Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 126 - Masinis di Belakang…

Chapter 126 - Masinis di Belakang…

Pagi itu, ketika si Bungsu keluar hotel, setelah subuh tadi didatangi mimpi yang amat menakutkan, di hotel yang sama Michiko memang telah lebih dahulu keluar. Gadis itu menikmati udara pagi yang amat sejuk.

Hari itu hari Sabtu. Hari dimana pasar besar di kota tersebut. Dari hotel Michiko berjalan perlahan ke arah pasar. Hari masih pagi benar. Embun masih menebarkan dirinya seperti awan tipis. Menggantung rendah di permukaan bumi. Tapi orang sudah ramai. Berjalan bergegas. Ada yang menjunjung bakul di kepala. Ada yang menolak gerobak beroda satu yang sarat oleh sayur-sayuran. Semua bergegas seperti memburu sesuatu. Beberapa orang di antara mereka menoleh pada Michiko. Barangkali merasa sedikit heran melihat seorang gadis berjalan sendirian di pagi buta begitu. Sesuatu yang kurang lazim di kota tersebut.

Pagi itu si Bungsu mengurungkan niatnya untuk pulang ke Situjuh. Kedatangan Michiko merobah niatnya itu. Apapun maksud kedatangan gadis itu, satu hal adalah pasti. Yaitu mencari dirinya. Dan dia tahu, bahwa gadis itu akan menuntut balas kematian ayahnya.

Dia tak boleh pergi. Betapapun hebatnya kepandaian gadis itu, seperti halnya dalam mimpi malam tadi, misalnya, namun dia tak boleh meninggalkannya. Itu bisa dianggap melarikan diri.

Melarikan diri? Hm, apakah dia sudah demikian penakutnya, sehingga harus melarikan diri dari seorang perempuan? Namun satu hal pasti pula, dahulu dialah yang memburu lawannya. Kini kejadiannya jadi terbalik. Dialah yang diburu. Dia tak boleh melarikan diri. Dia tak mencek lagi pada petugas hotel tentang kebenaran menginapnya Michiko di hotel itu.

Hal itu tak perlu dicek lagi. Petugas hotel itu telah mengatakan dengan tepat tentang nama dan ciri-ciri gadis itu. Petugas itu tak mungkin berkhayal atau mengada-ada. Sebab dia tak pernah berjumpa dengan Michiko. Lagipula, firasat si Bungsu mengatakan dengan pasti, bahwa gadis itu memang ada di kota ini.

Dia pergi ke rumah makan di seberang Hotel Indonesia itu. Rumah makan yang letaknya persis di depan stasiun dan di persimpangan Jalan Melati. Memesan secangkir kopi dan sepiring ketan dan goreng pisang. Mengambil tempat duduk yang menghadap langsung ke jalan raya. Perlahan dia menghirup kopi. Mengunyah pisang dan ketan gorengnya. Matanya yang setajam mata burung rajawali sesekali menyapu jalan di depan restoran itu. Memandang ke arah kanan, ke jalan yang melintang menuju Simpang Kangkung. Memandang ke stasiun yang ramai oleh manusia.

Dia tak perlu menanyakan apa warna pakaian yang dipakai Michiko pagi ini. Itu tak diperlukan. Informasi tentang ciri-ciri itu hanya diperlukan bagi orang yang tak pernah dia kenali. Tentang Michiko, hmm, meskipun dia berdiri antara sejuta perempuan, dia segera akan mengenalinya.

Namun sampai habis kopi, ketan dan goreng pisang di piringnya, gadis itu tak pernah dia lihat. Dari rumah makan itu dia juga bisa mengawasi jalan yang ada di depan hotel yang menuju ke selatan. Ke Tangsi Militer di Birugo. Gadis itu tak juga muncul. Akhirnya dia membayar minumannya. Kemudian perlahan melangkah keluar.

Di luar, dia menghirup udara pagi yang segar. Kemudian dia melangkah ke jalan raya.

Semula dia berniat untuk ke stasiun. Sekedar melihat orang-orang yang akan berangkat. Tapi aneh, mimpinya malam tadi, perkelahian dengan Michiko di stasiun itu, tiba-tiba saja membuat langkahnya terhenti. Kemudian dia memutar langkah menuju pasar. Takutkah dia ke stasiun?

Apa yang harus ditakutkan. Tapi seperti ada perasaan yang mendorongnya untuk tak datang kestasiun itu. Semacam was-was, untuk pertama kalinya sejak keluar dari hotel tadi dia menyadari, bahwa dia tak membawa samurainya! secara reflek pula, tangan nya merapa lengannya. Disana selalu terselip enam buah samurai kecil, tiga di tangan kanan tiga di tangan kiri yang di sisipkan pada sebuah sabuk yang terbuat dari kulit tipis. Samurai yang bisa diturunkan dengan sedikit gerakan khusus, siap dilemparkan secepat anak panah. Namun kini ternyata semua tak dia bawa.

Dia mencoba mengingat kenapa tak satupun senjata-senjata itu dia bawa, apakah dia terlalu terburu-buru? Tak ada jawaban yang di peroleh.

Akhirnya dia kembali berjalan menuju ke arah Panorama. Sementara pikirannya menerawang, bagaimana kalau keadaan seperti ini artinya ketika dia tanpa senjata sama sekali lalu bertemu dengan Michiko. Kemudia gadis itu menyerangnya untuk membalas dendam.

Dia memang menguasai judo dan karate yang pernah diajarkan Kenji, tapi judo dan karate melawan samura! Ah, suatu pekerjaan yang sia-sia betapapun hebatnya seseorang menguasai ilmu judo dan karate namun mneghadapi senjata tajam seperti samurai, apalagi bila samurai itu di pegang orang yang sangat mahir, sama saja dengan bunih diri.

Ah, pikirannya di penuhi terus dengan pertarungan melawan Michiko. Apakah dia memang benar-benar takut menghadapi gadis itu.? Apakah gadis itu benar – benar telah demikian hebatnya kini, sehingga dia merasa begitu takut? Bukankah dia tak pernah lagi bertemu dengan gadis itu sejak peristiwa pamakaman Saburo Matsuyama di kuil shimogamo dahulu?

Namun perasaannya mengatakan, bahwa gadis itu kini memang memilki kepandaian yang jauh lebih tinggi. Sudah bertahun masa berlalu, Michiko terus mempersiapkan diri dengan matang. Kalau tidak, takkan berani dia datang sejauh ini. Gadis itu sudah paham siapa lawan yang akan dihadapinya.

Di Panorama, ketika dia tegak memandang ke ngarai yang masih berkabut, ketika matanya memandang jauh ke Gunung Singgalang yang tegak seperti seorang tua menjaga negeri ini dengan perkasanya, sebuah pikiran menyelinap ke hati si Bungsu. Dia harus pulang ke Situjuh Ladang Laweh untuk Ziarah ke makam Ayah dan ibunya. Dia ingin mengatakan, bahwa dendam mereka telah dibalaskan. Dia ingin membakar kemenyan dipusara mereka. Memanjatkan Doa itu niat utama nya. Kini kenapa dia harus menanti Michiko? Dan kalau saja Gadis itu tidak mau berdamai dan memang benar-benar ingin menuntut balas, dan kalau benar kepandaiannya sudah demikian tingginya, hingga tak mampu dia melawannya, itu berarti maut akan menjemputnya sebelum dia sempat Ziarah ke makam ayah, Ibu dan kakaknya, perjalanan jauh selama ini alangkah sia-sia.

Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Dia harus cepat-cepat pulang ke kampungnya. Tak peduli apakah dia akan dicap penakut karena melarikan diri dari Michiko, setelah ziarah dia tak perduli, soal dilayani atau tidak tantangan Michiko itu soal lain. Pokoknya dia harus ziarah.

Dengan pikiran demikian lalu dia melangkah lagi kearah hotelnya. Dia akan pulang dengan kereta api pagi ini, Namun ketika kakinya menjejak halaman hotel hatinya berdebar kencang sudah tibakah gadis itu dihotel?

Di ruang tamu, pelayan yang tadi mengatakan padanya tentang kehadiran Michiko kelihatan tengah menulis di buku tamu.

"Hai, ini dia bapak itu..!"pelayan itu berseru, si Bungsu hampir terlonjak.

Darahnya hampir berhenti berdenyut, jantungnya hampir berhenti berdetak. Ternyata gadis itu telah ada dihotel pikirnya, bibirnya tiba-tiba kering.

"Ada apa?" tanyanya setelah sejenak berdiam diri.

"Tidak, saya gembira Bapak sehat-sehat saja…."jawab pelayan itu.

Srrr! Darah si Bungsu berdesir kaget, ucapan pelayan itu seperti memnyindirnya.

'Sehat-sehat saja' bukankah itu suatu sindiran langsung, bahwa pelayan itu mengatakan kalau dia takkan 'sehat-sehat saja' kalau telah berhadapan dengan Michiko? Apakah pelayan ini telah tahu maksud kedatangan Michiko untuk membalas dendam padanya?

"Dia belum pulang pak, tunggu saja sebentar lagi…."pelayan itu berkata seperti orang berbisik.

Si Bungsu menyumpah-nyumpah dalam hatinya. Jelas yang dimaksud pelayan itu adalah Michiko. Ternyata gadis itu belum pulang kehotel, hatinya sedikit lega, dia melangkah kedalam kamarnya.

"Saya berangkat hari ini…"katanya sambil menerima kunci.

"Siang atau sore pak?.."

"Pagi ini.."

"Pagi ini?"

"YA…"

"Ah, jangan terburu-buru pak…."Tapi si Bungsu mengacuhkannya.

Dia membuka pintu kamar dan melirik ke kamar sebelah, kekamar yang dihuni oleh Michiko. Kamar itu masih tertutup dan terkunci, dia mengemasi barang-barangnya lalu membayar sewa hotel.

"Bapak akan kemari lagi, bukan?"tanya pelayan itu.

Si Bungsu tidak menjawab, dia menjinjing tas kecil yang berisi pakaian, kemudian berangkat ke stasiun.

Di stasiun gebalau orang-orang ramai terdengar seperti lebah. Dia membali karcis.

"Masuklah Pak, sebentar lagi kereta berangkat" kata penjual karcis.

Si Bungsu belum sempat mengangguk ketika peluit panjang berbunyi. Tanda kereta akan berangkat. Dia melangkah ke peron. Menyeruak di antara orang-orang ramai. Masuk ke kereta. Ketika dia terduduk di bangkunya, hatinya terasa agak lega. Kereta itupun mulai bergerak. Suaranya mendesis, gemuruh. Angin dari sawah dari kampung Tengah Sawah yang berada di seberang stasiun menampar-nampar wajahnya.

Perasaan tenteram menyelusup ke hatinya. Dia menarik nafas panjang. Rasanya lega benar meninggalkan kota ini. Makin cepat makin baik. Ah, demikian takutnya kah anak muda ini pada Michiko? Apakah mimpinya malam tadi membuat hatinya jadi goyah?

Tak ada yang tahu dengan pasti. Namun memang benar, bahwa hatinya amat lega dapat cepat-cepat meninggalkan kota itu. Entah mengapa, hatinya amat lega bisa cepat-cepat naik kereta api menuju Payakumbuh, untuk ziarah ke makam keluarganya.

Kereta berlari terus. Saat itu telah melewati sawah-sawah yang membentang di Tanjung Alam. Saat itu pula, di bahagian belakang, di antara para penompang yang duduk bersesak di gerbong tiga, empat orang lelaki saling berbisik. Kemudian mereka mulai berdiri. Dua orang berjalan ke depan. Dua orang lagi melihat-lihat situasi. Sepuluh menit kemudian mereka berkumpul lagi di gerbong tiga. Kembali berbisik-bisik.

"Ada dua orang polisi di gerbong dua dan seorang di gerbong satu," bisik yang seorang.

"Mereka membawa bedil?" tanya yang seorang dengan tetap berbisik.

"Seorang pakai pistol, dua lainnya berbedil panjang…." bisik yang seorang lagi.

Keempat lelaki itu berunding lagi dengan saling berbisik. Penompang-penompang melihat dengan diam. Tak seorangpun tahu apa yang diperbisikkan mereka di antara deru roda kereta api itu.

Namun ada salah seorang di antara polisi menjadi curiga. Dia melihat dua orang lelaki bertampang kasar mondar-mandir dari gerbong dua ke gerbong satu. Dengan tidak menimbulkan kecurigaan, dia memperhatikan perangai kedua lelaki itu. Mereka nampaknya seperti memperhatikan penompang satu demi satu. Memang tak begitu kentara. Tapi sebagai seorang polisi, dia dapat menangkap maksud tak baik dari gerak gerik kedua lelaki itu.

Ketika kedua lelaki itu bergabung dengan temannya di gerbong tiga, diam-diam polisi itu membuntutinya, lalu melihat dari kejauhan.

Tiba-tiba dia seperti teringat pada seseorang. Dia seperti mengenal lelaki bertubuh besar yang tengah berbisik-bisik dengan tiga orang temannya itu. Dia coba mengingat-ingat. Ketika dia teringat siapa lelaki itu, polisi tersebut segera menemui temannya yang duduk di sebelahnya tadi, lalu berbisik. Polisi yang seorang itu tertegun.

"Tak ada teman-teman alat negara lainnya di dalam kereta ini?" bisiknya.

"Di gerbong dua ini hanya kita berdua. Di gerbong tiga tak ada seorangpun. Saya tak tahu apakah ada alat negara lainnya di gerbong satu."

"Biasanya ada pengawalan tentara. Biar saya lihat, engkau tunggu di sini…." ujar polisi itu seraya tegak.

Dia segera menuju gerbong satu. Benar, di sana tak ada tentara seorangpun. Dia hanya bertemu dengan seorang polisi lagi berpangkat Komandan Muda. Setelah memberi hormat dia berbisik pada polisi yang memakai tanda pangkat dari aluminium dengan dua setengah garis di kelepak bajunya itu.

Polisi itu tegak, lalu sama-sama menuju ke gerbong dua. Bergabung dengan polisi yang tadi mengintai ke empat lelaki di gerbong tiga itu.

"Apakah pasti dia Datuk Hitam?" tanya komandan muda itu.

"Benar pak. Saya yakin itu pasti dia. Ada akar bahar melilit di lengan kanannya. Ada codet tanda luka di pipi kirinya. Nampaknya dia mengatur sesuatu bersama tiga temannya di Gerbong tiga."

"Dia berbahaya. Apakah kita akan bisa menangkapnya?"

"Kita pasti bisa, Pak…"

"Barangkali bisa. Tapi akan banyak jatuh korban di antara penumpang"

Kemungkinan terjadinya hal terburuk itu, yaitu jatuhnya korban di antara penumpang menyebabkan para polisi itu berunding mencari jalan terbaik. Bagaimana penumpang tidak menjadi korban, tapi datuk kalera itu bisa diringkus. Kalau melawan dibunuh saja sekalian.

Kereta api meluncur terus. Saat itu sudah hampir sampai di Stasiun Baso. Ketiga polisi itu duduk kembali. Mereka tak ingin rencana mereka diketahui oleh kawanan Datuk Hitam itu.

Ya, lelaki yang sedang berencana dengan ketiga temannya itu memang benar Datuk Hitam. Lelaki yang dulu akan merampas uang yang diberikan oleh si Bungsu pada Reno dan suaminya yang tukang saluang di Los Galuang. Datuk itu adalah seorang penjahat yang baru pulang dari Betawi. Di ibukota sana dia juga dikenal sebagai pemakan masak matah.

Sebenarnya dia tidak bergelar datuk. Dia bukan pula ninik mamak. Tapi karena tubuhnya hitam dan dia kepala begal, maka orang memanggilnya sebagai Datuak Hitam. Semacam sindiran, datuk dari dunia hitam.

Kini dialah yang berada di kereta api itu. Kereta memasuki Desa Baso. Polisi itu menyebar ke pintu. Namun mereka terkejut. Penompang-penompang juga heran. Kereta tak dilambatkan oleh masinis, tapi meluncur terus melewati Baso.

"Celaka, ada yang tak beres pada masinis…"

Bisik polisi yang berpangkat komandan muda, dia bergegas menemui temannya.

"Ayo ke depan, temui masinis…" katanya.

"Masinis di belakang…" kata polisi yang seorang.

"Di belakang..?"

"Ya, lokomotifnya berada di belakang, nampaknya kereta ini datang dari Padang Panjang. Biasanya di Bukittinggi kepalanya ditukar, diletakkan di depan. Tapi yang satu ini nampaknya tidak…."

"Kalau begitu mereka telah mengancam masinis…." kata komandan muda itu.

Ucapan polisi itu ternyata benar. Kawanan Datuk Hitam itu rupanya mengetahui bahwa rencana mereka dicium oleh beberapa polisi yang ada dalam kereta api tersebut. Maka salah seorang di antara mereka segera disuruh Datuk Hitam untuk menyergap masinis.

"Jalankan kereta terus…" seorang lelaki bertubuh besar mengancam si masinis.

Masinis itu menyangka orang ini bagarah. Dia sudah memperlahan kereta ketika akan memasuki Baso. Tapi sebuah tikaman di lengannya membuat dia terpekik.