"Tolong Helena…"ujar Roxy sambil menoleh kebagian dalam ruang tahanannya, ketika si Bungsu memutuskan rantai-rantai di tubuhnya.
"Kenapa dia tak bangun-bangun?"ujar si Bungsu yang baru mengetahui kalau di ruangan sempit itu Roxy ternyata disekap berdua.
"Dia tak bisa bangun karena sakit…"ujar Roxy.
Si Bungsu tahu dia tak perlu bertanya, kenapa tidak dilaporkan kepada tentara Vietnam. Dilapor sekalipun tak kan ada hasilnya. Dengan menahan bau menyengat, agar dia tak muntah, si Bungsu menggendong tubuh wanita itu ke pintu, agar agak bebas dari bau yang menyengat itu.
Wanita bernama Helena itu ternyata berpangkat Letnan. Itu terlihat dari pakaian dinas nya yang masih melekat di tubuhnya yang sudah kurus kering. Roxy tidak punya pangkat karena dia memang direkrut ke perang vietnam ke dalam korp perawat. Setelah memutuskan rantai-rantai di tubuh Helena si Bungsu kemudian menyerahkan kantong cairan itu kepada tentara yang tadi mengikutinya.
"Bebaskan teman-temanmu yang lain. Saya tak mempunyai persediaan lain cairan ini, selain yang tersisa ini.Usahakan airnya tak habis sebelum teman-temanmu bebas dari Neraka ini. Suruh semuanya berkumpul dimulut terowongan.."ujar si BUngsu pada tentara yang tanda pangkat di kerah bajunya berpangkat Kapten.
"Yes, Sir….!"ujar tentara yang berberewok itu sambil bergerak segera menuju ketempat teman-teman nya di tawan.
"Ayo kita ke mulut terowongan sebelum siang turun…"ujar si BUngsu sambil memangku Helena yang baunya minta ampun dan penuh dengan daki.
"Tunggu, siapa engkau dan siapa namamu?"ujar Roxy sambil memegang tangan si Bungsu.
"Sudah saya katakan, kalau saya orang yang dibayar ayahmu untuk membebaskanmu. Nama saya Bungsu…"ujarnya sambil berjalan keluar dari sel pengap itu.
Roxy mengikuti lelaki asing itu dengan seribu satu pertanyaan di kepalanya. Dia yakin. Ayahnya akan mempergunakan segala cara untuk membebaskannya. Dan dia yakin ayahnya juga mampu beberapa resimen tentara untuk mengundak-undak belantara Vietnam untuk mencari tempat dia disekap.
Namun tak pernah terlintas dikepalanya, kalau lelaki yang dikirim adalah seorang lelaki biasa atau "tidak punya apa-apa", tak pula berotot baja, tak sangar dan tak ada tanda-tanda pernah menjadi salah satu pasukan elit, seperti yang datang membebaskannya ini.
Si Bungsu membawa Helena ke ceruk goa dimana tadi dia menampung tetes air kekantong plastik tadi. Dia yakin, dibalik ceruk ini ada kolam. Sedangkan dibahagian bawah dari tempat air menetes itu, ada anak air mengalir.
"Kalian jaga sebentar. Aku akan mencari air untuk wanita ini…"ujar si Bungsu tatkala dia lewat dekat dua tentara Amerika yang tadi dia bebaskan dan kini menjaga mulut terowongan.
Kedua tentara itu, keduanya berpangkat Sersan Mayor, mengangkat dua jari mereka, telunjuk dan jari tengah yang di rapatkan, sebagai tanda memberi hormat. Kemudian mereka berdiri rapat kedinding, dan mengintai kecelah jalan menuju keterowongan itu, dari mana orang akan muncul jika masuk ketempat penyekapan ini.
Si Bungsu menaruh Helena di dekat ceruk air yang menetes tersebut. Kemudian dengan memperlihatkan lantai goa itu, dia mengambil sebuah obor yang ditancapkan didinding. Lalu dia menuju ceruk itu. Hanya berjarak dua meter kebawah dia menemukan sebuah kolam dua meter yang tak begitu dalam.
Dia segera naik, dan segera memberitahu Roxy tentang kolam itu. Roxy menurut saja ketika si Bungsu memangku tubuh Helena, kemudian bertiga mereka turun ke kolam itu.
"Kalian mandilah. Kalau sudah selesai panggil saya.. Saya rasa kita masih punya waktu untuk mempersiapkan diri dalam pelarian ini…"ujar si Bungsu pada Roxy, sambil meletakkan obor di sebuah batu, kemudian melangkah menaiki tanjakan goa itu.
Akan halnya Roxy dan Helena, yang pertama mereka lakukan dalam kolam yang air nya jernih itu, adalah minum sepuas-puasnya. Mereka segera membuka semua pakain yang baunya minta ampun itu.
Untung saja kolam itu mempunyai saluran pembuangan yang menerobos dinding yang lenyap entah kemana, jadi semua kotoran dan daki-daki yang ada pada tubuh mereka itu hanyut kedalam dinding batu yang tegak tinggi tersebut.
Saat sampai di mulut terowongan si Bungsu melihat semua tentara amerika yang ditahan sudah berkumpul disana. Dia menghitung ada dua belas lelaki dan tiga orang wanita. Dua diantaranya adalah wanita yang mereka lihat di barak, bergumul dekat api unggun dengan tentara Vietnam di bawah bukit ini. Dia menatap wanita itu sekilas, yang penampilannya jauh dari yang lain, yang satunya kelihatan kotor seperti Roxy dan Helena, kedua wanita yang malam tadi dia lihat itu tubuhnya bersih sekali. Selain bersih ternyata bentuk tubuhnya memang menggiurkan.
Si Bungsu cepat-cepat memupus segala fikirannya tentang apa yang diperbuat kedua wanita ini tadi malam. Jika dihitung Roxy dan Helena yang sedang mandi, berarti jumlah semua tawanan ini ada 17 orang. Dua belas lelaki dan lima wanita. Mereka semua, kecuali kedua wanita itu, kelihatan amat kotor dan amat lelah. Dia tak yakin apakah mereka akan mampu berlari jauh, atau bertempur jika kepergok tentara Vietnam.
"Siapa pangkatnya yang tertinggi di antara kalian?" tanya si Bungsu.
Seorang lelaki mengangkat tangan kanannya dari dalam kerumunan tentara yang baru keluar dari sekapan itu. Dari tanda pangkat berwarna hijau gelap di krah baju loreng lelaki tersebut, si Bungsu tahu lelaki itu berpangkat kolonel. Si kolonel nampaknya memang memiliki wibawa yang lebih dari yang lain. Para tentara yang potongannya kacau balau itu bersibak memberi jalan, ketika si kolonel maju.
"Nama saya MacMahon. Eddie MacMahon. Senang bertemu Anda…" ujar kolonel itu sambil mengulurkan tangan.
"Bungsu. Nama saya Bungsu. Hanya nama pertama, tanpa nama kedua…" ujar si Bungsu membalas jabatan tangan si kolonel.
Dia faham bahwa adalah aneh bagi orang barat, jika ada orang yang namanya hanya terdiri dari satu suku kata. Orang-orang barat selalu memiliki nama paling sedikit dengan dua suku kata. Tergantung nama keluarga dari pihak ayahnya. Kalau nama keluarga dan ayahnya hanya satu suku kata, maka nama seorang anak pasti dua suku kata. Kalau nama keluarga yang dipakai seorang ayah dua suku kata, maka nama anaknya pasti tiga suku kata.
Seperti Kolonel Eddie, nama MacMahon dipastikan nama ayahnya, atau nama kakeknya. Sebab sering juga orang memakai nama keluarga atau klan, bukan nama ayah. Yang memakai nama klan ini, misalnya, dapat dilihat pada keluarga Rockefeler. Turunannya ya anak, ya cucu, ya buyut, semuanya memakai nama Rockefeler di belakang nama mereka.
"Senang bertemu Anda, Bungsu. Anda dari pasukan khusus mana?" ujar kolonel MacMahon.
"Saya seorang pengelana. Murni pengelana dan sipil. Murni sipil…" ujar si Bungsu.
Baik kolonel maupun tentara yang lain, menatap lelaki asing itu dengan tatapan tak percaya. Namun lelaki di depan mereka ini nampaknya sangat bisa dipercaya. Segala gerak dan tindakannya demikian menyakinkan.
"Well, apa yang harus kami perbuat?" ujar si kolonel pada si Bungsu.
Sebelum si Bungsu sempat menjawab, sayup-sayup mereka mendengar suara Roxy memanggil.
"Di bawah sana ada kolam yang airnya amat jernih dan bersih. Kita masih punya waktu, bagi yang ingin mandi silahkan. Sekalian menolong mengangkat Letnan Helena…" ujar si Bungsu.
Yang pertama bergerak adalah ke tiga wanita itu. Mereka segera menemukan ceruk tempat air menetes tersebut, kemudian berpedoman pada suara Roxy, yang memanggil-manggil, mereka segera turun dan menemukan kolam jernih itu. Mereka segera saja pada menanggalkan pakaian dan ikut mandi.
Setelah ke lima wanita itu muncul, lima tentara segera menuju ke tempat tersebut. Yang lainnya, termasuk si kolonel dan kelima wanita itu, kini berada di depan si Bungsu. Mereka pada berdiam diri, menatap pada lelaki asing yang tak mereka ketahui dari mana asalnya ini. Si Bungsu yang tahu isi fikiran orang-orang di hadapannya ini, dia berusaha menjelaskan secara singkat siapa dirinya, dan kenapa dia sampai terlempar ke tempat penyekapan ini.
"Well. Seperti saya katakan tadi, nama saya Bungsu. Saya sipil dan pengelana murni. Saya orang Indonesia. Setahun yang lalu saya datang ke Amerika menemui seorang teman. Kemudian saya berkenalan dengan, mmm… Tuan Rogers. Alfonso Rogers. Saya dimintanya untuk mencari tahu nasib anaknya yang hilang di Vietnam ini saat bertugas dalam pasukan Amerika bersama divisi kesehatan. Saya menolak, karena saya tahu tugas itu bukan tugas saya. Maksud saya, saya tak punya keahlian untuk mencari jejak dan bertarung dengan tentara Vietnam untuk membebaskan seorang tawanan. Namun karena dia membayar terlalu tinggi, dan saya memang memerlukan uang, saya terima tawarannya. Di Kota Da Nang saya bertemu seorang bekas tentara Vietnam Selatan,yang bertugas di bidang intelijen. Dari dialah saya mendapat kabar tentang tempat penyekapan ini, di mana diperkirakan Roxy disekap. Teman saya itu, Han Doi, yang menolong saya menemukan tempat ini, ada di bawah sana, berjaga-jaga kalau ada bahaya…" ujar si Bungsu.
Setelah berhenti sejenak dia menyambung."Kemudian, bersama saya sekarang juga ada dua orang Vietnam, anak beranak. Duc Thio dan anaknya Thi Binh. Mereka berada di suatu tempat, tak jauh dari sini…" si Bungsu mengakhiri ceritanya, sembari menatap sesaat pada Roxy, kemudian pada si kolonel.
"Well, kolonel. Kini komando berada di tangan Anda…" ujar si Bungsu pada MacMahon.
Kolonel itu menatap si Bungsu nanap-nanap. Sebagai seorang yang kenyang dalam berbagai pertempuran, dia sangat faham lelaki dari Indonesia ini bukan sembarang orang. Hal itu, paling tidak, dibuktikan dengan berhasilnya dia menemukan tempat ini. Dia yakin, sudah cukup banyak pasukan-pasukan khusus Amerika, yang ditugaskan mencari mereka.
Pasukan itu terbagi dalam satuan-satuan kecil, yang mencoba mencari dan menemukan tempat ini, maupun tempat-tempat lain yang dipergunakan Vietnam Utara sebagai tempat penyekapan tentara Amerika yang mereka tawan. Yang sampai kemari, hanya orang Indonesia ini. Orang ini bukan sipil biasa, bisik hati MacMahon.
Setelah berfikir beberapa saat, menatap si Bungsu dan tawanan-tawanan sebangsanya yang sudah terpuruk di goa ini beberapa lama, kolonel MacMahon berkata.
"Anda baru saja datang dari bawah sana, Tuan. Menurut Anda, mana yang lebih besar kemungkinan bagi kita, langsung meloloskan diri atau terlebih dahulu melakukan penyerangan untuk menghancurkan tentara Vietkong di bawah sana?"
Si Bungsu segera teringat akan janjinya pada Thi Binh, bahwa dia akan memberi gadis itu kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara Vietnam, yang telah memperkosanya selama berbualan-bulan.
"Gadis bernama Thi Binh yang membantu menunjukkan pada saya bahwa di bukit-bukit ini ada konsentrasi tentara dan tempat penyekapan Tuan-tuan, adalah salah seorang gadis yang dijadikan pamuas nafsu tentara Vietnam. Dia mau menceritakan tentang bukit-bukit ini dengan syarat bahwa dia diberi kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara-tentara tersebut. Tanpa keterangannya, saya takkan pernah tahu di mana tempat penyekapan ini. Saya harus menepati janji saya padanya. Namun itu tak mengikat apapun terhadap Tuan-tuan. Jika Tuan-tuan memutuskan segera meloloskan diri, atau ingin menyerang kamp di bawah sana, putusan itu sepenuhnya berada di tangan Tuan-tuan…" ujar si Bungsu perlahan.
"Anda mengetahui gudang persenjataan mereka?"
Si Bungsu mengangguk.
"Dari barak persenjataan mereka kami mengambil seransel peluru dan beberapa buah dinamit. Namun untuk mendekati barak itu siang hari amatlah berbahaya…" ujar si Bungsu.
Kolonel itu menatap anak buahnya. Lima orang di antara mereka, yang duduk tersandar di lantai karena setengah lumpuh akibat disiksa, juga menatap pada si kolonel dengan diam.
"Well, kita sudah lama disekap dan disiksa di sini. Sudah lama tidak bertempur. Jumlah kita sangat kecil dibanding seratus tentara di bawah sana. Namun putusan kita barangkali adalah perang…!" ujar si kolonel.