Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 260 - Kalian tak menemukan jejaknya sedikit pun…?

Chapter 260 - Kalian tak menemukan jejaknya sedikit pun…?

Biasanya, dalam setiap pertempuran mereka selalu di hujani peluru mortir atau peluru senapan mesin. Lagi pula, biasanya musuh mereka jumlahnya selalu lebih banyak! Kini, yang mereka hadapi hanya empat orang. Itupun keadaannya hanya compang-camping.

Usahkan mortir ataupun senapan mesin senapan semi otomatis yang mereka miliki pun nampaknya sudah kehabisan peluru. Itu dibuktikan dari beberapa kali tembakan balasan yang terdengar dari orang yang mereka kejar. Malah ketika dia perintahkan pasukannya tidak menembak, tetap tak ada tembakan balasan.

Waktu merangkak perlahan. Sikomandan tersentak saat si sersan mencowel bahunya. Rupanya dia tertidur. Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan. Dia melihat jam tangannya.

Sudah pukul lima lewat, namun hutan itu masih sangat gelap. Di menoleh kearah dimana pelarian itu di duga sudah mereka 'kunci'. Tak ada yang kelihatan, masih sangat gelap.

Di luar belantara cahaya sudah cukup terang. Dia mengambil sebuah ranting kecil. Mematahkannya jadi dua potong, masing-masing sepanjang dua jengkal. Yang satu dibagikan kepada sersan yang di kiri, satunya kepada yang kanan.

Tanpa sepatah katapun, karena sudah memahami yang diinginkan sang komandan, kedua sersan itu merayap. Yang kiri ke arah kiri, yang kanan ke arah kanan. Setelah merayap beberapa jauh mereka bertemu dengan teman mereka, mereka serahkan ranting tersebut. Seperti meneruskan pesan lisan berantai sebelumnya, terutama saat terkepung maupun mengepung. Saling membangunkan dan atau untuk mengontrol.

Mengontrol apakah jumlah personel masih lengkap atau tidak. Memakan waktu hanya setengah jam, kedua ranting itu kembali ke tangan sang komandan.Si letnan mengambil penples air dipinggangnya. Dia memang sudah menyuruh bagian dapur untuk selalu mengisi penplesnya itu dengan kopi yang diberi gula sedikit. Diteguk kopi itu dengan nikmat. Kedua sersan yang ada di kiri kanan nya berbuat hal yang sama.

Hari sudah pukul enam lewat saat sang komandan memberi perintah dengan suara tembakan, untuk memulai penyerangan ke arah pelarian yang sejak semalam sudah mereka "kunci".

Hanya beberapa detik setelah tembakan pertama si letnan, kesunyian belantara itu dirobek oleh dengan suara-suara letusan bedil. Dalam cahaya pagi yang sudah mulai terang-terang tanah, mereka melihat tempat yang di jadikan pelarian tentara Amerika itu adalah sebuah pohon besar yang tumbang melintang panjang.

Bukan main, rupanya mereka mendapat tempat perlindungan yang kokoh. Si letnan memberi perintah agar pasukannya yang berda di belakang pohon tersebut segera merangsek maju, sementara dia dan belasan tentara lainnya melindungi dari tempat mereka, demikian cara denikian tak ada lagi celah bagi pelarian itu untuk lolos. Dari arah kiri dan kanan delapan tentara Vietnam itu merengsek maju ke tempat perlindungan tentara Amerika tersebut.

Saat kedelapan tentara itu mendapatkan posisi yang baik, ganti ujung lainnya yang maju dan mereka pula yang melindungi. Karena belantara sudah cukup terang, dengan cepat mereka bisa maju. Dalam tiga kali bergerak tiap ujung yang menjepit itu, mereka kini sampai ke dekat pohon itu. Salah satu tentara yang maju itu melihat sebuah ujung bedil di balik pohon besar itu.

Tentu saja dia tahu kalau di ujung pangkal bedil itu pasti ada orangnya. Dengan gerakan yang cepat dia melangkah kearah kanan sambil melepaskan tembakan gencar ke arah semak ujung pangkal bedil itu. Mereka juga bergerak cepat dengan menghujani tembakan ke arah persembunyian pelarian itu, tapi mereka lupa pesan komandannya tadi malam kalau salah satu dari pelarian itu harus di biarkan hidup.

Mereka berfikir, daripada orang yang mereka buru lolos, atau malah balas menembak, sehingga nyawa mereka pula yang terancam, lebih baik membunuh saja keempat pelarian itu!

Usai rentetan tembakan yang panjang itu tiba-tiba suasana menjadi sepi! Mereka menunggu. Tak ada reaksi atau balasan apapun dari keempat pelarian tersebut.

Usah kan balasan tembakan, gerakan saja pun tak terlihat dari arah sekitar bedil tersebut. Kedua bedil itu sudah terpental ketika kena hajaran peluru. Mereka lalu menyergap dengan bedil terhunus ke tempat itu.

Dan…

Mereka semua, sekitar dua belas tentara Vietnam yang merangsek maju ke dekat pohon tumbang itu, pada tertegak kaku!

Si Komandan, yang memperhatikan dari jarak sekitar dua puluh depa, menatap dengan tegang ke arah anak buahnya tersebut. Dia menjadi agak heran juga, melihat belasan anak buahnya itu tiba-tiba tertegak diam di seberang pohon besar yang tumbang itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya, menanyakan apakah keadaan aman. Anak buahnya yang tak berada dekat pohon tumbang itu memberi isyarat aman.

Si letnan segera melangkah ke lokasi yang sudah dikepung belasan prajuritnya. Dia faham sudah, ke empat pelarian itu sudah jadi mayat.

Tak apalah. Yang penting perburuan yang melelahkan ini selesai sudah. Walau pun dia tak bisa mewujudkan niatnya, tak apalah. Yang jelas dia bisa kembali dengan membawa kepala ke empat pelarian itu.

Kepalanya saja! Bikin apa membawa-bawa tubuh mereka. Menambah-nambah beban saja. Bukankah komandan mereka sudah memerintahkan agar membawa kepala para pelarian itu ke markas?

Si letnan pun sampai ke tempat tersebut. Dia melompat naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dari sana dia menatap ke bawah, ke arah tempat yang sudah dikerumuni belasan pasukannya. Dan, sebagaimana anak buahnya, dia juga ikut tertegun tatkala melihat tempat yang dikepung itu.

Kecuali dua buah bedil yang sudah sompeng popornya dimakan peluru, tak ada siapa pun di sana! Jangankan empat pelarian yang mereka buru, kentut pelarian itu pun tak lagi terlihat!

Dia hampir tak mempercayai penglihatannya. Di tempat itu memang ada belasan selongsong peluru, dan bekas orang tiarap. Memang tak ada kentut, tapi yang membuat sakit hati si komandan adalah ketika melihat di antara bekas belasan selongsong peluru itu, orang yang mereka buru ternyata meninggalkan embahnya kentut.

Sungguh mati, di sana mereka melihat seonggok tahi manusia! Benar-benar tahi manusia! Dan onggokan tahi itu ternyata sudah cerai berai oleh hajaran peluru anak buahnya. Ooo, sakitnya hati si letnan. Ooo remuk redam jantungnya terasa. Dulu dia dikhianati pacarnya. Sakiiiiit.. sekali.

Tapi, apa yang dia lihat sekarang, sakitnya seribu eh.. sejuta kali lebih sakit dari dikhianati pacarnya dulu. Sakiiiit sekali!

Dengan muka sebentar merah dan sebentar hijau, lalu sebentar kebiru-biruan, si letnan menatap hilir mudik. Ke arah pangkal kayu besar itu, kemudian ke arah ujungnya. Berharap di salah satu tempat yang dia lihat ada kepala atau telinga salah seorang pelarian tersebut. Agak seorang jadilah.

Tapi, dia memang lagi sial. Apa yang sudah dia bayangkan, pulang membawa empat kepala pelarian itu, habis terbenam dalam tahi yang sudah kocar-kacir oleh peluru anak buahnya. Tak ada seorang pun pelarian itu di sana. Bahkan jejaknya, kecuali tahi dan selongsong peluru itu, lenyap seperti ditelan hantu rimba.

Tubuh si letnan menggigil. Mungkin menahan marah, mungkin menahan malu. Matanya melirik ke kanan, ada air mengalir sedalam lebih kurang setengah meter dengan lebar aliran satu meter. Dia menyumpah dalam hatinya. Orang yang mereka buru itu nampaknya sengaja meninggalkan "induk kentut"nya. Sebab, lazimnya orang akan buang air besar di air yang mengalir. Sekalian bisa membersihkan dirinya usai buang hajat. Tapi orang ini nampaknya sengaja buang air di darat. Agak jauh dari air yang mengalir, dengan maksud mempermalukan para pemburunya. Oo sakitnya hulu jantung si letnan.

"Buru mereka….!!" hardiknya dengan muka merah padam.

Salah seorang pasukannya, seorang berpangkat sersan yang ahli pencari jejak, menghampirinya. Bicara perlahan. Letnan itu mendelik. Bicara beberapa patah. Si sersan memberikan penjelasan, sambil menunjuk ke satu arah. Si letnan menoleh ke arah yang ditunjuk. Puluhan anak buahnya menanti.

"Apakah waang tidak salah?" hardiknya berang.

"Tidak, Let! Saya sudah periksa semua penjuru dengan sangat teliti. Jejak orang itu hilang di batang besar ini. Hanya ada dua kemungkinan kenapa hal itu bisa terjadi. Pertama punya sayap, sehingga bisa terbang…."

Ucapannya terhenti karena sebuah tempelengan dari letnan itu mendarat di pipinya. Bibir sersan pencari jejak tersebut pecah dan darah merembes perlahan. Dia dianggap berolok-olok dalam situasi gawat dan memalukan itu, dengan mengatakan ada manusia bersayap dan bisa terbang.

Si sersan memahami kekeliruannya. Dia mengambil sikap sempurna. Kemudian meminta maaf, lalu melanjutkan penjelasan

"Saya bisa memastikan yang berada di sini malam tadi hanya seorang di antara empat pelarian itu, Letnan. Dia sengaja memancing kita memburu dirinya, sehingga tiga temannya yang lain punya kesempatan lolos dari pengejaran. Dan orang yang seorang ini adalah orang yang sangat mengenal belantara. Demikian mahirnya dia, sehingga kami tak bisa melihat sebuah tempat pun di sini, bekas yang diinjaknya, kecuali tempat dia bertahan, kemudian buang air besar itu…."

Si sersan mengakhiri penjelasannya. Letnan tersebut menoleh kepada seorang kopral, anggota pencari jejak yang satunya lagi. Di pasukannya itu memang ada dua pencari jejak. Namun yang amat mahir adalah si sersan yang barusan melapor. Si kopral mengangguk, membenarkan uraian sersan tadi.

"Kalian tak menemukan jejaknya sedikit pun…?"

"Jejaknya tidak, Letnan. Tapi saya bisa menduga, dia kembali ke tempat awal di mana kita pertama membuat formasi berbanjar untuk mengejar mereka senja kemarin. Di sana dia berpisah dengan teman-temannya. Dia sengaja memancing kita dengan membawa dua bedil dan peluru yang memadai, sehingga kita menyangka mereka masih tetap empat orang. Pada saat kita mengejarnya ke arah ini, teman-temannya punya kesempatan melarikan diri ke arah yang berlawanan.

Saya rasa mereka sudah sangat jauh. Mengenai orang yang tadi malam bertahan di sini, melihat ke mahirannya memancing kita kemari, dan kemahirannya mengenal setiap lekuk liku belantara ini, saya rasa sudah hampir mencapai ketiga orang lainnya itu. Dengan kemahirannya dia pasti bisa berjalan dengan cepat sekali dalam belantara lebat ini…" ujar si sersan mengkhiri penjelasannya.

Bukan main sakitnya hati si letnan. Bukan mendengar uraian pencari jejak tersebut. Melainkan pada kebodohan dirinya, yang mudah saja dikecoh. Tadi pun, sebelum si sersan bertutur, dia sudah menduga-duga seperti itu. Namun dalam hal mencari jejak di belantara, dia memang mengandalkan si sersan. Kini dia benar-benar tak tahu apa yang harus dia lakukan.

Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke markas mereka? Kembali dengan membawa cerita bahwa di akhir pengepungan mereka hanya berhasil menemukan seungguk induk kentut?

Letnan itu memutuskan meneruskan pengejaran. Dia tahu, pengejaran harus dia lakukan. Sebab dia sudah mendengar perintah komandannya, sebelum berhasil menangkap ke empat pelarian itu mereka tak dibolehkan pulang ke markas!

---

Letnan Cowie memutuskan istirahat di balik sebuah jeram air terjun. Belantara yang sudah mereka lewati sepanjang dua hari dua malam ini nampaknya benar-benar belum pernah disentuh kaki manusia. Dia dengan teguh menuruti petunjuk si Bungsu, agar menjaga arah pelarian, tetap menuju ke arah barat. Kendati medan yang harus mereka tempuh semakin berat, namun dia tetap mengarahkan jalan ke arah matahari terbenam. Di hari ketiga, menjelang tengah hari mereka sudah meninggalkan belantara yang datar dan berawa. Dari kejauhan mereka melihat bukit-bukit yang menjulang.

Ketika menemui sebuah sungai yang cukup besar dan berair jernih, mereka mengikuti alur sungai itu ke arah hulu. Semakin jauh ke hulu semakin sulit medan yang harus mereka tempuh. Mendaki bukit batu cadas terjal dan menuruni tebing curam. Namun mereka semua yakin, apa yang diucapkan lelaki Indonesia itu tentang helikopter tempur yang menjemput Kolonel MacMahon. Helikopter itu datang dan pergi ke arah barat, ke arah perbatasan Kamboja.

Lewat tengah hari, mereka tiba-tiba menemukan sebuah air terjun dua tingkat yang selain tinggi dan terjal, juga sangat indah. Di bahagian bawah, di mana air terjun itu terhempas, tercipta sebuah danau selebar lapangan bola volli. Di seluruh tepinya adalah hamparan pasir putih yang landai. Sedikit bahagian yang terjal dan berbatu-batu besar ada di bahagian air itu menghujam dari ketinggian sekitar lima puluh meter. Di bahagian itu pula tercipta pelangi yang melengkung dari sisi kanan ke sisi kiri. Seolah-olah sebuah jembatan yang terbuat dari selendang. Sungguh-sungguh teramat indah.