Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 174 - FBI, CIA, apa itu?

Chapter 174 - FBI, CIA, apa itu?

Setelah petugas itu pergi, Angela tak segera berbaring. Demikian juga si Bungsu. Angela duduk dikursi, mengisap rokok dan dia tampak gelisah. Si Bungsu melihat hal itu.

"Nampaknya kota ini tengah dipersiapkan benar untuk menyambut Presidenmu, Angela…." kata si Bungsu perlahan. Angela menolehkan kepala, kemudian mengisap rokoknya.

"Maksudku, Presidenmu itu?"

"Ya, Dahulu dia sudah berniat datang, dan setelah dibicarakan, disarankan untuk membatalkan kedatangannya waktu itu. Kota ini adalah kota yang paling keras, kota para bandit di seluruh Amerika. Kota ini adalah kota yang kalah dalam perang saudara dahulu.

Texas adalah daerah selatan yang dikalahkan. Disini berdiam para tuan dan budak-budak yang masih merasakan pedihnya kalah dan penghapusan perbudakan…."

"Apakah kedatangannya dibatalkan…?"

"Dahulu ya. Ternyata kini dia datang lagi. Dan seluruh aparat keamanan harus memeras keringat mengawasi para pembunuh disepanjang jalan, di persimpangan, di pohon, di kamar-kamar gedung yang tersembunyi. Siapa yang bisa mengawasi jutaan manusia di kota ini? Tak ada cara yang efektif. Bahkan kalau pun dia datang dengan berbaju besi sekalipun, kemungkinan untuk terbunuh tetap saja ada. Jika itu terjadi, polisi Dallas akan dicatat dalam lembaran hitam sejarah…"

"Kenapa tak suruh batalkan lagi?"

"Seingat saya, Kepala polisi Dallas telah menyarankan untuk membatalkan atau menunda kedatangan itu…"

"Lalu kenapa kini dia datang juga?"

"Ini barangkali soal prestise..."

"prestise?"

"Ya, Walikota Dallas dan Gubernur Negara Bagian Texas pastilah tak mau malu muka, menolak kunjungan presiden sampai dua kali. Mereka pastilah menjamin bahwa mereka bisa mengamankan kunjungan ini…"

"Kalau aparat keamanan tak menyanggupi keamanan, apakah walikota dan gubernur masih ngotot…?"

Kemungkinan FBI atau CIA juga menyatakan aman, hingga kunjungan ini dilanjutkan.."

"FBI, CIA, apa itu?"

"Kalau kau mau membacanya dalam buku-buku, kau akan menemukan dua kata itu banyak sekali di pustaka di seberang sana. Seperti dulu kau membaca tentang ku klux klan. Namun sebagai garis besarnya dapatku jelaskan, bahwa FBI adalah satuan intelijen dalam negeri amerika. Sementara CIA adalah pasukan atau badan intelijen Amerika untuk masalah-masalah luar negeri.."

"Kalau begitu, dimana kedudukan polisi Dallas seperti kamu? apakah di bawah FBI?"

"Tidak, di Amerika, ditiap negara bagian ada polisi tersendiri yang menangani kasus-kasus lokal. Pakaian seragamnya juga berbeda ditiap negara bagian yang lain. Tapi polisi Dallas atau Texas. Tak bisa memburu penjahat sampai ke New York atau negara bagian lainnya. Jika terjadi kejahatan sampai antar negara bagian, maka wewenangnya jatuh ke FBI untuk menanganinya. Jika kejahatannya antar negara, maka CIA lah yang menanganinya. Itulah secara garis besar tugas dan wewenang Polisi, FBI dan CIA…"

Si Bungsu membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap loteng, namun sesekali mencuri pandang pada Angela yang masih saja duduk dengan gelisah. Dia punya firasat, kegelisahan gadis itu erat kaitannya dengan Inspektur yang tadi berbicara dengannya ditelpon. Kalau dia tak salah dengar, inspektur itu bernama Noris. Seperti ada benang yang mengikat kedua orang ini dahulunya, kemudian benang itu putus dan kini..si Bungsu memejamkan mata. Berusaha untuk melupakan dan tidur.

Namun matanya tak mau dipejamkan. Pikirannya menerawang dan pidah dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Kennedy atau siapapun presiden akan datang ke Dallas ini bukanlah urusannya. Lalu dia teringat Michiko. Sedang mengapa dia kini? Perempuan itu tengah hamil. Dia teringat kemewahan yang di berikan macKenzie kepada Michiko, yang mungkin tak didapat gadis itu darinya.

Sekolahnya hanya tamat sekolah rakyat. Kini dia berada di Dallas. Alangkah banyaknya keajaban yang terjadi di permukaan bumi ini. Kalau dulu Jepang tak menjajah, negerinya akan terus menerus dijajah Belanda. Kalau Jepang tak datang, Ayah, Ibu dan kakaknya pasti masih hidup. Mereka tentu hidup tentram di kampung. Bersawah, berladang atau manggaleh.

Kakaknya tentu menikah dengan Syarif yang pedagang itu, atau dengan Muslim, guru mengaji di kampung mereka dulu.

Kalau Jepang tak datang, tidak terjadi huru-hara yang membunuh seluruh keluarganya, telah jadi apakah dia? Dengan hanya ijazah Sekolah Rakyat dan kemahiran berjudi, apakah dia jadi orang kaya atau meringkuk dalam penjara?

Lamunannya terputus, ketika dia rasakan seseorang berbaring disisinya. Dia pura-pura memejamkan mata. Bau harum dari tubuh Angela yang kini tengah membentang selimut menyelusup kehidungnya. Gadis itu menutupkan selimut ke tubuh mereka berdua, kemudian rasakan gadis itu memeluknya dengan lembut.

"Engkau belum tidur bukan?"bisik gadis itu.

Si Bungsu membuka mata, kembali menatap ke loteng. Angela melihatnya, kemudian memejamkan mata. Mengangkat kepala dan merebahkannya didada si Bungsu. Tangannya memain-mainkan ujung kimono di bahagian leher si Bungsu.

"Engkau gelisah Angela?"gadis itu tak menyahut.

"Engkau gelisah bukan karena kedatangan presidenmu itu bukan?"Angela masih diam.

"Engkau gelisah karena Noris.."

Si Bungsu dapat merasakan betapa degup jantung gadis itu mengencang. Angela mengangkat kepala, menatap wajah si Bungsu. si Bungsu juga menatapnya. Kemudian meletakkan lagi wajahnya didada lelaki dari Indonesia itu.

"Bungsu…"

"Ya…"

"Jauhkah Indonesia itu?"

"Jauh…"

"Disana, tentu engkau punya sanak famili bukan?"

"Tak seorangpun.."

"Masa..?"

"Ya, semua sudah punah.."

"Kalau begitu, engkau masih kenal orang-orang sekampung.."

"Juga tidak. Aku adalah lelaki yang terbuang dari kampungku.."

"Masa?"

"Ya. Dulu aku adalah seorang anak lelaki yang senang berjudi .Kau sudah lihat bagaimana aku main rolet beberapa waktu yang lalu bukan? kemahiran itu aku bawa dari kecil. Dikampungku, anak sebaya masa waktu itu, haruslah pandai mengaji, bersilat dan patuh pada orang tua. Kesemua keharusan itu tak satupun yang aku miliki. Aku tak pandai mengaji, karena malas kesurau untuk belajar. Aku bisa sembahyang tapi malas melakukannya, karena saat itu tak melihat manfaatnya. Aku juga tak patuh pada orang tuaku, Karena aku memang dilahirkan sebagai anak pendurhaka. Dan sebab itulah aku dibenci orang kampungku…"

"Tak ada niatmu untuk pulang?"

"Ah, soal pulang, siapapun tentu suatu saat ingin kembali ketanah tumpah darahnya. Setinggi-tinggi bangau terbang, surutnya kekubang jua…."

"Apa artinya itu?"

"Sejauh-jauh orang merantau, pastilah suatu saat pulang ke asalnya.."

"Bagaimana, kalau dia mati di rantau?"

"Dimana pun dia mati, dia pasti kekampung asalnya. Bukankah kampung semua kita ada dua. Di dunia adalah kampung dimana ayah dan ibu kita berasal. Kampung asal kita sendiri adalah akhirat. Tempat itu adalah kampung semua umat. Semua umat yang ada di dunia ini adalah perantau, yang suatu saat harus kembali ke kampaung asal.

Tentang kampungku, tentu aku ingin pulang. Kalaupun aku tak bisa pulang ke Situjuh ladang Laweh, karena disana tak seorangpun mau menerimaku. Maka aku bisa tinggal di Payakumbuh, atau bisa di Bukittinggi, di jakarta, bisa dimana saja karena Indonesia itu sangat luas dan negara itu adalah kampungku.."

Sepi sesaat.

Angela masih meletakkan kepalanya di dada si Bungsu.

"Indonesia, apakah jauh dari Jepang?"

"Apakah kalian tak pernah menemukan negeriku itu di pelajaran sekolah?"

"Tidak, maaf. Mungkin negerimu terlalu kecil Bungsu. Kecil dan mungkin tak terlalu penting, sehingga guru-guru kami merasa tak perlu untuk memberikan pelajaran disekolah.

Kami hanya mengenal Jepang dan Philipina di kawasan laut pasifik. Jepang, karena telah membom pearl Harbor.."

"Negeriku tak jauh dari Jepang, hanya berbatas dengan laut kecil dengan Philipina. Juga dijajah Jepang selama Tiga tahunan, bersama-sama Philipina.."

Sepi.

Malam makin larut. Dan dalam keadaan demikian, kepala Angela di dada si Bungsu dan tangan si Bungsu memeluk Angela, kedua mereka tertidur karena lelah.

Dikamar yang terletak di depan kamar mereka, Pipa Panjang berbaring di tempat tidurnya. Matanya terpejam, namun pendengarannya dia pasang baik-baik. Setiap yang bergerak diluar kamarnya dia ikuti dengan seksama.

Pagi harinya Angela tengah bersiap untuk pergi melapor ke markas, telepon terdengar berdering. Dia sesaat jadi heran, siapa yang menelpon? si Bungsu yang kebetulan masih berbaring ditempat tidur, dan telepon justru berada di tempat di dekatnya, perlahan meraih telpon tersebut.

"Halo..?" Di seberang sana terdengar suara lelaki ragu-ragu.

"Maaf apakah ini flat.."Lelaki yang menelpon itu menyebutkan nama dan alamat tempat mereka kini menginap. Kini si Bungsu yang ragu. Apakah yang menelpon ini orang-orang ku klux klan yang tengah mencari mereka? Keraguannya diputus oleh suara lelaki diseberang sana.

"Saya Norris, Jhon Norris. Perwira Intelijen Polisi Dallas. Maafkan kalau saya salah sambung. Saya ingin menelpon…"

"Angela…?"ujar si Bungsu perlahan.

"Ya, ya.. Letnan Angela. Apakah dia memang menginap di kamar ini?"

"Ya, Saya panggilkan sebentar…"

Si Bungsu menoleh pada Angela yang memang sejak tadi tengah menatap padanya.

"Norris, yang menelponmu tadi malam…"ujar si Bungsu perlahan.

Angela menatap si Bungsu yang masih saja berbaring dan mengulurkan telpon padanya. Perlahan gadis itu bangkit dari tempat duduknya, mengambil telpon tersebut, dan duduk disisi pembaringan.

Si Bangkit menuju kamar mandi. Tak lama kemudian dia sudah berpakaian dan menuangkan kopi yang diantarkan Pipa Panjang ke gelas. Angela tengah menyelesaikan riasannya. Si Bungsu menuangkan kopi untuknya. Memasukan dua bungkah gula batu bersegi empat kedalam masing-masing gelas. Kemudian mengaduknya perlahan. Yang satu diantarkan pada Angela. Gadis itu menerimanya setelah memasuk kan lipstik kedalam tas tangannya.

"Terimakasih.."kata Angela pelan. Si Bungsu menghirup kopinya, Angela juga.

"Sejak malam tadi, sejak menerima telepon itu, Kau kulihat gelisah Angel. Maaf, bukan maksudku mencampuri urusanmu. Tapi… saya gembira kalau engkau juga menemukan kebahagiaan. Cukup satu saja diantara kita yang tak bahagia, bukan?"

Angela tak bersuara. Mereka bertatapan. Dan akhirnya,gadis itu memeluk si Bungsu. Airmatanya mengalir, meski diusahakannya untuk menahan sekuat daya.

"Hei, kenapa kau menangis..?"Angela tak menjawab.

"Nah, jangan menangis. Kau harusnya gembira ketemu dia lagi…"

"Tidak. Dia meninggalkan saya begitu saja. Saya akhirnya memutuskan untuk bertunangan dengan pemuda lain, yang akhirnya mati dalam suatu kecelakaan.."

Sepi.

"Kurasa kau harus pergi melapor ke markasmu, Angela…"

"Engkau akan tetap disini bukan? saya hanya sebentar, saya akan kembali.."ujar Angela sambil menatap si Bungsu.

"Ya, ya.. Saya akan tetap disini. Saya akan menantimu. Kemana lagi saya akan pergi di Kota yang asing ini…"

Angela memperbaiki rambutnya. Kemudian mencium si Bungsu. Ketika dia akan keluar, dia membalik lagi, menatap pada si Bungsu.

"Engkau akan menantiku, bukan?"