Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 222 - Ke arah mana pasukan yang lain perginya?

Chapter 222 - Ke arah mana pasukan yang lain perginya?

Si letnan masih beruntung, saat dia menatap tajam ke arah dua tentara Vietnam di depannya, sudut matanya sekilas menangkap ada benda yang bergerak di bahagian atas kepalanya. Nalurinya yang tajam masih cepat bereaksi ketika kepala ular itu menyambar ke arah lehernya. Dia berguling menjatuhkan diri, dan menembak. Kepala ular tersebut hancur dihantam pelurunya. Dan si letnan dalam suatu gerakan berputar segera memuntahkan peluru ke arah dua tentara Vietnam yang terkejut mendengar letusan hanya empat depa di belakang mereka.

Semburan peluru dari bedil si letnan membuat kedua tentara Vietnam itu terjungkal mati. Namun setelah itu terdengar suara teriakan-teriakan. Dan tempat si letnan kemudian dihajar ratusan peluru dari balik-balik pepohonan. Dengan menyumpah si letnan bergulingan dari balik pohon ke pohon lain untuk menyelamatkan diri dari terkaman peluru.

Sekitar lima puluh meter dari tempat si letnan, Duc Thio dan para pelarian wanita serta tentara yang sakit, mendengar suara letusan itu dengan berdebar.

Suara tembakan tiba-tiba berhenti. Si letnan tiarap di balik sebuah pohon besar. Dia tidak tahu ada berapa tentara Vietnam yang kini berada di hadapannya. Baik dirinya maupun pasukan yang mengejarnya sama-sama tak mengetahui berapa lawan yang mereka hadapi.

Sersan yang tadi melambung ke bahagian kanan, yang hanya berbekal sebuah bayonet, begitu mendengar suara tembakan di bahagian kirinya, segera menyelusup mendekati tempat pertempuran tersebut. Dia tahu yang disirami tembakan itu adalah si letnan. Dengan cara menyelusup yang kemahirannya masih dia miliki, kendati sudah tiga tahun dalam sekapan, dia sampai ke tempat pertempuran itu saat suara tembakan terhenti.

Dia tak tahu si letnan berada di mana. Untuk itu si kopral bersiul. Siulnya amat susah dibedakan dengan suara burung. Kemahiran meniru suara burung atau suara hewan lainnya menjadi andalan bagi pasukan Baret Hijau dan pasukan SEAL Amerika, dalam perang di hutan belantara.

Si letnan, yang masih dalam posisi tiarap dan menanti, mendengar suara sejenis burung yang hidup dalam belantara Vietnam tersebut. Dia segera tahu, suara itu adalah suara si sersan. Ada kode khusus di dalam tiruan suara burung itu, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang memang mempelajari suara tersebut. Dia lalu menyahuti suara itu dengan meniru suara burung pula. Dari asal suara itu, si sersan menjadi faham di mana letnan itu kini berada. Sekitar lima puluh depa di depannya. Kalau begitu, tentara Vietnam kini berada antara dia dengan si letnan.

Sersan itu mengambil sebuah dahan kering sebesar lengan yang tergeletak tak jauh dari tempatnya tegak. Setelah mengira-ngira, dia melemparkan dahan itu ke rimbunan semak di bahagian kanannya. Begitu suara desau dahan kering itu menerpa semak, serentetan tembakan menghajar semak tersebut. Dan si sersan menandai sebuah pohon besar tempat asal tembakan yang terdekat dengannya.

Pohon besar itu berada di depannya, agak ke kiri, hanya sekitar sepuluh depa. Dia melihat, tentara di balik pohon besar itu berada di posisi paling belakang dari empat temannya yang lain, yang tadi menghujani semak yang dilemparnya dengan dahan itu dengan siraman peluru. Sersan itu menarik nafas, mengingat kembali masa-masa terakhir pertempuran sebelum dia tertangkap.

Disiksa dengan amat sangat selama berbulan-bulan, dan dijebloskan ke tahanan di goa batu di bukit cadas itu. Hanya mereka yang memiliki ketahanan fisik dan kekuatan mental yang luar biasa saja yang mampu melewati masa penyiksaan tak terperikan itu dengan selamat. Yang tak kuat, seperti puluhan teman-temannya, mati atau paling tidak lumpuh. Sebagaimana terjadi pada beberapa orang di antara mereka, yang baru saja dibebaskan si Bungsu dan kini sedang berupaya menyelamatkan diri.

Sersan berkulit hitam itu merasa urat-uratnya menegang saat dia mulai menyelinap dari pohon ke pohon, melata seperti seekor ular, mendekati kayu besar di mana salah seorang tentara Vietnam menyemburkan tembakannya barusan. Hampir tanpa suara dia sampai ke sebuah pohon sekitar lima depa dari pohon besar itu. Dari tempatnya kini dengan jelas dia dapat melihat tentara Vietnam yang sedang tiarap dan mengarahkan senjata ke belukar di mana letnan dari pasukan Baret Hijau Amerika itu bertahan.

Si sersan kembali menarik nafas, menggenggam bayonet rampasannya dengan erat. Tak dia lihat tentara Vietnam yang lain. Mereka pastilah tersembunyi di balik-balik pohon yang lain. Hal itu paling tidak memberi kesempatan padanya untuk lebih leluasa bergerak.

Dengan sekali lagi menarik nafas panjang, dengan gerakan yang masih cukup cepat dia tegak, kemudian memutari pohon tempat dia berada. Menyerbu ke arah tentara Vietnam yang sedang tiarap dengan posisi membelakanginya.

Tentara Vietnam yang sedang menatap ke arah belukar di mana tentara Amerika yang menembaki mereka tadi berada, tak tahu sama sekali bahwa bahaya mengintainya dari belakang. Dia memang sempat mendengar suara perlahan di belakangnya. Namun sudah sangat terlambat baginya untuk mengetahui suara apa itu gerangan. Karena tiba-tiba saja dagunya diraih dan ditarik ke atas dengan kuat. Dia hanya sempat terkejut dan terbelalak, namun hanya sampai di situ.

Dia bahkan tak sempat menjerit, karena bayonet di tangan tentara Negro Amerika itu sudah memotong lehernya. Terdorong oleh kebencian yang sangat akibat dendam bertahun-tahun disiksa, tentara Amerika itu tak sadar bahwa irisan bayonetnya sudah hampir memutuskan leher si Vietnam. Orang Vietnam itu bahkan tak sempat lagi berkelojotan. Hanya darah yang menyembur-nyembur dari lehernya yang hampir putus.

Kalau saja si Negro berada di bahagian depan, tubuhnya pasti sudah basah kuyup oleh darah yang menyembur ,seperti air bertekanan kuat yang muncrat dari pipa pecah. Tapi kini, karena dia berada di atas tubuh si Vietnam yang tiarap, yang terkena semburan darah adalah tangannya yang memegang bayonet. Kemudian tubuh Vietnam tersebut terkapar.

Sersan Negro itu menghapuskan darah di mata bayonet itu ke baju korbannya. Menyisipkan bayonet itu ke pinggang, kemudian mengambil bedil si Vietnam. Kemudian dia kembali bersiul menirukan suara burung. Dari isyarat yang dia beri, si letnan menjadi faham bahwa situasi dikuasai si sersan. Letnan tersebut membuat gerakan di tempat persembunyiannya. Begitu dia membuat gerakan, begitu empat senjata dari empat tempat yang berbeda menyalak menyiramkan timah panas ke arah tempat si letnan. Dan kesempatan itu memang ditunggu sersan Negro tersebut.

Kini dia menjadi tahu dimana posisi ke empat tentara Vietnam yang masih tersisa, setelah dua mati di tangan si letnan dan yang seorang mati di tangannya. Dia menuju ke rumpun pinang yang amat rimbun, enam depa di bahagian kanannya. Di sana dia mendapati seorang tentara yang masih berusia belasan tahun sedang menembak ke arah tempat persembunyian si letnan. Vietnam itu sama sekali tak tahu bahwa maut berada dekat sekali di belakangnya.

Dari balik kayu besar di mana kini dia berdiri, sersan tersebut mengirimkan sebuah timah panas, ke kepala tentara Vietnam itu. Peluru menembus topi waja tentara tersebut, tembus ke kepalanya, dan keluar di kening dengan meninggalkan lobang besar yang memuncratkan benaknya. Tentara Vietnam yang sedang menembak dalam posisi berlutut di balik pohon tumbang itu langsung tertelungkup ke pohon tersebut. Nyawanya melayang sebelum kepalanya menyentuh pohon melintang di depannya.

Si sersan mengambil senjata otomatis milik tentara Vietnam itu. Kemudian dia kembali bersiul, yang segera difahami oleh si letnan yang masih bersembunyi di balik belukar.

Hanya beberapa detik setelah siulan itu, si letnan menghamburkan tembakan ke arah pohon-pohon di mana tadi dia melihat sumber tembakan itu, lalu dia melambungkan diri, bergulingan ke arah pohon besar yang terletak sekitar lima depa di kanannya.

Kemunculan dirinya segera disambut oleh tembakan gencar tentara Vietnam yang berada di tiga tempat. Dan itulah taktik yang sengaja dibuat si sersan dan letnan tersebut. Ketiga sisa regu pemburu itu tak mengetahui bahwa salah seorang pelarian yang mereka kejar justru sudah menusuk ke garis belakang mereka.

Begitu mereka menembak ke arah si letnan, sersan itu segera bergerak cepat. Satu demi satu dia datangi tempat si penembak dari arah belakang, dan dengan mudah menghabisi nyawa mereka.

Sepi!

Letnan dari pasukan Baret Hijau itu muncul dari balik persembunyiannya setelah kembali terdengar suara siulan si sersan. Dia menatap ke arah tujuh mayat tentara Vietnam yang bergelimpangan. Dan ketika sersan Negro itu muncul dari balik sebuah pohon besar, dia menyalaminya. Mereka kemudian bergegas ke arah rombongan yang tadi mereka tinggalkan di belakang.

Dengan senjata rampasan dari tujuh tentara Vietnam itu, jumlah senjata mereka sudah sembilan pucuk. Itu berarti hanya seorang yang tak memiliki senjata. Dan tentu saja yang tak diberi bersenjata adalah Helena, teman seruangan dalam tahanan dengan Roxy. Usahkan untuk memegang senjata, untuk berjalan saja dia tak mampu.

"Mereka nampaknya dibagi dalam regu-regu kecil untuk memburu kita. Kita harus bergerak cepat. Suara tembakan tadi bisa mengundang kedatangan regu-regu pemburu yang lain kemari…" ujar si letnan.

Duc Thio yang bertindak selaku penunjuk jalan segera membawa rombongan itu bergerak menuju ke arah danau yang masih cukup jauh. Dan apa yang dikatakan si letnan nampaknya memang benar. Kendati tempat mereka sudah cukup jauh dari barak tentara Vietnam itu, namun suara tembakan tadi tetap saja terdengar sayup-sayup. Baik oleh tentara Vietnam yang ada di barak, maupun oleh rombongan kolonel MacMahon dan rombongan si Bungsu.

Begitu mendengar tembakan, komandan pasukan Vietnam di barak itu segera memerintahkan suatu pasukan kecil yang terdiri dari dua puluh personil untuk memburu ke arah suara pertempuran tersebut. Kini di barak-barak itu hanya tinggal sekitar sepuluh tentara, termasuk komandannya, seorang kolonel. Tak seorang pun di antara kesepuluh tentara Vietnam yang kini berada di lapangan di tengah lingkaran barak-barak tersebut yang menyadari bahwa hanya belasan meter dari tempat mereka kini berada, mengintip empat pasang mata.

Keempat orang itu adalah si Bungsu, Sersan MacDowell, Thi Binh dan Roxy. Dari tempat mengintip mereka berempat melihat ke dua puluh tentara yang berangkat buru-buru ke arah asal tembakan tersebut. Pasukan itu nampaknya akan melewati tempat dimana Kolonel MacMahon memasang jebakan.

Si Bungsu membisikkan pada ketiga anggota rombongannya agar menanti ke dua puluh tentara itu berlalu cukup jauh. Pada saat ke dua puluh pemburu itu terlibat pertempuran dengan pasukan MacMahon, mereka baru bergerak menyerang tentara di barak tersebut.

"Ke arah mana pasukan yang lain perginya?" bisik sersan MacDowell pada si Bungsu, yang merasa khawatir pada nasib teman-temannya yang melarikan diri di bawah pimpinan Duc Thio. Jangan-jangan mereka sudah tewas semua.

"Untuk memburu kita, nampaknya mereka dibagi dalam beberapa regu. Tiap regu menyisir arah yang berbeda…." jawab si Bungsu.

Sementara itu, mata Thi Binh nanap menatap ke lapangan di tengah kumpulan barak di depan sana.

Di sana, di lapangan tersebut, di dekat tiang bendera, sekitar sepuluh tentara sedang berdiri dengan senjata siap di tangan masing-masing.

Di bahagian depan seorang kolonel terlihat mondar-mandir. Sebentar dia berhenti, tegak dan menatap ke arah bukit-bukit batu, di mana malam tadi dia masih menawan tujuh belas tentara Amerika. Kemudian dia membalikkan diri, berjalan lagi. Sepuluh langkah berjalan dia berhenti. Menatap ke arah darimana tadi terdengar sayup-sayup suara tembakan.

Mata Thi Binh berkilat memancarkan dendam melihat kolonel separoh baya tersebut. Dia teringat, ketika pertama dibawa ke barak-barak ini, dia ditaruh di barak bahagian tengah. Yaitu barak yang dihuni oleh si kolonel.

Tak lama setelah dia dimasukkan ke kamar, di pintu kamar yang dibiarkan terbuka tiba-tiba berdiri si kolonel. Kolonel itu bertubuh besar, kepalanya yang tak bertopi kelihatan botak separoh bahagian depan. Si kolonel menatapnya dari ujung rambut ke ujung kaki, seolah-olah akan menelannya. Lalu kolonel itu melangkah dua langkah memasuki kamar.

Dengan kakinya dia tutupkan pintu di belakangnya. Kemudian, dengan mata nyalang menatap tubuh Thi Binh yang ranum, sambil membuka baju dinasnya. Thi Binh yang semula sudah menggigil di tempat tidur, menginsutkan dirinya ke sudut, dan makin ke sudut, sampai tubuhnya menempel ke dinding.

Si kolonel yang masih berdiri sekitar dua meter dari pembaringan, membuka sepatu dinasnya, kemudian celananya.