Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 103 - Penyergapan

Chapter 103 - Penyergapan

Sukarelawan yang satu lagi adalah Donald. Si Bungsu menuju ke samping. Dan dia mengambil sebatang bambu sebesar ibu jari yang beruas panjang-panjang. Memotongnya sepanjang sehasta. Memberikannya pada Tongky dan Donald masing-masing sepotong. Untuknya sendiri sepotong.

"Barangkali ini kita perlukan. Saya lebih percaya bahwa kita akan aman jika menyelam dan mempergunakan bambu kecil ini sebagai slang pernafasan. Dengan demikian kita tak usah muncul di permukaan air sampai sekarang"

Si Bungsu kemudian masuk ke air rawa yang dalam malam pekat ini kelihatan seperti aspal, hitam pekat. Dia menoleh pada Kapten Fabian dan berkata:

"Untuk menyeberang, kami butuh waktu sepuluh menit paling lama. Kami akan memberi syarat kalau keadaan aman, kalau tidak maka musuhlah yang akan memberi isyarat dengan tembakan ke arah kami.." sehabis berkata dia memberi hormat. Kemudian mulai melangkah ke tempat dalam.

Lima meter dari pinggir dia berheti. Menoleh ke belakang ke arah Tongky dan Donald. Dia berkata separoh berbisik.

"Ini batas kita berjalan. Dari sini kita harus menyelam. Nah, kita mulai…"

Dia meletakkan bambu bengkok itu ke mulutnya. Kemudian menyelam. Dengan memakai bambu bengkok tersebut di mulut, dia dapat menyelam telungkup. Tubuhnya segera lenyap ke dalam air. Dan di permukaan air rawa hanya terlihat sepotong ranting kecil bergerak perlahan ke arah seberang sana. Donald dan Tongky berpandangan. Mereka sebenarnya tak mau menyeberang dengan cara itu. Mereka memang tak usah khawatir dengan senjata mereka, senjata adalah senjata-senjata yang dirancang oleh para ahli. Yang bisa ditembakkan meski senjata itu telah terendam air. Magazine tempat pelurunya serta loop senjata otomat tersebut diluar sistim yang pelik. Sehingga air tak bisa masuk kedalamnya meski terendam air agak dua hari.

Yang membuat mereka tak sedap adalah harus berendam lagi. Tapi anak muda itu telah ditetapkan sebagai Komandan Regu mereka. Dan mereka adalah orang-orang yang telah dididik dengan disiplin keras, bahwa komandan harus dipatuhi.

Maka merekapun meletakkan bambu bengkok yang dipilih oleh si Bungsu itu ke mulut. Lalu dengan perasaan separoh enggan mulai menelungkup dalam air. Lalu mereka mulai berenang keseberang. Kapten Fabian dan kelima anggotanya tiba-tiba melihat ketiga orang itu lenyap dalam rawa. Dari tempat mereka tegak, tak ada yang kelihatan. Bambu kecil yang mencuat sejengkal lebih ke atas permukaan air itu juga tak bisa dikenali lagi diantara semak dan ranting kayu yang berserakkan di permukaan.

Kalau benar di seberang sana ada perangkap seperti dikatakan si Bungsu, maka Kapten Fabian harus mengakui bahwa cara penyeberangan yang kini dilakukan anak muda itu adalah cara yang sempurna. Dan kalaupun tak ada musuh seperti yang diduga itu, cara penyebrangan sebentar ini tetap saja merupkan tindakan hati-hati yang memang harus dilakukan.

Mereka menanti dengan hati berdebar penyebrangan itu. Sementara itu dalam air, si Bungsu menyeruak diantara rumpun-rumpun rumput. Dia harus bergerak perlahan sekali. Dan dia berharap agar hal yang sama juga dilakukan oleh kedua anggotanya di belakang. Kalau rumput-rumput itu bergerak dengan kuat, dan geraknya menuju ke pinggir, maka penjebak tentu akan segera curiga. Dan siapapun yang melihat pasti akan segera tahu bahwa didalam air ada penyelam yang sedang mendekat. Sebab mustahil ada kapal selam dalam rawa sedengkal begini.

Dan si Bungsu memang beruntung. Sebab baik Tongky maupun Donald yang berada di belakangnya memang bertindak hati-hati pula. Mereka nampaknya memang berasal dari pasukan yang disiplin. Ketiga mereka berenang dengan lambat.

Si Bungsu merasakan air makin dangkal. Tapi dia tetap tak mau muncul. Bahkan dia telah merayap ditanah, namun dia masih belum mau mengangkat kepalanya dari permukaan air. Barulah ketika air telah menimbulkan rambut dikepalanya dia mendongak perlahan. Sepi.

Dia masih tiarap dia air. Perlahan dia menoleh ke belakang. Dua meter dibelakangnya, dia lihat dua sosok bayangan mendekat. Persis seperti yang dia lakukan tadi, kedua orang itu juga tetap tak mau bangkit meski air telah amat dangkal.

Mereka merayap dalam sikap hati-hati sekali. Akhirnya ketiga orang itu berada sejajar berdekatan. Dingin menusuk kulit.

"Nah, Letnan, apa lagi kini?" Donald berbisik.

"Jalan menuju ke markas mereka ada dibelah kananmu Letnan…" Tongky menyambung bisik Donald. Si Bungsu mengangkat tangan. Memberi isyarat untuk tak berbisik. Dan tangannya masih bergoyang memberi isyarat ketika perlahan terdengar suara dari sebelah kiri, yaitu tak jauh dari tempat Tongky menelungkup.

"Nampaknya kita disuruh menunggu nyamuk disini…" suara itu jelas dalam aksen Tionghoa.

"Tenanglah. Tadi saya melihat sesuatu bergerak di seberang sana…" suara lain menyahut perlahan. Aksennya dalam nada Melayu.

"Ya, saya juga melihat ada yang bergerak. Barangkali ada orang menari striptis disana.heheh…hihi…huhu…." orang lain yang nampaknya juga sudah jengkel menanti ikut menyambung.

"Cibai! Kalian tak bisa diam?!" Cina yang lain bercarut dalam bahasanya. Dan tiga orang yang tadi menyumpah-nyumpah kesal itu pada terdiam. Nampaknya yang bercarut terakhir ini cukup berpengaruh diantara mereka.

Suasana kembali sepi. Si Bungsu, Tongky dan Donald masih tetap tiarap. Diam. Tongky dan Donald yang berbaring dilumpur berdekatan saling pandang. Dan seperti bersepakat, mereka menoleh pada si Bungsu. namun anak muda itu tengah menatap ke arah Cina yang bercarut terakhir. Cina itu nampak bersembunyi diatas dahan yang tingginya sekitar sedepa dari tanah. Terlindung oleh dedaunan yang lebat.

Tongky dan Donald diam-diam mengakui ketajaman firasat anak muda itu. Coba kalau tadi mereka menyeberang saja bersama. Tentu kini mereka telah jadi tapisan di drel oleh senapan orang-orang yang menanti mereka ini.

Si Bungsu masih menatap ke arah suara di atas dahan yang jaraknya sekitar dua puluh depa dari tempatnya. Dia lalu menoleh pada Tongky dan Donald. Memberi isyarat. Dengan gerakkan sehalus ular, kedua bekas anggota Baret Hijau ini merayap kearahnya. Dan ketika jarak mereka tinggal sejengkal kedua orang itu berhenti. Si Bungsu berbisik perlahan:

"Kita tak tahu dengan pasti berapa orang yang menanti kita disini. Yang kita dengar berbicara hanya empat. Tapi saya merasa yakin jumlahnya lebih dari itu. Barangkali sekitar sepuluh orang. Nah, tugas kita sekarang membuat jalan aman bagi teman-teman di seberang. Caranya hanya satu. Yaitu melenyapkan segala perangkap yang ada. Saya akan menyelesaikan Cina yang di pohon itu. Kalian pilih yang berdua yang bicara pertama tadi…" dan si Bungsu memberi beberapa penjelasan.

Lalu dalam posisi tengkurap di lumpur itu, ketiga mereka salaing bersalaman. Lalu Tongky dan Donald bergerak. Tongky nampaknya menuju ke arah Cina yang mula-mula bicara. Sementara Donald ke arah Melayu yang menyahut kedua. Si Bungsu mengagumi cara mereka merayap. Dalam lumpur dan timbunan dedaunan tebal begitu, kedua orang itu merayap benar-benar seperti ular. Tak bersuara. Artinya, suara desir yang mereka timbulkan hanya bisa ditangkap oleh telinga yang amat tajam. Berarti masih ada seorang lagi di bawah yang harus diselesaikan. Yaitu yang bicara penghabisan sebelum Cina yang diatas cabang itu bercarut menyuruh mereka diam.

Si Bungsu perlahan merangkak ke arah suara itu. Dalam jarak tiga depa, si Bungsu merasa berada di pasar. Orang itu membuat kegaduhan yang tak tanggung-tanggung dalam penantiannya. Dia menguap. Dan suara kuapnya sebenarnya cukup perlahan. Tapi ditelinga si Bungsu, suara kuap seperti itu sama seperti mendengar suara teriakkan. Kemudian orang itu beberapa kali menyumpah-nyumpah. Dari logatnya, si Bungsu segera tahu, orang ini adalah orang Keling.

Kini jaraknya hanya tinggal sedepa. Dan si Bungsu segera dapat mencium bau tubuh Keling itu.

Keling itu masih menyumpah-nyumpah karena muak menanti. Si Bungsu mengukur jarak. Jarak antara dirinya dengan orang Keling itu.

Orang itu berada agak diatasnya sekitar sehasta. Hanya karena kesal sajalah orang keling itu sampai tak melihat dirinya dalam jarak sedepa itu. Padahal orang itu menempati tempat yang strategis. Agak di atas tebing, si Bungsu hanya dilindungi oleh gelapnya malam, dan sedikit semak-semak.

Perlahan si Bungsu menoleh ke kiri. Dalam jarak empat depa, tegak pohon rimbun bercabang rendah. Dan di pohon itulah Cina yang bercarut tadi bersembunyi.

Kalau sekarang di menyerang Keling ini, apakah Cina di atas pohon itu takkan mengetahui? Dia mengangkat kepala sedikit. Antara tempat kaling itu berada dengan pohon si Cina ada pohon-pohon kecil. Tak dapat tidak, keling inilah yang harus diselesaikan dahulu. Dia merayap lagi. Dan nampaknya keling itu baru menyadari ada sesuatu yang tak beres disekitarnya.

Dia terdiam. Si Bungsu juga menghentikan gerakkannya. Orang itu menatap tajam ke depan. Ke arah air rawa. Dia ingin memastikan apakah sesuatu yang bergerak disana.

Tak ada apa-apa.

Air rawa itu tetap pekat dan gelap. Tetap tak ada riak apa-apa. Tapi ketika dia menukikkan pandangannya agak kebawah, yaitu ke tebing yang terletak persis di bawah batang hidungnya, dia meliat sesuatu tergeletak. Terjulur dari dalam semak-semak yang setengah depa di depannya. Hitam dan agak besar. Nampaknya seperti pohon kayu yang lapuk. Tapi, apakah tadi pohon kayu itu ada disitu?

Dia tak begitu yakin. Rasanya tidak. Atau salah mengingatkah dia? Masakan pohon itu begitu saja ada disana. Dia coba membuka matanya lebar-lebar. Berusaha menembus dinding gelap yang melingkup pinggir rawa itu.

Karena tak begitu yakin, dia lalu merangkak ke depan. Kepalanya dia julurkan, dan menatap. Lalu tiba-tiba di sadar bahwa itu bukan pohon, melainkan kaki manusia! Kaki yang lengkap dengan sepatu!

Kaget dan panik dalam waktu yang singkat melanda diri Keling itu. Dia menarik kepalanya dan mengangkat bedil. Namun segalanya terlambat sudah. Yang berada di depannya adalah si Bungsu. sesaat sebelum kepalanya ditarik, samurai anak muda itu berkelabat. Masih dalam keadaan tiarap, mata samurai itu membuat lingkaran ke udara. Dan kepala orang Keling itu putus

Kepalanya justru jatuh menimpa punggung si Bungsu. dan darah yang menyembur membasahi baju lorengnya! Tubuh keling yang tak berkepalanya itu menggelepar. Gelepar tubuhnya menimbulkan suara berisik di semak itu.

"Kani keni Pubo!! Kau tak bisa diam Keling jahanam?!" terdengar carut yang amat kasar dari mulut Cina diatas pohon itu.

Si Bungsu menanti dengan tegang. Dia tak mungkin bergerak dalam situasi bgitu. Posisinya berada dalam keadaan lemah. Cina itu bisa saja memuntahkan peluru kearahnya bila dia curiga.

Dia menanti diam. Tapi tubuh keling itu masih menggelepur. Persis seperti ayam yang disembelih.

"Kalau kau tak bisa diam, kurengkahkan kepalamu dengan pistol ini….!" Cina itu nampaknya marah benar.

Dan hanya kebetulan saja yang menolong si Bungsu. tubuh keling itu kehabisan darah. Darahnya telah menyembur seperti air tumpah dari drom lewat lehernya yang putus. Dan kini tubuh yang kehabisan darah itu terdiam.

"Kalau kau tak bisa menanti, lebih baik kau pulang saja ke markas…." Suara Cina itu terdengar lagi perlahan.

Mayat keling itu diam. Tak menyahut. Ya, apa pula yang akan disahuti oleh sesosok mayat yang tak berkepala?

Si Bungsu merasa muak oleh darah yang membasahi pakaian dan punggungnya. Dia ingin bergulingan masuk ke air rawa. Tapi itu adalah hal yang mustahil. Kalau akan masuk rawa, dia harus merangkak lagi enam depa ke kanan. Yaitu ketempatnya mula-mula muncul tadi. Sebab disanalah medannya yang penuh semak. Sementara dibawahnya ini, yaitu di depan sei Keling ini mengintip, sampai ke daerah Cina di atas pohon itu, tebing rawanya licin, tak berumput. Dan setiap benda yang bergerak akan mudah kelihatan.

Dan untuk surut ke belakang akan membuang waktu panjang. Kapten Fabian dengan pasukannya di seberang sana pasti tak sabar lagi menanti. Maka tak ada jalan lain baginya, selain membiarkan punggungnya berlumur darah, dan kini dia merayap ke atas. Bergulingan dan hop! Kini dia berada pada posisi si Keling tadi. Tubuh keling itu terbaring menelentang. Dan si Bungsu berbaring disisinya.

Pada saat Cina tadi menyuruh Keling yang telah mati itu untuk diam, Donald dan Tongky pada saat yang hampir bersamaan terhenti. Mereka sebenarnya siap menyekap musuh mereka dari belakang. Tapi mendengar Cina itu memerintah si Keling, kedua lelaki yang akan mereka sekap itu berpaling. Sebenarnya kedua orang itu berpaling ke arah tempat si Keling. Yaitu di dua belas depa dari lelaki yang akan disekap Tongky dan delapan depa dari lelaki yang akan disekap Donald. Kedua orang itu juga mendengar suara semak-semak terkuak akibat gesekan tubuh si Keling.

Ke arah itulah mereka berpaling. Meskipun mereka tak dapat melihat karena gelapnya malam, namun mereka menoleh juga. Dan malangnya baik Donald maupun Tongky berada di arah yang toleh kedua orang itu.