Si Bungsu terdiam sesaat, namun akhirnya dia memutuskan bercerita apa adanya. Sudah tak akan membahayakan Thi Binh lagi. Gadis itu, ayahnya dan sepupunya tentu sudah berada di suatu tempat jauh dari Vietnam. Di suatu negara yang tak terjangkau oleh kekejaman negeri yang masih saja menggelegak seperti Dalam Neraka ini.
"Seorang gadis Vietnam asli, yang bernama Thi Binh yang menembak kolonel itu dengan howitzer sehingga tubuhnya hancur berkeping. Saya memang berjanji padanya untuk memberi kesempatan untuk membalas dendam. Kolonel itulah yang memperkosanya pertama kali, dan selama dua minggu berturut-turut setelah itu, ketika dia ditangkap dan diseret ke barak-barak itu. Setelah kolonel itu puas dia serahkan pada perwira-perwira bawahannya. Kemudian dijebloskan ke barak yang dihuni wanita-wanita penghibur. Dia harus melayani kebuasan lelaki tiap hari. Sampai akhirnya dia dipulangkan karena sakit sipilis. Untung saya bisa mengobatinya dengan dedaunan, seminggu setelah itu dia sembuh sama sekali, itulah yang terjadi, Tuan…"
"Dan dia sembuh?"
"Sembuh total, Tuan.."
"Hanya dalam beberapa hari dia sembuh oleh ramuanmu?"
"Seminggu,Tuan…"
"Siapa kontakmu di negeri ini?"
"Seorang Indo Vietnam-Perancis, bernama Ami Florence…"
"Dimana dia Tuan temui…?"
"Di sebuah bar, di kota Da Nang…"
"Dia mata-mata Amerika?"
"Ya, salah satu mata-mata yang sangat diandalkan…."
"Dimana dia sekarang?"
"Sudah melarikan diri dengan speedboat, bersama abangnya bernama Le Duan.."
"Lari hanya dengan speedboat?"
"Sebuah kapal perang Amerika menanti mereka di Laut China Selatan.."overste itu menatap si Bungsu dengan tajam.
"Engkau tahu nama kapalnya..?"
"USS Alamo…"
"Dari mana kau tahu?"
"Mereka melakukan kotak radio, dua hari sebelum melarikan diri.."
"Dimana dia melakukan kontak radio?"
"Disebuah terowongan bawah tanah. Pintu masuknya ada di lantai bar itu. Tapi bar itu sudah hancur oleh bom waktu yang mereka pasang.."
"Tuan tahu semua detil pelarian itu?"
"Tidak semua, hanya saat mereka melakukan kontak radio.."ujar si Bungsu mencoba mengelak dari pertanyaan detil.
"Tuan mengenal anggota pasukan saya ini?"tiba-tiba overste itu mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk Lok Ma.
Ada beberapa saat si Bungsu ragu menjawab. Namun akhirnya dia memutuskan bicara apa adanya. Dia yakin, betapa genting dan ruwetnya situasi saat ini, dia tetap percaya pada nalurinya. Bahwa ke terus terangan akan lebih mudah menyelesaikan persoalan.
"Ya, Sersan Lok Ma…"
"Dimana anda mengenalnya?"
"Didalam hutan, saat dia dan dua orang lainnya ditugaskan menjebak saya.."
"Lalu apa yang terjadi..?"
"Saya melumpuhkan mereka, ketiganya…"
"Lok Ma adalah andalan kami dalam mencari jejak dan memburu orang. Bagaimana kamu bisa melumpuhkannya..?"
"Bahwa Lok Ma adalah pencari jejak dan pemburu ulung saya akui kebenarannya. Namun hutan ibarat rumah bagi saya. Dan dalam Penyergapan yang dipasang Lok Ma, ternyata saya lebih beruntung…"
"Engkau menyergap mereka dengan menodongkan bedil?"
"Tidak, Tuan saya melumpuhkan mereka…"
"Tuan melumpuhkannya dengan tangan kosong…?"tanya overste itu, sambil menyelidik sampai dimana kemampuan lelaki ini. Si Bungsu menari "nafas. Menunduk sesaat kemudian berkata.
"Saya lumpuhkan mereka dengan lemparan hulu samurai kecil ketempat yang melumpuhkan, kecuali Lok Ma. Dia sedang mencari tahu keberadaan dua anak buahnya yang saya lumpuhkan, ketika saya menyelusup tegak setengah depa di belakangnya tanpa dia ketahui…"
"Lalu dia melepaskan kamu pergi begitu saja..?"
"Tidak. Jelas dia ingin membunuh saya. Tapi saya katakan padanya, setiap gerakan yang dibuat sama dengan bunuh diri. Karena, maaf, gerakan saya lebih jauh cepat dari yang mampu dia lakukan. Dia lalu saya totok, sehingga tak bisa bergerak.,"
"Kenapa ketiga orang itu tidak tuan bunuh?"
Si Bungsu kembali tak segera menjawab. Ada beberapa saat dia menatap Letnan Kolonel itu
"Ini bukan perang saya, tuan. Negeri saya tak terlibat didalamnya. Maka saya pikir, tak pantas saya mengotori tangan saya dengan darah orang-orang Vietnam…"
Letnan Kolonel itu mendahak. Dahaknya yang kental dia semburkan dengan kecepatan yang luar biasa ke arah si Bungsu. Si Bungsu tak bergerak sedikitpun. Dan dahak kental itu hanya sejari dari telinga si Bungsu. Dia tak mengelak, karena dia tahu dahak itu tidak secara langsung bukan diarahkan padanya.
"Maaf, paru-paru tuan sangat parah, Ludah tuan berwarna kehitaman.."
Letnan kolonel itu tertegun. Namun hanya sesaat. Kemudian ketika dia bicara, suaranya terdengar mendesis tajam.
"Tak pantas melumuri tanganmu dengan darah orang Vietnam, katamu? Cis!, setelah belasan orang terbunuh ditanganmu, termasuk seorang Mayor dan enam orang terbunuh ditimpa batu besar yang kau tembak beruntun dengan howitzer yang kau curi dari barak senjata kami? Itu yang kau maksud tak ingin melumuri tanganmu dengan darah orang Vietnam?"
"Belasan orang lainnya dipastikan sudah terbunuh, jika saya tidak berobah pendirian dalam belantara itu, saat dijebak oleh Lok Ma…" ujar si Bungsu perlahan.
"Alangkah sombongnya…" desis overste tersebut.
"Selain Lok Ma dan dua anggotanya, barangkali juga ada dua belas sampai lima belas orang lainnya yang terlibat pertempuran di padang lalang itu, yang tak saya cabut nyawanya, kendati saya mampu. Mereka hanya saya tembak bahu atau tangannya, sekedar mereka tidak bisa menembak helikopter yang akan meloloskan diri itu. Termasuk kapten bertubuh seperti gorilla di samping Tuan sekarang…" tutur si Bungsu dengan datar dan tenang, tanpa ada kesombongan sedikit pun di dalam nada suaranya.
Kali ini overste itu benar-benar terdiam. Si Bungsu menoleh pada belasan tentara yang tegak di pinggir dinding. Beberapa di antaranya bahu dan tangan mereka terlihat masih terbalut perban. Kemudian dia menatap kembali pada overste tersebut. Overste itu, bersama tiga atau empat perwira lainnya, juga menatap padanya.
"Jika saya benar-benar haus darah, mereka takkan ada di sini saat ini. Barangkali mayat mereka sudah dirobek-robek binatang buas di tepi danau penuh buaya dimana pertempuran saat helikopter menjemput itu terjadi…" ujar si Bungsu perlahan.
Ketika semua orang masih terdiam, tatkala melihat kapten bertubuh gorilla yang dua kali menghantamnya ketika dia masih tergantung dengan kepala ke bawah tempo hari, mendekatinya. Sebuah rencana separoh gila tiba-tiba melintas di kepala si Bungsu. Dia menatap lurus kepada si kapten bertubuh besar itu dan berkata.
"Seorang prajurit tangguh, tidak ditentukan oleh besarnya badan. Tetapi ditentukan oleh sejauh mana memiliki otak. Apalagi jika sudah menjadi perwira, haruslah memakai otaknya ketimbang otot. Amatlah mudah melumpuhkan orang bertubuh besar. Bahkan dengan tangan terikat sekali pun. Untuk membuktikannya, tentu saja jika ada orang bertubuh besar di ruang ini yang berani bertarung dengan saya dalam keadaan kedua tangan saya terikat seperti sekarang, saya bersedia melayaninya…" ujar si Bungsu dalam nada perlahan, dengan sedikit senyum di bibirnya.
Bukan main hebatnya akibat ucapan si Bungsu terakhir. Kapten bertubuh gorilla itu sampai menggeram dan menggigil menahan amuk. Namun beberapa prajurit Vietnam yang memang membenci kapten pemberang dan amat suka melekatkan tangan bila sedikit saja tersinggung itu, merasa senang si kapten diberi hajaran seperti itu di depan orang ramai.
Kapten itu bicara separoh berbisik kepada si overste. Kendati dia bicara dengan suara yang ditekannya serendah mungkin, karena segan pada si overste, namun semua orang mengetahui bahwa kapten itu emosinya nyaris tak bisa dia kendalikan. Sambil bicara matanya berkali-kali menatap penuh amarah kepada si Bungsu.
"Apakah memang engkau mampu mengalahkan orang dalam perkelahian tangan kosong, dengan kedua tanganmu terikat seperti sekarang?" tanya overste itu.
"Mampu! Tapi lawan saya harus yang bertubuh paling besar. Sebab hanya orang-orang bertubuh besar yang dengan mudah bisa dikalahkan. Kecuali jika dia penakut…" ujar si Bungsu menambah bensin, mengompori si kapten bertubuh besar itu.
"Bagaimana jika Anda kalah?" ujar si overste.
"Yang harus dibuat perjanjian adalah bagaimana kalau saya menang…" ujar si Bungsu.
"Engkau tawanan di sini! Kalah atau menang bagimu adalah mati!" sergah kapten gorilla itu dengan penuh emosi.
"Kalau begitu siapa pun lawan saya harus mati. Agar bersama-sama ikut mati dengan saya…" ujar si Bungsu dengan tenang dan menatap tepat-tepat ke mata si kapten, yang juga sedang menatap kepadanya dengan tatapan mata seperti menyemburkan api.
"Kau berani bertarung dengan Kapten Bunh Dhuang dalam keadaan kedua tanganmu terikat seperti sekarang?" tanya overste tersebut.
"Tidak hanya tangan. Dengan kedua kaki saya yang juga diikat dengan jarak langkah hanya sejengkal, saya berani!" jawab si Bungsu.
"Kau berani melawannya dengan tangan dan kakimu terikat seperti sekarang?" ulang overste itu.
"Sebaiknya Tuan tidak bertanya pada saya. Karena tadi saya yang mengajukan tantangan. Sebaiknya tanyakan pada kapten itu, apakah dia benar-benar berani melawan saya…" ujar si Bungsu, lagi-lagi dalam nada yang amat tenang, namun dengan ejekan yang hampir meledakkan paru-paru si kapten saking berangnya.
Kapten itu langsung berdiri. Membuka sabuk pinggangnya yang berpistol dan berpisau. Menghempaskan pistol dan pisaunya itu di meja. Kemudian mendekati si Bungsu yang masih duduk di kursinya. Selangkah dari kursi si Bungsu, kapten itu berdiri dengan tangan terkepal dan muka merah.
"Tegak kau, monyet…!" desisnya sembari menendang kaki kursi.
Si Bungsu masih saja duduk dengan tenang. Barulah saat sepatu lars si kapten sejari lagi dari kaki kursinya dia berdiri. Kaki kursi yang terbuat dari kayu sebesar lengan itu langsung patah, dan kursi itu tercampak ke belakang. Menghantam dinding dan menimbulkan suara berderak, lalu rontok ke lantai dalam keadaan porak poranda.
Kini mereka tegak berhadapan dalam jarak tak sampai sedepa. Semua orang menatap tak berkedip. Mereka kenal benar kemahiran Kapten Bunh Dhuang dalam karate, judo dan jujitsu. Dalam seluruh resimen tak ada yang mampu menandinginya.