu sibuk dengan rasa keingintahuannya sehingga dia tidak memperhatikan pelayan yang telah menghampirinya beberapa menit yang lalu.
"Ya ampun ..." desah pelayan itu.
"M-maaf, aku baru saja memeriksa rumah besar ini," kata Lu dengan nada meminta maaf, meskipun matanya tetap terpaku pada bingkai yang menarik perhatiannya itu, "Um ... siapa itu ... siapa yang ... boleh aku tanyakan?"
"Ini * adalah * kamar Tuan kedua. Tuan Huo memerintahkan kami untuk membersihkan kamar ini setiap hari sejak Tuan kedua meninggal. Namun tempat ini dibatasi. Maaf, Nyonya, tetapi anda harus keluar sekarang. "
"Maaf ... aku tidak tahu ini kamar paman."
Rupanya, Nenek Huo memiliki dua orang putra, satu adalah Huo Zhenning - orang yang menikahi Nyonya Xue, yang satunya lagi adalah Tuan Kedua yang misterius ini yang kelihatannya merupakan sosok berwibawa di pasukan militer, meskipun ia sudah meninggal.
Dia perlahan berjalan menuju arah pintu keluar, meluangkan waktu sejenak untuk mengamati ruangan itu sekali lagi dengan beberapa pandangan terakhir, tentu saja, ruangan itu mengingatkan kembali akan nostalgia.
Semakin dia mengamati ruangan itu semakin bermunculan segala teori mengenai kemungkinan yang berada di kepalanya seperti musim semi dirinya sangat bersemangat.
Andai saja aku bisa melihat foto tadi, semuanya pasti akan terjawab.
Tapi aku tidak bisa memasuki ruangan ini lagi. Aku mungkin bisa berpura-pura menjadi tamu yang tersesat di rumah ini untuk pertama kali, tetapi tidak untuk yang kedua.
Saat bersantap makan siang Lu masih belum bisa berkonsentrasi untuk menyendok makanannya dengan benar.
Huo Yunting meliriknya dan mengerutkan bibirnya, "Adikku tersayang, apakah semuanya baik-baik saja? Kamu seperti sedang bingung, sudah ingin kembali bekerja?"
"Yah, itu kan memang tugasku." Jawaban enggan darinya. Dia tahu bahwa itu adalah pertanyaan yang tidak tulus dari Huo. Dia hanya bertanya karena dia sendiri ingin meninggalkan tempat sialan ini dan dia, seperti biasa, selalu dijadikan alasan olehnya .
Ya ampun.
"Baiklah! Kakakmu akan mengabulkan permintaanmu. Kami akan kembali tepat setelah makan siang." Dia tersenyum, seolah dirinya adalah seorang raja yang penyayang.
"Mhm." Lu sgera menyetujui kesepakatan itu karena besok tanggal merah dan adalah hari libur. Dia * harus * pergi.
"Oke, oke, kembalilah bekerja setelah ini. Kalian anak muda masih memiliki banyak pekerjaan. Aku akan menangani ayahmu." Nenek Huo tertawa terkikik dan merasa bahagia ketika dia melihat hubungan kasih sayang antara kakak dan adik ini tercipta.
Setelah makan siang mereka masih menyempatkan berbincang dengan nenek, lalu kemudian mereka pergi.
Ketika mereka kembali ke kota, hari sudah mulai senja, sudah melewati batas jam kerja. Jadi mereka memutuskan untuk pulang.
Pada malam itu, "Aku akan cuti besok," kata Lu singkat ketika dia membanting pintu.
Saya belum memaafkan atas apa yang telah dia lakukan. AKU MUNGKIN, BENAR-BENAR, TIDAK TERLALU siap untuk sebuah penetrasi.
"Tok Tok," kata Huo.
"Ugh, siapa di sana?"
"Pria dengan rantai kunci," kata Huo bercanda sambil bersandar di balik pintu.
Tidak ada jawaban darinya selain langkah kaki yang lebih berat dan lebih kejam yang tertinggal di kamarnya.
"Kedengarannya seperti kode 'masuk' bagiku." Huo membuka kunci pintu, hanya untuk melihat istrinya melepas pakaiannya, menuju ke kamar mandi.
"Jadi ..." Matanya bersinar ketika dia berjalan terhuyung-huyung ke arahnya, "Cuti macam apa itu? Rekan kerjaku ~?"
"BAIK, aku masih punya urusan pribadi yang harus diselesaikan ketimbang menjadi istrimu!" Dia menutup pintu kamar mandi dan mengganti bajunya dengan piyama, dengan tatapan mengancam, "Aku tidak peduli, Aku TIDAK mau kerja besok. Potong upah ku jika kau mau!"