Dia segera tahu, suara kapal itu adalah suara lima kapal patroli yang ketika masih di kapal tadi dia lihat di monitor radar.
"Mudah-mudahan saya bisa menumpang dengan salah satu di antaranya…" bisik hati si Bungsu.
Dia memperhatikan salah satu kapal yang agak dekat, lalu sebelum cahaya lampu sorot sampai ke tempatnya mengapung dia pun menyelam perlahan beberapa meter. Sambil menyelam dia mengambil tali gulungan nilon sebesar kelingking, yang tersedia di pakaian renang yang dia pakai. Pada ujung tali nilon itu ada cangkok seperti mata kail, yang terbuat dari bahan aluminium dilapis plastik. Panjang keseluruhan tali itu sekitar lima belas meter. Kini dia harus mengarahkan pikiran bagaimana agar dia bisa 'menompang' di salah satu dari ke lima kapal tersebut.
Dia tak mungkin mengaitkan kait tali nilon ke bahagian belakang salah satu kapal patroli itu, untuk kemudian bergelantungan dalam laut mengikuti kapal yang berlari kencang. Awak kapal tentu akan ronda hilir mudik di kapal itu. Dan dengan mudah cangkokan tali nilonnya akan ditemukan.
Dia harus cepat bertindak. Jika terlambat, kapal-kapal itu akan berangkat meninggalkan lokasi ini. Jika itu yang terjadi, maka dia akan mati sendiri. Bila persediaan oksigen di tabung gas yang terletak di punggungnya habis, dia tentu takkan bisa lagi menyelam. Jika tak bisa menyelam, maka jika dia masih hidup, lambat atau cepat, salah satu kapal patroli Vietnam pasti akan menemukannya. Jikapun tak ditemukan kapal patroli Vietnam, maka kematian tetap akan menjemput lewat rasa lapar dan haus yang sangat di tengah laut tak bertepi ini, atau dimangsa ikan hiu yang terkenal ganas itu.
Dengan fikiran tak ingin mati konyol itu dia lalu kembali mengapungkan diri di bawah kepingan kapal patroli yang hancur itu. Memperhatikan cahaya sorot lampu berseliweran. Ketika daerah di atasnya menjadi gelap, dengan cepat dia memperhatikan sekitarnya. Kemudian menyelam lagi dengan cepat pula ketika sorot lampu menyambar ke arah tempatnya berada.
"Kau lihat sesuatu di dekat kepingan kayu itu?"ujar nakhoda disalah satu kapal patroli, yang merasa cahaya lampu sorotnya sebentar ini seolah-olah menangkap suatu bayangan.
"Tidak…."jawab tentara di samping si Komandan.
"Arahkan lagi sorot lampu ke sana…"
Lampu lalu disorotkan kearah kepingan papan yang dimaksud si Komandan. Tak ada apapun, kecuali gelombang bergulung akibat ombak besar. Padahal yang dilihat si Komandan tadi memang kepala si Bungsu. Untungnya sorot lampu cepat berpindah, dan saat itu kepalanya tinggal sebahagian kecil yang diatas permukaan air. Sebab saat itu dia memang tengah berusaha menyelam dengan cepat.
Si Bungsu justru menuju ke kapal si Kapten yang seolah-olah melihat 'sesuatu' itu. Dia langsung menuju kebawah perut kapal. Berusaha mencari sesuatu di sana, untuk menambatkan tali nilonnya, agar dia bisa ikut bergelantungan disaat kapal itu bertolak.
Tempat gantungan yang dia cari itu akhirnya ditemukannya dibahagian depan kapal. Di bawah lunas, sekitar dua puluh sentimeter dari permukaan air, ada sebuah gelang-gelang besi besar, yang biasanya di pergunakan bila kapal naik dok. Agar mudah memperbaiki bahagian perut kapal, cangkok besi dari penderek di kaitkan ke gelang-gelang itu bahagian depan kapal. Lalu kapal itu di gerek, sehingga bahagian haluannya naik dalam ukuran yang di perlukan, dengan mudah tukang bisa bekerja memperbaiki bahagian perut kapal yang bocor atau keropos.
Ke sanalah si Bungsu mengikatkan tali nilonnya, untuk tempat dia bergantung. Tubuhnya sendiri menelentang rapat ke perut kapal. Saat kapal berlayar dengan kecepatan tinggi, tubuhnya tidak begitu mendapat tekanan arus air. Dengan cara begitulah dia 'menompang' pada kapal tersebut menuju pantai Vietnam, yang jaraknya masih puluhan mil dari tempatnya berada.
Dia berharap isi tabung gas dipunggungnya masih tersedia dalam jumlah yang cukup, menjelang kapal patroli ini sampai ke pelabuhan. Jika kapal itu berputar-putar dulu di laut, merondai wilayah Laut Cina Selatan yang luas itu, habislah dia.
Gugusan kapal patroli Vietnam yang lima buah itu pun akhirnya meninggalkan perairan tersebut, setelah tak satupun awak dari kapal yang meledak itu bisa mereka selamatkan.
Di perut kapal, di dalam air, si Bungsu melihat jam tangannya. Hari sudah menunjukan pukul 05.00 subuh. Dia berharap kapal itu menuju pelabuhan.
Namun ketika dia melihat ke jam di tangan kirinya itu, dia teringat pada Ami Florence. Jam yang di pakai ini adalah pemberian gadis itu, beberapa saat sebelum keberangkatan mereka dengan Boat karet malam tadi. Ami yang memasangkan jam itu ke tangannya, sembari memberi penjelasan bahwa jam itu memiliki beberapa fungsi, selain sebagai petunjuk waktu.
Pada jam itu ada kompas, ada pisau kecil yang amat tajam yang bila sebuah tombol kecil ditekan akan keluar seperti sayap dibahagian sisi tengah jam. Kemudian ada kawat baja halus bergulung sepanjang satu meter. Lalu ada pemancar super mini.
"Bila suatu saat engkau menghadapi masalah, tombol kecil ini merupakan kunci untuk mempergunakan semua fasilitas yang ada pada jam khusus ini. Bila tombol ini ditekan sekali, yang keluar ada pisau kecil, ditekan dua kali akan keluar kawat baja. Jika suatu saat engkau tersesat, mungkin di laut, di hutan atau di gurun, maka untuk memfungsikan Kompas maka tekan tiga kali. Engkau akan tahu mana Barat, timur, selatan, utara. Jika engkau menekan empat kali sinyal akan dikirim ke pusat-pusat radar tentara Amerika, yang menunjukan di mana posisimu. Dan bila engkau menekan tombol yang satu lagi ini dengan sistem morse, maka engkau bisa mengirim berita singkat yang kau perlukan ke pusat radar pasukan Amerika..."papar Ami malam tadi.
Si BUngsu menarik nafas. Dia menekan tombol kecil merah di bahagian kiri jam itu tiga kali. Plat jam itu berubah menjadi hitam. Kemudian ada empat titik berwarna putih menyala, dengan pangkal huruf-huruf yang menunjukan utara (N) barat(W) selatan(S) dan Timur(E). Kemudian ada sebuah panah kecil. Dari arah yang ditunjuk panah kecil itu, dia segera tahu, kapal ini sedang menuju arah barat.
"Alhamdulillah, mereka menuju ke pantai…"bisik hati si Bungsu, sambil menekan tombol itu sekali agak lama.
Plat jam tangan itu kembali normal, menampilkan jam tangan biasa. Namun beberapa saat kemudian, dia segera teringat kembali pada tombol jam di tangannya itu sehingga Ami mengetahui bahwa dia masih hidup. Untuk apa dia beritahu? setelah lama bergulat dengan pikirannya, dia mengalah. Betapun dia tahu, Ami pasti tengah merisaukannya, entah hidup atau mati, dengan berpikiran demikian dia menekan tombol di sisi jam itu empat kali.
"Lihat, ada isyarat dari salah satu kapal patroli Vietnam itu…!"seru perwira navigasi di USS Alamo, yang masih mengamati gerak kapal-kapal Vietnam itu.
Kendati mereka sudah amat jauh dari posisi di mana tadi mereka menaikkan Le Duan dan Ami Florence.
Kapal itu tengah berlayar menuju Pulau Busu-Angsa, pulau terbesar dari gugusan kepulauan Kalamian, Filipina. Kepulauan itu persis terletak di atas pulau Palawan dan di bawah pulau Mindoro, keduanya pulau-pulau dalam wilayah Filipina.
Semua yang masih hadir di ruang komando kapal perang besar itu segera mengerubungi layar radar. Danpaling merasa tegang adalah Ami Florence.
"Bungsu! Itu isyarat dari tangan si Bungsu…."ujar gadis itu, yang segera saja tak mampu membendung air mata haru dan bahagianya, mengetahui bahwa pemuda Indonesia itu masih hidup.
"Dia mengirimkan isyarat….."ujar perwira navigasi, tatkala melihat titik di layar radar itu berkedip-kedip.
Semua membelalakkan mata ke titik kecil di layar radar, yang secara pasti nampak bergerak kearah barat. Perwira Navigasi mengeja isyarat morse yang di pancarkan dari jam tangan si Bungsu.
"Saya, ..selamat. Di bawah perut kapal…. Le, ingat pesanku… Jaga Ami baik- baik. Saya akan membunuhmu kalau kau tidak menjaganya. Hormat saya untuk Laksamana dan awak kapal USS Alamo…"
Semua awak kapal bertepuk tangan dan menyalami komandan mereka. Sementara Ami memeluk Abangnya, menangis terisak-isak saking bahagia mendengar pesan untuk dirinya itu.
"Dia bukan manusia. Kalau bukan malaikat ya hantu. Hanya itu yang bisa selamat dari bahaya seperti yang dia hadapi sekarang ini…" gerutu nakhoda Alamo dalam nada amat takjub.
Ucapan itu di sambut tawa awak kapal yang tetap saja membelalakkan mata menatap titik kecil di layar radar, yang masih saja bergerak kearah barat itu. Mereka memang tidak bisa membalas pesan itu, karena jam tangan si Bungsu tak di lengkapi terminal penerima.
Beberapa saat setelah sinyalnya dibaca oleh awak USS Alamo, si Bungsu mengirimkan sinyal penutup.
"Saya akan mematikan sinyal ini. Salam…"
Dan di layar radar yang kelihatan hanya tinggal titik yang berasal dari kapal patroli Vietnam itu. Sementara titik yang berasal dari sinyal jam tangan itu lenyap dari layar radar.
"Ayo, kita istirahat…"ujar Le Duan kepada Ami.
"Ya, saya rasa kalian harus istirahat, nanti sesampai di Philipina, akan kita atur perjalanan kalian selanjutnya…."ujar Nakhoda USS Alamo kepada dua adik beradik itu.
---
Desa kecil berpenduduk sekitar dua ratus orang itu tak tercatat Dalam peta. Desa itu terletak jauh di pinggir wilayah Khe Sanh. Berada di salah satu wilayah Vietnam selatan yang memiliki belantara dahsyat. Perang Vietnam Selatan di bantu Amerika melawan Vietnam Utara telah merubah setiap jengkal bumi Vietnam Selatan menjadi kancah peperangan paling dahsyat di dunia.
Beberapa wilayah diantaranya merupakan tempat yang menjadi Neraka pertempuran paling dahsyat, yang pernah di kenal umat manusia.
Yang paling terkenal diantara wilayah-wilayah yang menjadi Neraka pertempuran itu yang menyebabkan ribuan tentara Amerika, Vietsel dan Vietkong tercabut nyawanya adalah bukit yang di beri kode Bukit 937. Namun seusai pertempuran dahsyat pada bulan mei 1969, bukit itu di kenal dunia sebagai'Hamburger Hill', bukit Daging Cincang.
Pada mei 1974, di bukit yang direbut Vietkong ini, tatkala Amerika menerjunkan pasukan Divisi Udara ke 101 untuk merebut kembali tempat strategis tersebut, terjadi kecamuk perang selama 11 hari 11 malam. Kedua belah pihak hanya beristirahat saat mengisi mesiu di bedil mereka yang sudah ditembakkan.
Dalam Kecamuk yang dahsyat itu, dan perang ini merupakan perang terbesar paling akhir bagi tentara Amerika di Vietnam. Sebanyak 44 tentara Amerika tewas, 29 0rang lainya luka-luka. Tidak ada dokumen yang mencatat berapa tentara Vietkong yang mati dan luka-luka. Namun paling tidak lima atau enam kali lebih banyak dari yang diderita Amerika.
Neraka lainnya dalam perang Vietnam adalah medan tempur Dak To dibahagian utara Vietnam Selatan. Pertempuran disana terjadi sebelum pembantaian hamburger hill., yaitu bulan November 1967. Pasukan Vietkong menyerbu untuk merebut beberapa daerah yang diduduki pasukan istimewa amerika. Jika berhasil di rebut, jalan ini akan digunakan sebagai jalur ofensif vietkong ke seluruh wilayah selatan.
Pasukan istimewa Amerika, yang kewalahan oleh tekanan serangan belasan ribu tentara Vietkong, mendapat bantuan dari Divisi IV dan Brigade ke 173. Ketika akhirnya Amerika berhasil mematahkan serangan itu, sekaligus mengakhiri Neraka yang mengerikan tersebut, Vietkong meninggalkan 1.639 mayat tentaranya, sementara tentara Amerika tercatat 289 orang.
Neraka yang lain adalah Cen Thien. Sebelum menusuk Dak To pada November 1967 artileri Vietkong membombardir Cen Thien. Wilayah dikuasai marinir Amerika, dengan gempuran yang dahsyat setiap hari selama september dan Oktober tahun yang sama. Puluhan ribu roket di muntahkan untuk memporak-porandakan pertahanan Amerika.
Tujuan Vietkong merebut CenThien adalah untuk mengancam posisi Amerika di sebelah timur, sepanjang pantai Vietnam Selatan. Ketika bombardemen selesai, kendati Cen Thien dapat dipertahankan, namun Amerika kehilangan 196 marinir, yang tewas dan 1971 lainnya luka-luka.