"Mengapa lama benar engkau baru datang, Tuan..?" bisik Thi Binh dari dalam pelukan si Bungsu.
"Maafkan saya, Dik. Saya sungguh tak tahu, kalau Yang Maha Kuasa Mengatur telah menetapkan langkahku agar bertemu denganmu disini. Kalau saya tahu, takkan sedetikpun saya terlambat.." bisik si Bungsu, dengan jantung yang berdetak keras, mengingat mimpi yang amat aneh yang menyelusup kedalam tidur gadis ini.
Gadis itu masih memeluknya. Sambil berlutut si Bungsu memeluk gadis itu dan membelai rambutnya dengan perasaan iba. Beberapa saat kemudian, terbawa oleh kondisinya yang masih lemah, gadis itu tertidur dalam pelukan si Bungsu. Setelah yakin gadis itu tertidur pulas, perlahan si Bungsu membaringkannya ditikar beralaskan selimut kusam, ditempat mana selama empat hari ini dia tak sadarkan diri. Kudis sebesar benggol yang selama ini berair, yang terletak di sudut bibir Thi Binh, kini kelihatan sudah mengering. Ketiga lelaki itu kemudian pindah ke ruangan sebelah. Meninggalkan Thi Binh tidur.
Malam harinya Han Doi turun kehalaman. Dia tegak diam di dekat batang durian. Matanya mencoba menembus kegelapan malam, menatap kebahagian hulu dan hilir kampung, sembari memasang telinga. Sepi terasa mencekam.
"Kita harus menyingkir dari pondok ini segera. Saya punya firasat, paling lama pagi ini, tentara Vietkong akan datang menangkap kita. Kita harus menyingkir ke hutan sebelum mereka datang…"ujar si Bungsu ketika mereka bertiga duduk di ruang tengah.
"Bagaimana cara membawa Thi-thi..?"ujar Duc Thio, menghawatirkan anaknya.
"Saya rasa, kalau dia bangun sebentar lagi, tenaganya akan pulih…"ujar si Bungsu perlahan.
"Bagaimana mungkin. Kondisinya begitu lemah. Sudah seminggu tak makan, kecuali bubur ayam tadi…"ujar Duc Thio.
"Jika ramuan yang saya minumkan padanya mampu membuat dia sadar dan bisa makan, maka kini ramuan itu dalam proses memulihkan tenaganya…" ujar si Bungsu perlahan.
Baik Duc Thio maupun Han Doi menatap si Bungsu. Namun saat itu pula mereka mendengar ada yang bergerak di kamar sebelah. Duc Thio bergegas melangkah kekamar sebelah.. Namun langkahnya terhenti dipintu tengah. Dia terhenti karena melihat anaknya sedang menuju ke dapur.
"Saya lapar…"ujar remaja cantik itu sambil mengangkat tutup periuk.
Karena periuk itu tak ada isinya, dia memasukkan tepung bubur, kemudian memotong ayam yang di salai di atas tungku, kemudian memasukkannya kedalam periuk. Memasukan kayu ke tungku, kemudian menghidupkan api. Lalu menambahkan ramuan bubur itu dengan daun seledri dan garam.
"Saya lapar…"ujarnya malu-malu menatap pada ayahnya.
Kemudian gadis itu melihat durian yang sudah terbelah, yang diletakkan dipinggir dinding, durian itu tadi tak habis oleh si Bungsu. Lalu gadis itu melangkah kesana dan memakan durian itu di bawah tatapan ayahnya dan Han Doi. Dalam waktu singkat durian itu habis dilahapnya, sambil menjilati tangan nya yang dilumuri durian dia melangkah lagi ke dapur dan mengangkat tutup periuk yang isinya telah menggelegak.
"Ada yang ingin makan?"ujarnya sambil mengambil mangkuk.
Duc Thio menoleh pada si Bungsu. Si Bungsu tersenyum. Dengan langkah lebar dia melangkah ke arah si Bungsu duduk. Kemudian berlutut, kemudian menunduk dalam-dalam hingga keningnya hampir menyentuh lantai.
"Terimakasih, Tuan telah menyelamatkan nyawa anak saya…"ujar lelaki separoh baya itu dengan suara serak.
Si Bungsu memegang bahu Duc Thio.
"Bangkitlah paman, saya hanya membantu apa yang dapat saya bantu…"
"Terimakasih, saya berhutang satu nyawa pada Tuan…"ujar Duc Thio penuh haru.
"Sementara Thi Binh makan, berkemaslah kita harus segera meninggalkan tempat ini…"ujar si Bungsu.
Duc Thio berdiri dan melangkah ke ruang sebelah. Dia mengambil sebuah kantong kain lusuh, dan memasukkan beberapa helai pakaian dan barang-barang yang amat diperlukan.
"Kita akan pergi…?"ujar Thi Binh sambil menelan bubur ayamnya.
"Ya, kita harus pergi nak.."
"Kita ke kamp itu untuk membunuh para jahanam itu bukan?"ujar gadis itu sambil menatap si Bungsu.
Si Bungsu ingat cerita gadis itu tentang mimpinya. Bahwa dia datang menolong Thi Binh membunuhi tentara Vietkong dan menyelamatkan gadis itu. Ingat mimpi gadis itu, si Bungsu mengangguk perlahan. Wajah Thi Binh berseri. Dia menelan sisa buburnya, kemudian bergegas kedekat pembaringan. Mengambil baju lusuhnya yang hanya dua helai, berikut sisir rambut, memasukkannya ke tas kain ayahnya.
"Kita berangkat sekarang?"ujar Han Doi sambil berdiri.
Si Bungsu tak menjawab.
"Kita berangkat…?"tanya Duc Thio yang sudah menyandang tasnya dan tegak di pintu dapur bersama anak gadisnya.
"Terlambat. Ada yang sudah sampai. Letakkan bungkusan, dan pura-pura tidur. Segeralah..!"ujar si Bungsu ketika melihat ketiga orang itu masih menatapnya heran.
Ketiga orang Vietnam Selatan itu dengan heran bercampur cemas menuruti perintah orang asing itu. Mereka baru beberapa detik membaringkan diri, ketika di bawah terdengar langkah-langkah mendekat, si Bungsu bangkit perlahan.
"Apapun yang terjadi, tetaplah diam disini, sampai saya kembali…"bisik si Bungsu sambil berjalan kepintu dapur.
"Tuan…"bisikan Thi Binh dipembaringan di putus si Bungsu dengan meletakkan jari di bibirnya, kemudian dia menyelinap kedapur.
Persis dibelakang rumah itu ada pohon kayu yang besar, yang dahannya menjulai ke jendela. Si Bungsu menyelinap dan dengan gerakan ringan melompat bergelantungan di dahan tersebut. Tanpa menimbulkan suara sedikitpun tubuhnya meluncur ketanah.
Pakaiannya yang serba hitam membuat dirinya sempurna tak terlihat sedikitpun di kegelapan malam. Sementara kegelapan baginya sahabat yang dia kenal lekuk-likunya dan perangainya. Dia segera tahu di samping kanan rumah ada orang berdiri di bawah pohon durian yang diambil buahnya oleh Han Doi.
Sementara di samping kiri tegak pula seorang di bawah rumpun bambu kecil. Dibagian depan ada dua orang yang sedang bicara berbisik-bisik. Si Bungsu menyelinap ke kanan. Dalam lima langkah lebar sambil menunduk, dia sampai dekat orang yang berdiri di bawah pohon durian itu.
"Ssst…"bisiknya perlahan.
Orang itu menoleh kekiri.
"Ceng cong ceng…."bisik lelaki itu dalam bahasa Vietnam utara, yang tentu saja tidak dimengerti si Bungsu artinya. Tapi Dia memang tidak memerlukan tahu apa arti kata bisik lelaki itu.
Tentara Vietkong berpakaian preman namun membawa bedil berlaras panjang itu memang tak segera mengetahui siapa yang datang mengendap-ngendap di sisinya. Gelap yang kental membatasi pemandangan. Dia hanya merasakan 'tepukan ramah' di tengkuknya. Setelah itu matanya juling.
Ada derak kecil. Tengkuknya bukan ditepuk ramah. Melainkan terpelintir karena rambut di kepalanya disentakan dan dagunya dihantam berlawan arah dengan sentakan di rambutnya.
Derak kecil yang terdengar sesaat sebelum matanya juling itu adalah derak tulang tengkuknya, yang patah akibat pelintir dengan teknik yang amat mahir. Tubuhnya melosoh. Si Bungsu menahan tubuh lelaki yang menjawab bisiknya dengan ucapan 'ceng cong ceng' yang tak dia pahami itu, agar tak jatuh terlalu keras.
Perlahan dia baringkan lelaki itu. Kemudian mengendap ke bawah rumah, menuju posisi lelaki yang tegak di samping kiri rumah di dekat pohon bambu kecil. Lelaki di dekat pohon bambu kecil itu melihat ada yang menunduk di bawah rumah menuju dirinya.
Karena arahnya dari sisi kanan rumah, dia menyangka yang datang adalah temannya sendiri. Ketika orang itu sudah dekat, dia berbisik.
"Hek hok hek…."
Tentu saja dia memakai bahasa Vietnam Utara, yang tak dimengerti oleh si Bungsu.
Padahal orang itu bertanya "Mengapa meninggalkan posmu?" Si Bungsu mana peduli. Dia terus saja mendekat. Dan pura-pura ingin berbisik. Orang itu memiringkan kepala untuk mendengarkan apa yang akan dibisikkan 'kawannya' itu.
Namun ketika jarak kepala mereka hanya tinggal sejengkal, tiba-tiba dia terkejut. Orang yang ingin 'berbisik' dengannya itu ternyata bukan kawannya. Orang asing yang tak pernah dia kenal. Dia berusaha mengangkat ujung bedilnya.
Namun tangan si Bungsu yang memegang samurai kecil sudah sampai di leher lelaki itu. Samurai kecil itu membenam di bawah jakun tentara Vietkong tersebut sampai ke gagangnya. Lelaki itu sebenarnya ingin berteriak. Namun mulutnya segera dibekap oleh si Bungsu. Suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya berkelojotan, dan perlahan dibaringkan si Bungsu di tanah, di balik rumpun bambu.
Masih dalam posisi berjongkok menaruh tubuh lelaki yang sudah mati itu, si Bungsu menolehkan kepala karena mendengar suara tangga dinaiki. Dia melihat ke bahagian depan.
Kedua lelaki yang di depan rupanya naik beriringan ke rumah Duc Thio. Si Bungsu segera mengendap-ngendap ke depan. Dia mendengar suara perintah membuka pintu. Namun tak ada sahutan. Orang yang di kepala jenjang itu kembali mengetuk pintu agak keras dan bicara dalam bahasa Vietnam kepada yang berada di dalam rumah.
Si Bungsu ikut naik tangga. Lelaki yang berada di anak tangga ketiga menoleh dan merasa jengkel. Dia menyangka yang ikut naik adalah salah seorang temannya yang disuruh menjaga di samping rumah.
"Pim pommm… pommmm?" ujar orang itu sedikit menyergah kepada si Bungsu.
Gelap yang kental menyebabkan dia tak tahu bahwa yang ditanyainya itu bukan temannya. Dia baru merasa kaget ketika orang yang di bawah itu menyentakkan kakinya.
"Heei, ini pekerjaan mancirik namanya…!"
Mungkin itulah serapah yang diucapkannya pada si Bungsu. Namun karena bahasanya tak difahami si Bungsu, maka si Bungsu diam saja. Sambil menyentakkan kaki sehingga lelaki itu tergerajai, tangannya bekerja. Lelaki yang tergerajai dan terlempar ke bawah itu merasa hulu jantungnya amat linu. Dia meringis, dan berkelojotan, dan mati!
Dia tak tahu apa benda yang menyebabkan jantungnya demikian linu yang membuat dia tak bisa bernafas. Dia tak tahu, jantungnya sudah ditembus sebuah pisau kecil yang amat tajam, yang ditusukkan oleh lelaki yang menariknya.
Bahkan dia juga tak tahu, bahwa bedil yang tadi dia pegang sudah berpindah ke tangan lelaki yang menariknya dengan sangat kuat lagi kasar, sehingga tubuhnya tergerajai dan jatuh terjelapak ke tanah. Kawannya yang sudah dua kali mengetuk pintu heran mendengar ada yang tergerajai dan jatuh. Dia menoleh ke belakang.
"Cincong cincau cincai…?!" sergahnya.
Tentu saja dia bicara dalam bahasa Vietnam Utara, namun di telinga si Bungsu yang tak mengerti bahasa langit itu, suara yang sampai yang seperti "cincong cincau, cincai" saja. Dalam kegelapan malam si Vietkong tak tahu bahwa bahaya mengancam dirinya.
Sebelum pertanyaannya usai, si Bungsu mengulurkan popor bedil kepada tentara yang ada di atas itu. Cuma cara mengulurkannya memang beda. Pangkal bedil itu dia ulurkan dengan amat kuat dan amat cepat, tidak ke tangan si tentara, melainkan ke selangkangannya. Terdengar suara berderuk, Vietkong di depan pintu itu melenguh.