"Dia sudah meninggal…"entah dari mana suara itu datangnya.
Barangkali diucapkan dokter yang sudah senior itu, perlahan semua membuka kain menutup mulut dan hidung mereka. Semua kegiatan seperti terhenti, alat deteksi jantung hanya memperlihatkan garis lurus di layar, dan televisi itu dimatikan. Wajah Tongky kelihatan tenang. Jantungnya hanya sempat bekerja sesaat setelah peluru dikeluarkan si Bungsu tadi.
"Peluru yang di kepalanya, yang menyebabkan kematiannya…"kata dokter itu lagi.
Si Bungsu melihat kepala Tongky. Bahagian samping keningnya kelihatan berdarah. Peluru menghunjam disana. Dia termangu.
"Anda kerabatnya…?"ada suara bertanya, si Bungsu mengangguk.
"Harap anda tanda tangani sertifikat kematian ini…"si Bungsu menandatanganinya.
Dia tak tahu berapa waktu telah berlalu, seorang dokter wanita mendekatinya di ruang tungggu.
"Jika tak ada kaum kerabatnya di kota ini, kami akan memakamkannya di pemakaman umum. Biaya nya akan di tanggung…."
"Saya kerabatnya, Dokter…"putus si Bungsu, Dokter itu menatapnya agak heran.
"Anda juga seorang negro?"
"Ya, malah dari kelas yang paling bawah!" Dokter itu kaget dan merasa bersalah atas pernyataannya tadi.
"Maaf, bukan maksud saya menghina negro. Saya hanya tak melihat anda salah seorang dari mereka.."
"Berapa saya harus bayar?"
"Untuk sebuah kematian anda tak usah bayar apa-apa. Negara menanggungnya. Tapi jika anda ingin kerabat anda ini dimakamkan dengan upacara, Anda harus membayar seratus dolar. Kami akan menyiapkan peti mati yang baik, karangan bunga, pendeta untuk khutbah dipemakaman dan sekitar dua puluh orang pengantar dalam pakaian berkabung. Untuk itulah uang yangseratus dolar itu…"
Si Bungsu merogoh kantongnya, mengeluarkan uang yang diminta. Dia duduk bersandar dan terasa letih sekali. Tongky meninggal! di tembak sehasta darinya! mati dalam pelukannya! Ya Tuhan, mungkinkah? Si Bungsu menunduk, letih dan terpukul sekali.
Inilah wujud firasat tak sedap yang menyelinap tatkala dia berwudhu subuh tadi. Firasatnya yang merupakan indera keenam itu memang memberikan isyarat yang kuat.
Kenapa dia tidak bisa mencegahnya? bukankah ketika berada dalam lift menuju lantai satu dari kamar mereka tadi dia telah bicara soal firasatnya itu pada Tongky? kenapa dia tak waspada?
"Tentang takdir, Buyung, di permukaan bumi ini, tak seorang pun kuasa mengungkitnya...."Suara ayahnya yang telah almarhum seperti mengiang kembali.
Si Bungsu bersandar di kursi, di gang rumah sakit Dallas yang sangat besar itu. Puluhan orang lalu lalang didepannya. Perawat, Dokter, Pasien yang didorong di atas kursi roda maupun brankar, pasien yang melangkah tertatih-tatih dengan tongkat kayu kruk diketiaknya. Hampir semua berseragam putih. Namun orang yang lalu lalang itu, seperti tak hadir didepannya. Dia seperti tak ada di sana, tubuhnya memang bersandar disalah satu di rumah sakit itu tapi pikiranya entah dimana.
Baru dua hari di kota rimba ini, sudah disambut dengan sangat tak ramah. Hari-hari pertamanya dikota ini adalah hari yang luar biasa kerasnya.
"Tuan saya ingin minta sedikit keterangan…." lamunan si Bungsu terputus.
Sebenarnya orang yang menegurnya itu sudah dari tadi disana, dan sudah dua kali dia ngomong tapi tak terdengar oleh si Bungsu. Dengan lesu dia menoleh dan melihat dua orang polisi tegak didepannya.
"Oh,maaf…"katanya sambil memperbaiki duduk. Polisi itu menarik nafas, memperlihatkan sebuah koran.
"Ini negro yang bersama anda itu?" Si Bungsu tak menjawab pertanyaan itu, justru dia menatap polisi yang bertanya tersebut.
Ada sesuatu yang ganjil dalam pertanyaan polisi itu yaitu saat dia menyebut kata 'negro' ada semacam nada ketidaksukaan dalam ucapannya. Semacam kebencian rasis!
"Tuan saya bertanya, apakah negro yang mati tadi adalah yang ada dalam foto ini?"si Bungsu tak menjawab, matanya masih menatap polisi itu. Si polisi yang pertanyaannya tak dijawab, menoleh kepada polisi yang satunya lagi.
"Barangkali dia pekak, atau tak mengerti bahasa Ingris.."katanya.
Yang satu lagi maju, dan tanpa ba atau bu dia segera menggeledah kantong si Bungsu. Nampaknya mencari sesuatu, si Bungsu tidak sedikitpun memberikan reaksi. Polisi itu merenjeng tangan si Bungsu hingga tertegak, kemudian merogoh kantong celananya.
Dikantong celana belakang, dia mendapatkan apa yang dia cari, paspor! Membalik-balikan halamannya, lalu menatap pada si Bungsu.
"Indonesian.." desisnya.
SiBungsu hanya diam. Polisi kembali memperlihatkan wajah Tongky yang terpampang di koran.
"Temanmu?'tanyanya dalam bahasa Ingris yang kasar. Si Bungsu mengangguk dan polisi itu menggerutu dan mengomel panjang pendek. dan mencatat sesuatu dalam notesnya.
"Nah bung, kalau kau mengerti bahasa kami, dengarkanlah baik-baik. Begitu teman mu dikubur, maka sebaiknya segera kau tinggalkan kota ini. Kota ini dan kami semua tak suka pada bau orang-orang kulit berwarna seperti kalian. Sebaiknya anda angkat kaki sebelum teman mu dikuburkan, yang mati tak perlu direnungi…"dan polisi Dallas bertubuh besar itu masih mengomel panjang pendek sambil mencatat-catat dalam notesnya. Kemudian menyerahkan paspor si Bungsu yang tadi dia ambil. Perlahan si Bungsu duduk kembali kekursinya.
Kedua polisi itu pergi. Namun si Bungsu segera melihat polisi itu justru menuju ruang mayat. Ke tempat dimana tadi jenazah Tongky didorong. Dia segera bangkit dan mengikuti kedua polisi itu. Di ujung sana, si polisi berbicara dengan seorang dokter wanita.
Dokter itu membawa kedua polisi itu keruang mayat, si Bungsu mengikuti dari belakang, begitu masuk ruangan itu, udara terasa sangat dingin, dingin sekali. Ada beberapa ruangan lagi, mereka melewatinya, kemudian masuk ke pintu yang mirip pintu gudang yang dikunci dan tertutup rapat sekali. Begitu masuk si Bungsu merasa bergidik, tertegak dan ternganga.
Ruangan itu sebuah ruangan yang besar, ada tempat tidur yang bertingkat-tingkat yang bisa di turun naikan dengan listrik. Dan ditiap tingkat itu terbaring mayat-mayat! Di bahagian tengah ada gantungan yang mirip gantungan baju. Terbungkus dalam plastik, dan di dalamnya terdapat mayat, bukan baju!
Ya, mayat-mayat yang di gantung berderet puluhan jumlahnya. Utuh dalam keadaan telanjang dan kaku, digantungkan dengan menjepit kepalanya dengan semacam jepitan besi.
"Di bahagian kanan.."kata dokter yang tadi mengantar kedua polisi itu.
Suara dokter itu menyadarkan si Bungsu, dia segera melangkah mengikuti ketiga orang itu. Di bahagian yang lain, ruang yang di penuhi peti-peti mati, udaranya tak sedingin ruangan yang tadi mereka lewati. Ruangan ini nampaknya bahagian ruang mayat yang akan di kebumikan. Mayat-mayat yang dibuatkan peti mati oleh sanak saudaranya, sedangkan mayat-mayat sebelumnya adalah mayat-mayat tak di kenal. Yang barangkali diperlukan untuk penelitian ilmiah. Jumlahnya yang mungkin lebih dari seratusan menunjukan angka kematian yang tinggi di kota berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa itu. Tiap hari ada saja yang mati, baik oleh kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, perkelahian, sampai korban pembunuhan, perampokan, dan sejenisnya.
Mayat yang tak dikenal yang rusak, bahagian-bahagian penting tubuhnya yang penting. Seperti ginjal, jantung, hati atau mata diambil, sisanya dikuburkan. Sementara yang utuh yang tidak ada keluarga mengambil atau mayat-mayat yang tak dikenal sanak kerabatnya, disimpan seperti yang dilihat si Bungsu tadi.
"Mana mayatnya?"polisi tadi bertanya.
Seorang petugas yang tengah menyiapkan peti mati dengan alas kain satin yang indah berwarna merah jambu, menunjuk kesebuah altar.
Di sana mayat Tongky terlihat tergeletak. Di meja-meja yang lain ada sekitar delapan atau sembilan mayat yang masuk lebih belakangan dari mayat Tongky menunggu peti.
Dalam ruangan itu ada delapan orang pekerja, mereka memasukan mayat-mayat kepeti yang sudah tersedia. Mereka menyiapkan mayat dengan pakaian yang sudah di pesan sesuai permintaan keluarga. Ada yang memakai jas, dasi dan sepatu. Kedua polisi itu berjalan kearah mayat Tongky. Yang seorang mengambil fotonya, kemudian yang seorang lagi memeriksa kantong Tongky. Membalikan mayat itu dengan kasar, memeriksa kantong celananya, mengambil paspor dan mencatat nomornya, dan mengambil jam tangan dan dompet.
"Apakah jam tangan dan dompet itu anda perlukan untuk Bukti?" tiba-tiba ada suara.
Mereka menoleh dan dengan heran menampak si 'Indonesian' tadi tegak tidak jauh dari mereka dan amat fasih berbahasa Inggris. Polisi itu tak mengacuhkan, memasukan jam Rolex itu ke kantongnya berikut dompet berisi uang yang cukup banyak.
"Tuan saya bertanya, apakah kedua benda itu anda perlukan untuk bukti?"
"Jahanam menyingkir dari sini atau kuremukan mulutmu…"polisi bertubuh besar yang tadi menenteng tubuh si Bungsu hingga tertegak dikursinya menyumpah.
Namun si Indonesia itu ternyata tak menyingkir, Dia malah mendekat dengan pandangan mata yang menusuk dingin.
"Jika tuan memerlukan benda-benda itu, tuan harus membuat tanda terimanya…"
"Jahanam kami tak perlu membuat tanda terima apapun dengan hewan hitam seperti kalian…"
Sepi tiba-tiba, anak muda itu melangkah makin mendekat pada polisi itu.
"Berikan pada saya tanda terima atas kedua benda yang anda kantongi itu.." katanya perlahan.
Habis sudah kesabaran polisi bertubuh besar itu, dia mencekal leher leher si Bungsu. Kemudian tangan kirinya menempelang. Namun si Indonesian itu juga sudah habis sabarnya, dia muak perlakuan polisi rasis itu.
Begitu tangan polisi besar itu terayun, dia mengangkat lututnya, menghantam dengan keras selangkangan polisi itu, mata polisi itu mendelik, mulutnya mengatup dengan kuat, tubuhnya menggigil, dia tidak lagi mencengkram baju si Bungsu, meski tangannya masih disana, lebih tepatnya bergantung kebaju si Indonesian tersebut.
Dia bergantung disana agar tak terjatuh kelantai, hantaman lutut itu benar-benar menghancurkan benda diselangkangannya. Temannya yang satu lagi masih sibuk memotret-motret dengan kamera kunonya.
Si Bungsu merogoh kantong polisi itu, mengambil barang Tongky tadi dan memasukannya kekantong dia sendiri. Dan waktu itulah baru disadari polisi yang memotret itu kalau ada sesuatu yang tak beres dengan temanya yang dahinya berkerinyut itu.
"Hei George, ada apa…?"
Polisi itu menggeleng, matanya berair, dia ingin meraih pistolnya. Namun setiap anggota tubuhnya digerakan terasa ngilu, kawannya mendekat. Polisi yang dipanggil George itu mendesis.
"Jahanam itu menghantam selangkang ku…"
Polisi yang bertustel itu sadar apa yang terjadi. Tustel dia letakan dan segera dia merenggut tangan si Bungsu. Namun tangan yang bermaksud merenggut itu di cekal siBungsu.
Dan… Ketika renggutan itu membuat tubuh polisi itu doyong sedikit, kakinya dia sapukan dengan sebuah sapuan silat yang telak. Tak pelak polisi itu terjatuh dengan hidung menghantam ubin! prakkk! Beberapa detik dia tertelungkup.
Ketika mencoba bangkit, kepalanya pusing tujuh keliling, darah mengucur dengan deras dari hidungnya yang remuk! si Bungsu tegak dengan diam dua depa dari mereka, menatap petugas itu dengan tenang. Kedua polisi itu bangkit.
Para petugas yang menyiapkan mayat dan dokter yang ada disana menyingkir ketepi dengan wajah tegang.
"Jahanam, kubunuh kau bersama dengan Negro busuk…"
Ucapan polisi itu terhenti oleh tendangan si Bungsu yang tepat di dagunya, polisi itu tercampak. Menggelepar dan pingsan! yang seorang lagi meraih pistol. Si bungsu menoleh kepada petugas rumah sakit itu, juga pada dokter cantik yang tegak melongo.
"Anda menjadi saksi, mereka yang mulai menyerang saya.."katanya dengan tenang.
Dokter cantik itu menjerit melihat pistol ditangan polisi itu terarah pada si Bungsu yang masih saja tak mengacuhkannya. Dan si Bungsu, yang telah pulih kembali naluri rimbanya, mendengar dengan jelas pelatuk pistol yang ditarik. Dan hanya berbeda dua detik dari letusan pistol itu, dia lebih duluan membalik dan mengayun tangan kanannya!
Dua bilah samurai kecil lepas dari tangannya. Menghantam leher dan dada polisi yang tengah menembak itu! Pistolnya meledak, pelurunya menghantam loteng, kemudian polisi itu rubuh! Si Bungsu kembali menoleh pada para petugas Dallas Central Hospital itu, dan dengan tenang berkata: