Di Atas sana embun sudah sejak tadi turun mendekap bumi. Namun di reruntuhan bangunan yang diledakkan dengan bom waktu, ada lusinan tentara Vietkong sedang bekerja. Mereka mengais tiap kepingan puing. Mengumpulkan serpihan tubuh tentaranya yang bercerai-berai oleh bom. Yang lain memblokir areal seluas dua hektar di belakang dan di kiri kanan bar itu. Memeriksa setiap rumah dan lorong dalam usaha mencari pemilik bar itu. Sebab, dari serpihan tubuh yang mereka kumpulkan, tak ditemukan serpihan tubuh wanita. Tak ada juga serpihan tubuh lelaki dengan pakaian sipil. Berarti ketiga pemilik bar ini, blasteran Vietnam-Perancis yang amat dicurigai itu, selamat dari ledakan bom. Artinya lagi, mereka sudah lebih dahulu menyingkir, sebelum bom meledak.
Setiap yang bergerak di tempat-tempat yang dicurigai pasti diperiksa oleh tentara Vietnam dengan ketat. Seringkali yang bergerak dan dicurigai itu hanya kucing atau anjing. Seekor kucing berwarna hitam bertubuh besar, yang muncul dari sela-sela semak di bawah dua batang pohon palem, hampir saja ditembak.
Kucing besar itu terkejut ketika matanya disorot senter. Dia melompat ke antara dua pohon palem lain yang di bawahnya ditumbuhi rerumputan lebat. Tentara Vietnam yang tadi terkejut mengarahkan senternya ke bawah pohon palem itu. Mungkin karena situasi dalam perang, pemilik pohon palem tak sempat mengurus tamannya. Selain rumputnya lebat karena tak disiangi, warna rumput itu menjadi pirang. Mungkin karena tak pernah disiram.
Dua tentara Vietnam mendekat ke pohon palem itu. Tubuh kucing hitam besar yang bersembunyi di rerumputan tebal dan pirang itu menegang. Seolah-olah membaca bahaya yang mengancamnya. Saat kritis itu dia melihat sebuah lobang kecil di depannya. Kucing itu segera masuk ke lobang tersebut. semula agak sempit. Tapi karena dia berusaha terus untuk menerobos, akhirnya seluruh tubuhnya amblas ke dalam.
Di dalam juga sempit. Namun dibanding udara dingin berselimut embun di luar, di dalam ini terasa amat hangat. Dia tak tahu bahwa dua tentara Vietnam yang tadi memburunya melihat saat dia masuk ke dalam lobang kecil. Baru saja dia berada di dalam lobang kecil yang hangat itu, tiba-tiba kedua tentara Vietnam tersebut mengangkat sebuah kardus.
"Dia di dalam, ayo kita kerjain…" ujar yang seorang.
Seperti kekurangan pekerjaan,kedua tentara itu mengguncang dan membanting-banting kardus tempat kucing itu sembunyi. Kucing itu merasa tubuhnya tergencet, terlambung keatas, terbanting kebawah. Di pelintir. Dia berusaha bertahan. Dengan tetap menegangkan badannya agar tak remuk. Entah berapa lama peristiwa itu terjadi, kucing itu tetap bertahan agar tak tercampak keluar, atau tak muntah. Kendati dari mulutnya sudah meleleh buih keputih-putihan karena dihajar kedua orang tentara itu.
"Hei, kalian mengapa disana…!"
Sebuah bentakan menghentikan kedajalan kedua tentara Vietnam tersebut. Mereka menyampakkan kardus yang didalamnya masih berada kucing hitam itu. Kemudian melangkah cepat-cepat kearah komandan yang menghardiknya. Kucing itu merasa tulang belulangnya seperti akan remuk. Sesaat sebelum tubuhnya lunglai dan diam tak bergerak, moncongnya memuntahkan buih.
"Apa yang kalian dapat?"hardik sersan kepada dua tentara Vietkong itu.
"Kami kira disela salem palem itu ada yang bersembunyi, pak.."jawab yang seorang dalam sikap sempurna.
"Lalu..?"
"Ternyata hanya kucing besar yang bersembunyi di dalam kardus bekas.."
Plak! Plak!, Plak! Kedua prajurit itu dapat tempeleng, masing-masing tiga kali dipipi. Mana berani kedua prajurit itu membantah. Ketika diperintahkan untuk memeriksa lorong dari rumah yang lain, keduanya segera berlalu dengan cepat setelah memberi hormat.
Sementara. Esoknya paginya Ami Florence sudah selesai memasak kopi dengan kompor listrik diruangan kecil itu. Si Bungsu terbangun tatkala hidungnya mencium aroma kopi yang harum.
"Hei, engkau buka restoran di dalam goa ini?"ujarnya sambil bangkit.
"Ya, barangkali kawan-kawan vietkong diatas sana berminat ikut ngopi…"
"Mana Le?"
"Sedang mempersiapkan boat karet. Sorry, tak ada kamar mandi. Tapi disudut itu ada wastafel untuk cuci muka…"
"Jam berapa sekarang?"tanya si Bungsu setelah dia menemukan jam di tangannya. Mungkin terlepas ketika tidur malam tadi.
"Jam sepuluh…."
Si Bungsu menoleh kepada Ami. Gadis itu mengangkat alis dan menganggukkan kepala. Jam sepuluh, memangnya mengapa saja aku malam tadi maka sampai bangun jam sepuluh, pikir si Bungsu sambil mencuci muka dan menggosok gigi dengan sikat gigi yang dia ambil dari ranselnya.
Ketika dia duduk untuk sarapan di meja kecil ternyata Ami sudah menyediakan secangkir kopi dan roti bakar.
"Hei, sebaiknya Le ikut sarapan bersama kita…"ujarnya.
"Dia yang membangunkan saya. Sarapannya sudah saya antar keruang radio…" jawab Ami.
Sambil sarapan gadis itu mengambil sebuah peta kecil dari ransel. Kemudian mengembangkannya dimeja didepan si Bungsu.
"Ini peta terowongan bawah tanah di kota ini. Bahwa dikota ini ada terowongan hampir semua penduduk tahu. Tapi ada diantara terowongan itu yang dijadikan tempat-tempat rahasia, hanya kalangan terbatas yang tahu. Intelijen Amerika dan intelijen tentara Vietnam selatan melakukan penambahan terowongan selama bertahun-tahun, secara diam-diam dibawah tanah ini…."
Ami berhenti sejenak, menghirup kopinya. Kemudian mengunyah roti bakarnya, kemudian melanjutkan keterangannya.
"Mereka membangun beberapa terowongan rahasia, tanpa merusak terowongan lama, yang berfungsi sebagai tempat buangan air kota. Perhatikan titik merah ini. Ini adalah posisi paku khusus. Alat pembuka pintu rahasia ke terowongan rahasia dari terowongan biasa.
Diantara dua atau tiga didinding, ada satu yang berkepala pipih. Paku ini tidak begitu kentara diantara paku-paku itu.."
Ami berhenti lagi. Dia menatap pada si Bungsu yang juga sedang menatap padanya. Ami menghirup kopinya.
"Well, cabut saja paku berkepala pipih itu. Perhatikan sekitar setengah meter kebawah, atau kekiri atau kekanan. Tak lebih dari setengah meter. Pasti ada lobang seolah-olah bekas paku yang dicabut. Masukan paku yang dicabut itu kesana. Pintu rahasia itu akan terbuka. Bila kau sudah masuk maka akan tertutup lagi. Kau sudah melihat tadi malam ketika kita melewati dua pintu…"papar Ami. Kemudian mengunyah roti bakarnya.
"Bungsu, perhatikan titik warna hijau, itu adalah jalan menuju keluar terowongan. Ada belasan titik, tersebar di berbagai penjuru kota, dimana engkau bisa keluar. Engkau bisa saja keluar di sebuah gudang kosong, dibelakang pasar, dibalik pohon besar, dibengkel tua, atau dibahagian belakang gedung olah raga..."
Ami memasang rokok Dunhill-nya. Mengisap dan mengepulkan asapnya dengan nikmat.
"Bila engkau berada di bahagian luar sana, dan ingin masuk ke terowongan rahasia, perhatikan warna merah. Itu adalah tanda pengumpil. Mungkin terlihat hanya sebagai sebuah besi tua, mungkin berbentuk tong sampah, mungkin berbentuk tiang bendera. Benda-benda itu harus engkau putar setengah putaran. Pintu rahasia berada setengah meter dari pengumpil itu. Mungkin di tanah, mungkin di dinding rumah, mungkin di dasar parit besar. Well, semua yang kau perlukan telah kupaparkan…" ujar Ami mengakhiri uraiannya.
Ketika itu pintu terbuka. Le Duan, abang Ami Florence masuk ke ruangan. Di ikut duduk di samping si Bungsu setelah terlebih dahulu menyapa dan menyalami anak muda tersebut dengan ramah. Ami menuangkan secangkir kopi untuk abangnya itu. Kemudian mengoles kan selai ke roti yang sudah dibakar. Memberikannya kepada Le Duan.
"Nampaknya ada sesuatu yang penting…?" tanya Ami pada abangnya.
Le Duan mengunyah roti di mulutnya, menelannya. Kemudian menghirup kopi. Lalu menatap pada si Bungsu, kemudian pada Ami.
"Kita terpaksa merubah rencana. Kita tidak bisa pergi memakai speed boat karet. Komandan kapal USS Alamo sudah lama meninggalkan perairan Natuna dan kini siaga sekitar 200 mill dari Pulau Hainan mengabarkan perairan Teluk Tonkin sudah dipenuhi puluhan kapal perang Vietnam Utara…." papar Le Duan sambil berhenti sejenak, mengunyah kepingan roti bakar ditangannya. Usai menghabiskan roti bakar dia menyambung lagi.
"Tiga kapal dan dua speed boat yang dipakai orang-orang Vietnam untuk melarikan diri mereka tangkap. Risiko tertangkap dengan memakai boat adalah sembilan ber banding satu. Karenanya, untuk mencapai USS Alamo kita amat disarankan memakai balon udara.
Masalahnya, balon tergantung dari arah hembusan angin. Angin hanya berhembus ke arah laut di siang hari. Malam hari angin berhembus dari darat ke laut. Gravitasi alam menyebabkan hal itu terjadi sejak dunia berkembang…."
Le Duan berhenti lagi, kemudian menatap adiknya.
"Melarikan diri dengan balon di siang hari sama dengan menyerahkan leher ke tiang gantungan. Dengan senang hati tentara Vietnam akan menjadikan kita sasaran tembak meriam-meriam penangkis udara mereka, bukan?" ujar Ami Florence.
Le Duan menghirup sisa kopinya yang terakhir. Dia tak perlu mengomentari ucapan adiknya dengan menggeleng atau mengangguk. Tak seorang pun yang bicara setelah itu. Mereka saling bertatapan dalam diam.
"Saya rasa, menyelinap dalam kegelapan malam dengan speed boat berkecepatan tinggi jauh lebih punya kemungkinan untuk lolos dari pada memakai balon di siang hari…"ujar si Bungsu.
"Tetapi perairan yang akan dilalui penuh kapal-kapal perang yang juga berkecepatan tinggi…" ujar Le Duan.
Mereka kembali saling menatap dengan diam.
"Berapa lama USS Alamo bisa menanti?" tanya si Bungsu.
"Kapal-kapal perang Amerika secara bergantian akan bertahan di perairan internasional itu dalam setahun ini…" ujar Ami.
"Jika saat ini risiko melarikan diri amat tinggi, maka alternatif yang tersisa tetap bertahan di terowongan bawah tanah ini, sampai keadaan memungkinkan untuk pergi. Untuk itu, setiap hari kontak tetap dilakukan dengan USS Alamo. Mereka bisa memonitor keadaan laut dengan radar mereka. Minta mereka mengabarkan jika mereka melihat ada kesempatan untuk pergi…" ujar si Bungsu.
Le Duan menatap anak muda di sampingnya itu. Kemudian menatap adiknya. Mereka sama-sama tersenyum.
"Anda benar. Kenapa harus cepat-cepat menghadang maut, kalau di sini masih tersedia makanan untuk dua atau tiga bulan. Siang hari kita tidur, malam hari kita gentayangan di luar. Siapa tahu ada hal-hal lain yang bisa kita perbuat di luar sana. Saya rasa, saya harus menyampaikan saran Anda ke Komandan USS Alamo…" ujar Le Duan sambil menyalami si Bungsu, kemudian bangkit dan keluar dari kamar tersebut.
"Well, kita nampaknya harus mencari catur, agar bisa bertahan dan betah di bawah terowongan ini…" ujar Ami.
Si Bungsu tersenyum. Dia meraih dan memperhatikan peta yang penuh tanda-tanda rahasia yang tadi diberikan Ami.
"Anda akan keluar ke atas sana?" ujar Ami.
"Sesegeranya…" jawab si Bungsu.
Gadis itu tertegun.
"Maksudmu…?"
Si Bungsu menatap gadis itu. Ami Florence menatap si Bungsu, seperti menanti sesuatu yang tidak diharapkannya.