Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 134 - Negerimu Cenderung ke Komunis, Bungsu.

Chapter 134 - Negerimu Cenderung ke Komunis, Bungsu.

Pesawat yang ditompangi si Bungsu baru saja mendarat di lapangan Paya Lebar, Singapura.

Dia berjalan kaki ke bagian Douane. Tak banyak yang dia bawa. Hanya sebuah tas berisi empat atau lima stel pakaian, kemudian sebuah tongkat kayu. Tas tangan itu dia jinjing, jadi dia tak usah menunggu lama untuk bisa keluar. Dalam perjalanan menuju tempat keluar, sebuah pesawat LKM milik Belanda dia lihat mendarat pula di ujung landasan.

Melihat pesawat dari Belanda itu dia segera teringat pada situasi Indonesia yang baru saja dia tinggalkan. Presiden Soekarno sedang gencar-gencarnya atas nama rakyat Indonesia menuntut dikembalikannya Irian Barat ke tangan Indonesia. Beberapa benturan kecil telah terjadi di sekitar Irian antara pasukan Indonesia dengan pasukan Belanda. Belanda tetap bersikeras mempertahankan Irian di bawah kekuasaannya.

Tak lama setelah pesawat itu berhenti, kelihatan turis-turis Belanda turun. Pakaian mereka beraneka warna. Lelaki perempuan. Ada firasat aneh yang tiba-tiba saja menyelusup di hati si Bungsu, melihat turis-turis tersebut turun dari pesawat KLM. Dia tak segera keluar dari tempat pemeriksaan. Ada beberapa saat dia menanti. Sampai akhirnya turis-turis itu juga masuk ke ruangan nya. Ketika itulah seorang lelaki menepuk bahunya. Dia menoleh, dan....

"Fabian…!" serunya sambil bangkit dan segera saja kedua lelaki itu berangkulan.

"Hai, kau kelihatan kurus, Letnan.." ujar mantan kapten Baret Hijau itu sambil mengucek-ngucek rambut di kepala si Bungsu.

"Masih kau ingat dia…?" berkata begitu si Kapten menunjuk seorang Negro bertubuh atletis.

"Tongky…!!" seru si Bungsu begitu mengenali lelaki itu.

"Letnan Bungsu..!" seru tongky si negro. Mereka segera saling peluk.

Si Bungsu terharu, mendengar kedua bekas pasukan Baret Hijau dari Inggris ini masih memanggilnya dengan sebutan letnan. Pangkat itu memang pernah "diberikan" padanya, ketika mereka akan berperang melawan sindikat penjualan wanita di Singapura ini beberapa tahun yang lalu.

Semacam pangkat tituler, sebab kemahirannya ternyata melebihi kemahiran rata-rata anggota baret hijau itu dalam hal bela diri.

"Mana teman-teman yang lain?"

"Mereka mempersiapkan perjalan kita.

"Nanti kita akan berkumpul di rumahku. Hei… Sejak tadi engkau memperhatikan turis-turis itu.." bisik kapten Fabian ketika menyebut kalimat terakhir ini.

Si Bungsu kagum juga, ternyata kawannya ini mengetahui apa yang dia perhatikan.

"Saya ingin tahu dimana mereka menginap, Kapten…" Katanya pelan

"Itu mudah diatur…"

"Juga hal-hal lain yang dirasa perlu tentang identitas mereka.."

"Mudah diatur, Tongki akan menyelesaikannya…"

Si Bungsu segera ingat pada teman negronya yang bernama Tongki itu. Seorang ahli menyamar dan menyusup yang nyaris tak ada duanya. Tongki mengerdipkan mata. Kemudian si Bungsu meninggalkan lapangan udara Paya Lebar itu bersama Fabian.

Meninggalkan Tongki disana. Mencari informasi tentang turis-turis tersebut. Mereka nenuju sebuah mobil Cadilac besar berwarna hitam metalik.

"Mobilmu Kapten?"

"Yap."

"Kau kaya sekarang"

"Bukan aku, tapi ayahku. Dua tahun yang lalu ayahku meninggal di Inggris. Dia tak punya ahliwaris selain aku dan ibuku. Kini ibuku ada disini. Kau bisa bertemu nanti. Ayahku meninggalkan harta tak tanggung-tanggung. Barang kali dia dulu korupsi…"

Si Bungsu menatap heran.

"Ah tidak, ayahku seorang bangsawan".

Kapten itu tersenyum, menjalankan mobilnya keluar areal pelabuhan. Mereka meluncur di jalan raya.

"Turis yang kau curigai tadi, apakah mereka dari Belanda?" Fabian bertanya sambil menyetir mobil.

"Ya. Nampaknya mereka dari Belanda. Saya mendengar bahasa yang mereka gunakan.."

"Kau hawatir bahwa mereka sebenarnya akan menuju Irian Barat?"

Si Bungsu menoleh pada kawannya itu. Dia hanya menduga semulanya. Apakah kapten ini mengetahui lebih jauh?

"Saya mengikuti berita-berita yang terjadi di negerimu, Bungsu. Saya punya bisnis di Singapura ini. Dan salah satu negeri terdekat, salah satu negeri dimana ekonomi Singapura terkait, adalah negerimu. Saya mengikuti setiap yang terjadi di sana. Dan kami bukannya tak tahu, saat ini banyak sukarelawan Indonesia yang telah diterjunkan di daratan Irian.

Sukarelawan yang tak lain daripada pasukan-pasukan komando. Saya tak bersimpati dengan pemimpin negaramu, Bungsu. Terlalu dekat dengan komunis. Saya hanya simpati denganmu. Saya juga pernah mendengar bahwa ada pasukan-pasukan organik Belanda yang telah diselusupkan ke Irian. Dan.. mana tahu, karena tak dapat mengirim pasukan secara terang-terangan, mereka justru memakai jalur turis, bukan?

Si Bungsu tak menjawab. Selama di Indonesia dia memang tak tertarik sedikitpun soal Irian Barat itu. Masalah yang dia hadapi adalah masalah dimana dia berada secara langsung. Yaitu di tengah kecamuk pergolakan PRRI. Dia hanya mendengar soal Irian Barat itu dari siaran-siaran radio. Tapi begitu sampai di negeri orang, entah mengapa, ada saja suatu rasa yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata, betapa rasa solidaritas, rasa bangga terhadap tanah air, dan rasa amarah terhadap orang yang ingin meneruskan penjajahan, tiba-tiba saja meresap demikian dalamnya.

''Cukup banyak yang Anda ketahui, Fabian. Saya harap, saya dapat cerita yang cukup banyak pula..''

''Tentang negerimu, di sini tak ada yang dirahasiakan Bungsu. Semua terbeber tanpa ada yang disembunyikan sedikitpun. Dibeberkan oleh puluhan wartawan Barat dan Timur dalam berbagai bahasa. Namun saya kurang tahu apakah ada pasukan Belanda yang dikirim lewat Singapura atau tidak, itu memang dirahasiakan Belanda. Kini ada satu soal yang ingin saya katakan padamu….''

Bekas kapten Baret Hijau itu tak melanjutkan ucapannya. Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan. Si Bungsu segera ingat bangunan itu. Hatinya berdegub kencang. Gedung itu adalah gedung Konsulat Indonesia.

Dia pernah di sini beberapa tahun yang lalu. Atase Militer di Konsulat adalah sahabatnya, Overste Nurdin. Teman seperjuangannya ketika melawan Belanda di Pekanbaru. Lebih daripada itu, isteri atas militer itu adalah Salma. Gadis yang meninggalkan bekas amat dalam di hatinya.

''Ingat gedung ini?'' tanya Fabian.

''Apakah mereka masih di sini?'' Si Bungsu balik bertanya. Perlahan Fabian menjalankan mobilnya kembali.

''Tidak. Mereka telah pindah. Mereka kini di India. Overste Nurdin menjabat sebagai Atase Militer di New Delhi.

''Sudah lama mereka pindah?''

''Setahun yang lalu''

''Anda hadir di sini ketika dia pindah?''

''Sahabatmu adalah juga sahabat saya, Bungsu. Demikian juga mereka memperlakukan kami. Kami mereka anggap penggantimu. Kami mereka undang dalam tiap acara resepsi yang diadakan Konsulat. Demikian pula ketika overste itu dipindahkan. Pada acara perpisahan dengannya, kami juga diundang..''

Si Bungsu menarik nafas, membayangkan masa lalunya ketika di Bukitinggi.

Mobil yang mereka kendarai meluncur terus di jalan-jalan kota Singapura yang kelihatan bersih dan teratur. Di suatu tempat, di daerah Petaling Jaya, mobil itu membelok ke sebuah pekarangan yang amat luas dan berpagar tinggi. Jauh di tengah pekarangan itu tegak sebuah rumah model Tahun 1800 yang antik.

Padang rumput pekarangan luas itu berwarna hijau bersih. Dan di tengah lapangan hijau itu, rumah antik tahun 1800 itu seperti muncul tiba-tiba. Berwarna putih kemerlap dengan lampu-lampu kristal. Putih bersih di tengah permadani hijau. Benar-benar pemandangan yang mempesona. Di depannya ada taman dengan pohon-pohon bonsai dan bambu cina.

''Ini rumahku. Di sini aku dan ibuku tinggal, Bungsu..'' Fabian berkata sambil menghentikan mobilnya. Seekor anjing jenis pudel yang lucu berlari menyongsong.

''Ini bukan rumah, Fabian. Ini istana..'' kata si Bungsu tak habis-habisnya mengagumi rumah bertaman yang ditata dengan selera aristokrat itu.

''Mari kita menemui Ibu..''

Si Bungsu melangkah menaiki tangga bersusun empat panjang-panjang. Nyaris sepanjang bahagian depan rumah tersebut. Dan di pintu, berdiri ibu Fabian. Perempuan tua itu kelihatan anggun dan berwajah ramah.

Fabian mengenalkan si Bungsu pada ibunya. Tak berapa lama mereka berada di rumah, sebuah mobil sedan lain muncul dan berhenti di halaman. Dari dalamnya keluar Tongky, Negro yang ahli menyamar itu. Mereka berkumpul di ruang samping.

''Siapa turis-turis itu sebenarnya?''

Kapten Fabian memulai pembicaraan. Tongky tak segera menjawab. Dia menghirup jus dingin yang dia ambil dari lemari es.

''Ada enam puluh turis dari Belanda, Jerman dan Scotlandia. Sepuluh di antaranya perempuan. Tapi dari lima puluh lelaki yang mengaku turis itu, saya rasa empat puluh diantaranya adalah tentara reguler. Saya tak yakin mereka orang Scot, Jerman atau bangsa manapun, mereka itu orang Belanda. Saya berani bertaruh. Dan saya berhasil mendapatkan ini dari salah satu kantong mereka''

Tongky memberikan sehelai kertas kepada Kapten Fabian. Kertas itu dikembangkan di atas meja. Si Bungsu melihat kertas itu tak lain daripada sebuah peta. Peta Singapura.

''Saya juga memiliki peta itu..'' ujar si Bungsu.

Dia mengambil dari kantongnya sebuah peta yang nyaris sama. Peta itu adalah brosur pariwisata yang dapat diambil gratis di Airport Payalebar.

''Ini hanya peta pariwisata yang dibagikan gratis..'' katanya.

Peta itu memang mirip sekali. Di sana ditunjukan beberapa tempat wisata. Beberapa pulau dan teluk. Pelabuhan dan terminal taksi. Bank dan lapangan udara.

''Tidak, Bungsu. Ini memang mirip dengan milikmu. Tapi ini ada bedanya. Ini..''

Fabian lalu menunjuk ke sebuah teluk di selatan Singapura. Tak begitu kentara, namun jelas ditandai dengan pinsil. Tanda yang tak begitu menyolok. Kemudian Fabian juga menunjuk beberapa titik di pelabuhan Singapura. Tanda beberapa kapal yang berlabuh.

''Ini adalah kapal-kapal dagang. Tapi ada bedanya. Di teluk ini, dengan tanda pensil bergambar garis bengkok ini, adalah semacam kode dalam kemiliteran, bahwa di sini ada kapal selam. Dan ini… kapal-kapal dagang yang ditandai ini, diantara puluhan kapal dagang di pelabuhan, ada lima kapal perang yang disulap seperti kapal dagang. Meriam-meriam dikamuflase sedemikian rupa, sehingga sepintas nampaknya seperti tumpukan peti barang..'' papar Fabian.

Si Bungsu tak bisa bicara saking kagetnya.

''Mereka akan menyerang Indonesia..'' akhirnya dia berkata.

''Barangkali tidak. Tetapi mereka akan membalas jika presidenmu yang condong ke komunis itu memerintahkan menyerang Irian Barat..''

Si Bungsu menatap Fabian dan Tongky bergantian.

''Kalian mengetahui rahasia ini sejak lama?''

''Tidak. Saya juga baru mengetahuinya.

"Tidak, saya mengetahuinya sejak melihat peta ini. Harus saya akui Bungsu, bahwa saya mencium gerakan tentara Belanda secara diam-diam ingin menyelusup ke berbagai wilayah yang berbatasan dengan negrimu. Betapun juga di Irian barat masih terdapat ribuan orang belanda. Yang sewaktu-waktu harus mereka selamatkan nyawanya. Dan maaf diantara kita tak ada rahasia Bungsu. Saya orang inggris dan saya cenderung sependapat dengan politik pemerintah negeri saya, bahwa negerimu cenderung ke Komunis.

Banyak peralatan perang yang didatangkan Soviet ke negerimu. Mulai dari karaben, pesawat jet, sampai ke kapal-kapal perang dan kapal selam. Di Asia tenggara, negerimu lah yang terkuat dewasa ini…"sepi sesaat.