Walinagari itu ingin membela, dia tahu lelaki tua pemilik kedai ini takkan berkhianat pada siapapun. Ke kedai ini tidak hanya anggota APRI yang singgah, tapi juga anggota PRRI. Itu disebabkan di desa kecil ini hanya inilah satu-satunya kedai yang ada. Kedai kecil menjual pisang dan ubi goreng, kerupuk jangek dan kerupuk palembang, kemudian kopi dan teh.
Pagi sekali penduduk kampung ini selalu singgah minum kopi dan makan pisang goreng sebelum mereka berangkat ke sawah atau ke Payakumbuh. Sore, terkadang malam hari, mereka juga sering ngumpul di kedai ini untuk main domino sebagai satu-satunya hiburan. Biasanya ada hiburan mendengarkan siaran radio, tapi yang punya radio transistor di kampung ini hanya seorang, Amir. Dan dia sudah mati ditembak. Radio transistornya dibawa PRRI entah kemana.
Walinagari berpikir, bagaimana dia akan menjelaskan bahwa pemilik kedai ini tidak berkhianat pada siapa pun? Salah-salah dia pula yang akan dituduh berkomplot sebagai mata-mata pusat. Apalagi mereka masih punya hubungan saudara.
"Ikut kami ke markas di gunung.." ujar si komandan yang di pinggangnya tergantung dua pistol.
Lelaki tua itu jadi pucat, anaknya meratap-ratap. Suara ratapnya terdengar ke rumah-rumah berdekatan. Namun dalam malam gelap seperti sekarang, tak seorangpun yang berani keluar dari rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Apalagi mereka tahu, setelah Isya tadi tiga anggota PRRI masuk ke kedai itu bersama walinagari. Mereka sudah maklum akan apa yang telah dan akan terjadi, bila ada anggota PRRI yang datang ke salah satu rumah di malam hari.
Siti masih meratap dan meronta dari pegangan salah seorang anggota PRRI itu saat terdengar pintu kedai dibuka dari luar, dan suara mengucap salam. Semua menoleh ke pintu yang baru terbuka, semua melihat seorang lelaki masuk tanpa menunggu salamnya dijawab.
Orang yang baru masuk itu menyapu semua yang hadir dengan tatapan matanya. Hanya sesaat, kemudian perlahan dia menuju ke kursi kayu panjang di dalam kedai itu.
"Sudah larut sekali, untung Bapak belum tidur. Boleh saya memesan kopi panas?" ujar orang itu sambil meletakkan tongkatnya di meja.
Semua yang ada dalam kedai kecil itu menatap terheran-heran kepada orang yang baru masuk itu, yang nyelonong saja masuk dan duduk tanpa permisi.
"He Sanak, kedai sudah tutup. Tak tahu sudah larut malam?!" sergah si komandan
"Sudah larut dan sudah tutup, tapi Sanak masih di sini. Itu tanda kedai masih buka kan?"
Si komandan memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya, untuk mengusir orang itu keluar. Anak buahnya mendatangi meja lelaki yang baru masuk itu. Dengan geram yang ditahan-tahan dia lalu berkata dari seberang meja,
"Jangan mencari persoalan, Sanak keluarlah selagi masih sempat.."
Lelaki itu menatap anggota PRRI itu dengan pandangan biasa-biasa saja. Lalu dia menoleh dan bicara anak si pemilik kedai.
"Bisa saya memesan secangkir kopi Siti..? "
Gadis yang ditanya tertegun. Suara dan pertanyaan yang hampir sama rasanya pernah dia dengar. Suara yang nyaris tak pernah dia lupakan. Tapi alangkah sudah lamanya zaman berlalu.
"Baiklah, nampaknya kehadiran saya di sini memang tidak diingini. Maafkan saya…" ujarnya sambil berdiri dan meraih tongkatnya yang terletak di meja.
"Tunggu, ss…saya buatkan kopi. Masih ada air panas di termos.." ujar Siti tergagap sambil bergegas ke dekat meja tempat dia biasa membuatkan kopi untuk tamu.
"Keluarlah, sebelum sanak celaka!" desis anggota PRRI yang tadi menyuruhnya keluar.
Tamu itu menatapnya sesaat. Kemudian sambil tersenyum dia kembali duduk.
"Izinkan saya minum kopi dulu, sudah lama sekali saya tidak singgah di kedai ini. Hei, mulut Bapak berdarah..kenapa? Masih ingat pada saya Pak?"
"Bungsu…." ujar lelaki tua pemilik kedai itu seperti tak mempercayai pandangannya.
Mendengar nama itu Siti terhenti, dia menatap tamu yang duduk itu dengan dada berdebar.
"He! Waang mata-mata Pusat ya?!" hardik si komandan sambil mencabut pistolnya.
Tindakannya diikuti oleh kedua anak buahnya dengan mengokang bedil. Seperti tidak mengacuhkan hardikan itu, si Bungsu berkata pada Siti yang tegak di seberang meja di depannya.
"Apapun yang akan terjadi, Siti, lihat saja dan tetaplah diam…"
Siti seperti mendengar kembali kata-kata yang sama, yang diucapkan oleh orang yang sama dari masa lalu yang amat jauh.
Kala itu empat serdadu Jepang akan melaknatinya, lelaki ini tiba-tiba saja muncul menyelamatkannya. Keempat serdadu Jepang itu mati dimakan samurainya! Siti nanap menatap lelaki yang bertahun lamanya berada dalam hatinya, dalam mimpinya.
Seperti dahulu, dia mengangguk perlahan. Si Bungsu lalu berkata pada komandan yang menghardiknya.
"Sanak, Bapak ini sudah menyebutkan siapa nama saya. Kampung saya sedikit di atas kampung ini. Di Situjuh Ladang Laweh. Saya tidak..!"
"Diam! Tembak mata-mata jahanam ini..!" hardik si komandan memutus perkataan si Bungsu.
Kedua anak buahnya serentak mengangkat bedil dan mengacungkannya ke arah si Bungsu, kemudian bersamaan menarik pelatuk bedil mereka. Siti tertegak kaku, cangkir kopi masih di tangannya, belum sempat dia taruh di meja di depan si Bungsu. Tapi, seperti berhadapan dengan empat tentara Jepang dahulu, terjadilah apa yang harus terjadi. Si Bungsu mengibaskan tangan kirinya.
Dua detik berlalu, lima… enam.. sepuluh detik! Tak sebuah letusanpun yang terdengar. Yang terdengar hanya suara seperti jatuhnya sebuah kerikil kecil ke lantai. Hanya itu! Ketujuh orang di dalam kedai kecil itu terdiam di tempatnya masing-masing.
Orang pertama, lelaki tua pemilik kedai, terduduk di kursi kayu dua depa dari tempat si Bungsu. Duduk diam dengan sisai-sisa darah masih mengalir dari mulutnya. Orang kedua si walinagari, duduk tak jauh dari tempat duduk pemilik kedai itu. Di sampingnya, antara walinagari dengan pemilik kedai, tegak orang ketiga yaitu si komandan, dalam posisi masih mengacungkan pistol ke arah si Bungsu. Di depan agak ke kanan si Bungsu, serta di belakangnya tegak orang keempat dan kelima, yaitu anggota PRRI dengan telunjuk di pelatuk bedil yang bedilnya diarahkan ke kepala si Bungsu. Orang ke enam adalah Siti, yang masih tertegak diam di seberang meja di depan si Bungsu. Di tangannya masih terpegang secangkir kopi panas yang mengepulkan asap dalam udara dingin di pinggang Gunung Sago itu. Orang ketujuh adalah si Bungsu.
Setelah mengibaskan tangannya dia lalu mendekati pemilik kedai yang mulutnya masih berdarah itu. Dari kantongnya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Dari sana dia mengambil semacam daun dan kulit kayu yang sudah dikemas sebesar anak korek api.
"Telanlah ini, Pak…" ujarnya.
Lelaki itu, dengan masih berdiam diri menelan obat yang disodorkan si Bungsu ke tangannya. Beberapa kali, dengan perasaan amat ketakutan, dia melihat bergantian kepada ketiga anggota PRRI yang ada di dalam kedainya. Namun ketiga orang itu masih tegak dengan diam, mata melotot, namun tak bergerak seperti kena sihir. Saat kembali ke kursinya si Bungsu memungut sesuatu di lantai di dekat ketiga anggota PRRI itu.
Nampaknya benda yang tadi terdengar seperti kerikil jatuh ke lantai. Benda itu tak lain dari samurai kecil yang selalu tersisip di sebuah sarung kulit di lengannya. Samurai itu tadi yang dia gunakan saat mengibaskan tangan kanannya kepada ketiga orang itu. Hanya saja biasanya yang dia pergunakan untuk membunuh orang adalah ujung samurai kecil itu, yang luar biasa runcing. Kibasan tangannya dengan tehnik khusus menyebabkan samurai kecil itu, tiga dikiri dan tiga di kanan, meluncur amat cepat bisa membunuh orang jika diarahkan ke antara dua mata, ke dada tentang jantung, atau ke urat nadi utama di leher.
Tapi kepada ketiga anggota PRRI itu dia tidak mau menurunkan tangan kejam. Hanya hulu samurai kecil itu yang dia pergunakan menghantam urat nadi di bahu ketiga lelaki itu. Lemparan itu membuat mereka tertotok lumpuh.
Setelah menyisipkan ketiga samurai kecil itu di lengannya, kemudian ditutup dengan lengan baju panjang yang dia pakai, si Bungsu kembali ke kursinya semula. Duduk dengan tenang menunggu kopi panas yang dia pesan. Karena kopinya belum juga diletakkan, dia lalu bertanya.
"Menunggu kopi itu dingin, baru diberikan pada saya, Siti?"
Siti yang sejak tadi hanya memperhatikan apa yang dilakukan si Bungsu, seperti terbangun dari mimpi. Dia bergerak, dan meletakkan cangkir kopi di meja di depan si Bungsu.
"Terimakasih, Siti. Apa tak lebih baik Siti buatkan juga kopi untuk ayah Siti dan Bapak yang satu itu?"
"Ya..ya, akan saya buatkan.." ujar Siti, tapi tiba-tiba dia terhenti.
Seperti ingat sesuatu, dengan gugup dan takut dia menoleh pada komandan PRRI itu, kemudian pada kedua anak buahnya. Ketiga mereka tetap tegak tak bergerak sedikitpun, kecuali matanya yang plarak-plirik ke kiri dan ke kanan dengan wajah pucat.
"Oh ya, penat juga memegang bedil sambil berdiri terus menerus…" ujar si Bungsu sambil melangkah dan mengambili bedil serta pistol dari tangan ketiga orang itu. Lalu mendudukkan mereka di kursi kayu terdekat.
Sama sekali tak ada perlawanan dari mereka. Usahkan melawan, mempertahankan bedil itu saja untuk tak diambil si Bungsu mereka tak bisa. Kini mereka tetap duduk dengan tangan seolah-olah masih memegang bedil dan pistol. Ketika senjata api itu diletakkan si Bungsu di atas meja di depan si komandan.
"Buatkanlah, bapak-bapak ini takkan mengganggu kita samasekali. Sebelum totokannya pulih, mereka tak bisa mendengar apapun yang kita bicarakan. Selain menotok saraf untuk bergerak, totokan itu juga mengenai saraf pendengaran yang menyebabkan mereka tak bisa mendengar sekaligus tak bisa bicara," ujar si Bungsu seperti menjawab ketakutan Siti, walinagari maupun ayahnya.
Setelah menatap kepada tiga anggota PRRI yang terduduk seperti orang linglung itu, Siti lalu membuatkan kopi panas untuk ayahnya dan walinagari. Kedua orang itu pindah ke meja panjang di depan si Bungsu duduk.
"Lama kita tak bertemu, Pak.." ujar si Bungsu tatkala ketiga orang itu, walinagari, pemilik kedai dan Siti, duduk di depannya. Dia menyalami ketiga orang itu.
"Masih ingat engkau rupanya pada kami, Bungsu…"
"Bukankah ketika akan pergi dulu, saya berjanji jika pulang ke Situjuh saya akan singgah kemari? Sekarang saya tepati janji saya. Saya pulang ingin ziarah ke makam keluarga. Tak ada bendi yang mau mengantar saya ke Ladang Laweh karena ada peperangan, saya terpaksa jalan kaki. Hari sudah larut, ketika lewat tadi saya dengar masih ada suara di kedai ini. Itu sebab saya singgah.." ujar si Bungsu sambil menghirup kopi.
"Hmm..enak kopimu, Siti. Sekarang sudah pakai gula.."
Siti tak tersenyum, kendati ucapan si Bungsu mengingatkan dia tatkala dahulu ketika ada empat tentara Jepang di kedai ini. Saat itu, saking ketakutannya dia memberi si Bungsu kopi tanpa gula. Dia tidak tersenyum karena matanya nanap menatap anak muda itu. Dia serasa bermimpi bisa bertemu lagi.
"Kata orang.., maaf.. kata orang Uda sudah meninggal…" ujar Siti lirih.
Si Bungsu menatapnya. Ucapan yang sama pernah dia dengar dari mulut Reno Bulan, tunangannya di masa yang sangat remaja, yang kini bersuamikan tukang salung di Bukittinggi. Rupanya kabar yang tersebar itu benar adanya. Kabar yang disebarkan oleh pedagang yang bolak balik dari Payakumbuh ke Pekanbaru dan ke Tanjungpinang.
Dia teringat saat bersama pejuang-pejuang dari Desa Buluhcina menyergap tentara Belanda di pendakian Pasir putih. Sebuah tempat antara Dusun Marpoyan dan Desa Buluh cina. Saat itu dia memang ditembak oleh dua orang tentara Belanda. Dalam situasi amat kritis dia di bawa pejuang-pejuang Buluh cina ke desa mereka. Di sana dia mereka rawat sampai sembuh, lalu baru melanjutkan perjalanannya ke Jepang melalui Singapura.
Kabar dia tertembak itulah yang ditafsirkan dia meninggal, yang ternyata menyebar di Pekanbaru, kemudian didengar dan menyebar dari mulut ke mulut diantara pedagang asal Payakumbuh, Bukittinggi dan sekitarnya. Kabar itu ternyata menyebar pula sampai ke kampungnya.
"Ya, banyak orang mendengar kabar seperti itu, Siti. Dan saya memang tertembak dan menduga akan dijemput maut. Tapi Alhamdulillah Tuhan masih memperpanjang umur saya…" ujarnya perlahan.
Setelah lama sepi, si Bungsu tiba-tiba bertanya.
"Pak Wali, mengapa kampung-kampung yang saya lalui banyak rumah yang lapuk seperti tak berpenghuni..?"