"Darah amat merangsang penciuman buaya. Mereka mampu mencium bau darah di dalam air dari jarak dua ratus sampai tiga ratus meter. Mereka pasti akan memburu ke sana. Dengan demikian, kita bisa aman buat sementara, karena perhatian dan selera mereka tersedot ke arah darah dari kepala ular itu. Mudah-mudahan tentara yang memburu kita juga menuruti jejak kita tadi. Mereka ke tempat kepala ular itu, baru kemudian melihat arah kita berbelok. Jika itu yang terjadi, mereka sesungguhnya sedang memasuki sarang buaya…" bisik si Bungsu.
"Apakah danau ini memang banyak buaya?" bisik Thi Binh.
"Barangkali ada dua atau tiga ratus ekor…" ujar si Bungsu.
Thi Binh merasa merinding mendengar jawaban itu. Dia menyurukkan mukanya ke dada anak muda itu.
Dalam cahaya senter si Bungsu melihat tiga depa di kanan ada pohon bercabang banyak, yang dahannya sekitar semeter dari permukaan air. Dia memperhatikan pohon itu dengan seksama.
"Tunggu di sini saya periksa pohon itu. Barangkali bisa tempat beristirahat sementara…" bisik si Bungsu pada Thi Binh sambil akan menurunkan gadis itu.
"Saya ikut…" ujar gadis itu.
"Di sana ada ular…." bisik si Bungsu.
"Biarin…." ujar gadis itu.
"Di sana ada buaya…"
"Biarin, biariiin!! Pokoknya aku ikut kemana Tuan pergi…" ujar Thi Binh.
Namun ucapan itu disampaikan Thi Binh tetap dalam berbisik, dan tangannya tetap memeluk leher si Bungsu. Si Bungsu mengalah.
Dalam posisi membopong Thi Binh itu si Bungsu beringsut perlahan mendekati pohon tersebut. Sesampainya di pohon, tangan kirinya meraba-raba dahan pohon itu. Memegang dahan itu beberapa saat, dan menatap ke rimbunan daun di atasnya.
"Oke, tempat ini aman. Kau naik ke atas…" ujar si Bungsu.
Sebelum Thi Binh faham benar apa yang dimaksud si Bungsu, dia merasa pinggulnya ditekan oleh kedua tangan lelaki dari Indonesia itu. Detik berikutnya tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan di dahan rendah itu.
"Hei….!" protesnya.
"Diam di sini bersama abang dan ayah mu…" bisik si Bungsu, sambil memberi isyarat pada Duc Thio dan Han Doi agar mendekat.
"Naik ke dahan itu. Pohon ini aman, tak ada ular atau binatang berbisa lainnya. Tunggu saya di sini…."
Sebelum kedua lelaki itu naik ke dahan, si Bungsu sudah melangkah. Dia kembali mengikuti jejak darimana mereka tadi datang. Tak lama kemudian, sekitar lima puluh meter dari pohon yang mereka naiki, mereka mendengar pekikan dan rentetan tembakan dari tentara Vietnam yang disambar buaya itu. Si Bungsu tak berapa jauh dari sana.
Setelah tentara yang memburu mereka balik kanan, dia kembali ke tempat kawan-kawannya. Dalam perjalanan menuju pohon di mana kawan-kawannya menunggu, dia mendengar desir dan kecipak air. Dia hafal, kecipak air itu muncul akibat buaya melahap mangsanya.
Dia bergegas. Mereka harus menjauhi tempat ini, sejauh yang bisa mereka lakukan. Sebab, buaya-buaya yang lain dari berbagai penjuru rawa kini sedang menuju ke daerah penjagalan tentara Vietnam itu. Mereka datang karena terangsang oleh bau darah yang membanjir di dalam rawa, yang tumpah dari tubuh beberapa manusia yang kini tengah dilahap buaya-buaya tersebut.
"Naiklah ke dahan yang lebih tinggi…" ujarnya kepada Thi Binh dan Han Doi, sesampainya dia di pohon di mana teman-temanya itu menanti.
Dia sendiri ikut naik dan duduk berjuntai di dahan sekitar dua meter di atas air. Akan halnya Thi Binh, begitu si Bungsu duduk, dia segera meninggalkan cabang dimana dia berada. Dia duduk di belakang si Bungsu, kemudian memeluk pinggang anak muda itu dari belakang.
Tak berapa menit kemudian, rawa itu sudah agak terang karena pagi sudah datang. Si Bungsu memberi isyarat kepada Duc Thio dan Han Doi. Dia menunjuk ke bawah, dimana tadi mereka berdiri.
Air di bawah dahan dimana mereka kini berada mereka lihat bergerak. Dari gerigi yang muncul di permukaan air, mereka segera tahu, bahwa gerak air itu disebabkan buaya besar yang tengah menuju ke arah dimana malam tadi mereka datang.
Si Bungsu kembali memberi isyarat dengan telunjuk ke arah kanan dari pohon tempat mereka berada. Dengan terkejut Han Doi dan Duc Thio melihat betapa ada sekitar lima sampai tujuh ekor buaya sedang meluncur ke arah yang sama.
"Ya Tuhan. Rawa ini ternyata memang sarang buaya…" ujar Han Doi.
"Bagaimana kita meninggalkan tempat ini?" bisik Thi Binh dari belakang.
"Kita tunggu berapa saat lagi. Mereka pasti memperebutkan bangkai tentara Vietnam yang terjebak tadi. Perebutan itu juga akan menyebabkan dua sampai empat ekor buaya itu akan mati berkelahi sesamanya. Mereka akan menyantap bangkai teman mereka sendiri. Itulah saatnya kita meninggalkan tempat ini. Dan dalam cuaca yang agak terang, kita bisa lebih bebas mencari jalan yang aman dalam rawa maut ini…" ujar si Bungsu.
Bisikannya yang cukup keras itu tak hanya di dengar Thi Binh di belakangnya, tetapi juga didengar Han Doi dan Duc Thio. Mereka masih nanap melihat buaya-buaya yang meluncur cepat ke arah hilir sana.
Tak lama kemudian, ketika tak ada lagi gerakan air di permukaan rawa, dan ketika rawa itu sudah cukup terang oleh terobosan cahaya matahari, si Bungsu memperhatikan rawa tersebut dari utara ke barat, dari selatan ke timur.
Semua mereka terpana melihat rawa dahsyat itu. Sesayup-sayup mata memandang kemana pun tatapan diarahkan, yang terlihat hanyalah air merah ke hitam-hitaman di antara belantara yang tegak mematung. Di permukaan air rawa, di sela-sela belukar maupun pohon-pohon raksasa yang tegak menjulang, mengapung kabut tipis.
Kabut itu seolah-olah ingin menutupi misteri yang tersembunyi di bawah permukaan air merah kehitam-hitaman tersebut. Air merah kehitam-hitaman itu nyaris tak bergerak, tak beriak sedikitpun. Air gelap itu baru beriak jika ada daun atau buah kayu yang jatuh. Setelah riak-riak bundar akibat sesuatu yang jatuh ke air itu, yang makin lama makin besar dan kemudian lenyap, air rawa itu akan kembali rata. Diam seolah-olah membeku, seperti lantai batu marmer berwarna gelap dan dingin.
"Sampai kapan kita di sini?" tiba-tiba Thi Binh bertanya lagi.
Si Bungsu menoleh ke belakang. Kepada Thi Binh yang duduk dan masih saja memeluk tubuhnya. Gadis itu menatap padanya dari jarak hanya sekitar sejengkal.
"Kalau lapar…" ujar si Bungsu.
Thi Binh menatap lelaki Indonesia itu beberapa jenak. Kemudian mengangguk.
"Saya lapar sekali…" desah Thi Binh sambil menyandarkan wajahnya ke bahu si Bungsu.
Duc Thio segera membuka tas kerunjut kain yang dia sandang. Dari dalamnya dia mengeluarkan ayam yang biasanya digantung di atas tungku. Ayam itu setelah dipotong direbus, kemudian diberi bumbu, lalu dikeringkan di atas tungku.
Duc Thio menyayat daging ayam itu dengan pisau yang dia bawa. Kemudian menyerahkan sayatan terbesar kepada Thi Binh. Sayatan kedua diserahkannya kepada si Bungsu. Lalu kepada Han Doi. Kemudian dia menyayatnya untuk dirinya sendiri. Sisanya dia masukkan kembali ke dalam tas kain, bercampur dengan dua potong pakaiannya dan pakaian Thi Binh.
"Engkau tinggal di sini bersama ayahmu. Kami akan pergi mencari sesuatu untuk dijadikan sampan…" ujar si Bungsu kepada Thi Binh.
Gadis remaja itu menatap si Bungsu sambil mengunyah dendeng ayamnya, kemudian mengangguk. Kemudian melepaskan pelukan tangan kirinya dari pinggang si Bungsu.
"Tetap sajalah di sini. Pergunakan senapan ini jika ada bahaya. Saya akan pergi bersama Han Doi…" ujar si Bungsu kepada Duc Thio.
Dengan berbekal dua buah parang milik Duc Thio dan Han Doi, kemudian masing-masing sebuah bedil, si Bungsu dan Han Doi turun dari kayu tersebut.
Di dalam air setinggi dada, mereka bergerak perlahan ke arah utara, yaitu ke arah pinggir rawa. Namun si Bungsu mengambil jalan memutar, yang berlawanan arah dengan tempat buaya-buaya memangsa tentara Vietkong itu.
"Engkau pernah bertempur di rawa seperti ini, Han Doi?" tanya si Bungsu, tatkala mereka berenang, karena rawa yang mereka lewati airnya sudah sangat dalam.
"Tidak. Dahulu saya hanya bertugas di desa-desa sekitar Da Nang. Hanya dua tahun bertugas sebagai tentara saya direkrut untuk menjadi mata-mata oleh Ame…" suara Han Doi tersekat di tenggorokan, setelah dia menoleh ke belakang karena mendengar ada suara aneh di belakangnya.
Matanya mendelik. Dia lupa di tangannya ada bedil. Si Bungsu yang kemudian ikut menoleh ke belakang, segera membekap mulut Han Doi kuat-kuat. Bekapan itu menyebabkan pekik orang Vietnam itu tertahan di tenggorokan.
"Jangan bersuara, jangan bergerak…" bisik si Bungsu dengan suara hampir menggigil.
Semula, tatkala berjarak sekitar dua puluh depa dari tepi rawa, mereka terhalang oleh sebuah batang kayu panjang, yang nampaknya sudah lama mati dan terendam di rawa tersebut.
Sambil tetap bercerita mereka melewati batang kayu yang mungkin besarnya sebesar paha lelaki dewasa, dan panjangnya sekitar belasan depa itu, dengan cara menyelam dan muncul di sebelahnya.
Ternyata, kayu itu adalah seekor ular raksasa yang bahagian kepalanya melilit ke sebuah kayu besar. Mungkin ketika mereka menyelam di bawah tubuh ular itu, si ular merasa terusik, dan menggeliat bangun!
Ular raksasa itulah yang pertama tertatap oleh Han Doi saat menolehkan kepala ke belakang. Ujung 'kayu' itu seperti segi tiga pipih, yang lebarnya tak kurang sedepa. Dari mulutnya yang pipih lancip itu tiap sebentar menjulur lidahnya yang bercabang.
Si Bungsu masih tetap membekap mulut Han Doi, dan tubuh mereka tetap mengapung diam mematung di permukaan air rawa. Menatap dengan jantung menggigil pada monster raksasa penunggu rawa dahsyat itu.
Setelah menggeliat, raksasa itu meluncur ke arah tengah rawa. Mereka masih tak mampu bergerak dari tempatnya, kendati bahagian ekor monster menakutkan itu sudah lama lenyap ke dalam kabut di bahagian tengah rawa.
"Kita harus segera bergerak…" ujar si Bungsu tanpa dapat menyembunyikan suaranya yang menggigil.
"Iy… iya…" ujar Han Doi yang tak mampu menahan kencingnya untuk tak terpancar sesaat setelah melihat raksasa dahsyat itu tadi. Mereka bergerak cepat ke tepi rawa.
"Mencari apa kita kemari…" tanya Han Doi setelah mengikuti si Bungsu berputar-putar beberapa saat di dalam hutan di pinggir rawa tersebut.
"Mencari kayu itu…" ujar si Bungsu sambil menunjuk batang kayu kuning keputih-putihan sebesar dua kali pelukan manusia dewasa.
"Kayu ini besar daya apungnya di air. Bisa kita jadikan rakit untuk menerobos rawa ini ke hulunya," ujar si Bungsu tatkala mereka mulai menebang kayu besar tersebut.
Han Doi merasa takjub pada pengetahuan lelaki Indonesia ini tengah rimba belantara dan jenis kayu yang tumbuh di dalamnya. Sebab, ketika menebang kayu besar itu parangnya seperti memakan kayu gabus. Dalam waktu yang tak begitu lama, dan tanpa harus membuang tenaga banyak, kayu itu segera tumbang arah ke danau.
"Potong-potong sepanjang tiga depa, sebatang kayu ini bisa dapat tiga potong. Saya akan mencari sesuatu…" ujar si Bungsu sambil meninggalkan Han Doi.
"Hei, jangan tinggalkan saya. Nanti monster di rawa itu datang lagi kemari…" ujar Han Doi.
"Kalau dia datang, suruh tunggu saya sebentar…" ujar si Bungsu sambil menyelinap ke dalam hutan.