Tak ada yang bertanya. Bekas anak buahnya semua pada menatap diam. Mereka seperti mesin-mesin yang siap bergerak bila kenopnya ditekan.
"Jika tak ada yang bertanya, kita bersiap…"
Dan segera saja ruangan itu berisik. Semua anak buah Kapten Fabian kelihatan menukar pakaian, termasuk juga Kapten itu sendiri.
"Bungsu, hari ini engkau kami terima menjadi pasukan Baret Hijau. Hanya orang-orang dengan kemahiran istimewa dapat menjadi anggota pasukan kami. Kami memang telah berhenti dari pasukan itu. Tapi kebanggaan korp tetap kami pegang. Nah, pakailah pakaian dan baret ini. Engkau layak memakainya, karena kemahiranmu bersamurai dan melempar pisau melebihi anggota Baret Hijau manapun jua!"
Kapten itu memberikan sebuah ransel berisi pakaian pasukan komando pada si Bungsu. Si Bungsu kaget. Dia menatap pada Kapten itu. Kemudian pada tujuh anggotanya. Dan semua bekas anggota Green Barrets dari Inggris Raya itu dengan pakaian lengkap mereka yang loreng-loreng, tegak dengan diam. Menatap padanya. Bulu tengkuk si Bungsu merinding menerima penghargaan ini. Perlahan dia terima ransel itu.
"Saya, saya tak tahu harus mengatakan apa atas penghargaan tuan-tuan. Saya harap kemampuan saya yang seujung kuku itu, takkan menjatuhkan nama besar pasukan Baret Hijau yang kesohor itu…' dia berkata perlahan. Semua anggota pasukan Kapten Fabian masih tetap tegak dengan diam.
Si Bungsu membuka bajunya. Memakai pakaian tersebut. Ternyata pakaian itu adalah pakaian bekas. Meski masih baru, tapi dia tahu, pakaian yang dia pakai ini adalah milik seseorang.
Kapten Fabian mengulurkan tangan. Menjabat tangannya dengan hangat.
"Bungsu. pakaian yang engkau pakai adalah pakaian Letnan Robert yang terbunuh di jalan raya ketika kita bersama tiga hari yang lalu. Ternyata ukuran tubuh kalian sama besar. Pakaian ini sengaja kami berikan padamu, demikian juga pangkatnya. Engkau sekarang adalah seorang Letnan Baret Hijau Kerajaan Inggris, Bungsu. atau tepatnya, engkau adalah anggota Komandan Baret Hijau. Oleh karena kami sudah tak lagi dalam pasukan itu, maka kami sama-sama pencinta pasukan itu. Nah, selamatlah…'
Dan ketujuh anggota bekas Pasukan Baret Hijau di perang dunia ke dua itu memberi salam pada si Bungsu. Demi Muhammad dan Malaikat, si Bungsu tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dia menjadi anggota dari suatu pasukan yang kesohor dalam perang dunia ke II. Ah, alangkah mustahilnya. Namun begitulah sejarah berkehendak.
Mereka segera mempersiapkan senjata. Dan sersan Donald yang tadi siang mengajarinya mempergunakan Tomygun, segera memberikan senjata otomatis itu padanya. Si Bungsu memegang bedil itu. Menatapnya beberapa menit.
"Maaf, saya tak pernah mempergunakan mainan ini. Apakah dalam pasukan Green Barets ada kekecualian. Maksud saya apakah boleh memakai samurai saja?"
Kedelapan anggota bekas pasukan baret hijau itu saling pandang mendengar ucapan si Bungsu. dan akhirnya mereka sama-sama tertawa. Si Bungsu juga ikut-ikut tertawa.
"Boleh" jawab Kapten Fabian. "Pasukan ini pasukan istimewa. Karenanya angggotanya juga mendapat perlakuan istimewa. Anda boleh memakai samurai…" si Bungsu merasa lega.
Dia memberikan kembali senjata otomatis itu pada Donald. Nah, kini semuanya siap berpakaian dan memiliki perlengkapan yang utuh.
Aba-aba bersiap terdengar dari mulut Kapten Fabian. Semua anggota pasukan itu, termasuk si Bungsu, tegak dengan tegap ditempat masing-masing. Menatap pada Kapten tersebut.
Sebuah pasukan komando di tepi Kota Singapura. Lengkap dengan peralatan perangnya.
Sejarah seperti ditarik kembali menikam jejak yang telah dia lalui. Ada yang aneh terasa oleh si Bungsu. kenapa pasukan ini masih menyimpan perlengkapan mereka. Padahal mereka telah berhenti dari pasukan itu setelah perang dunia ke II usai. Mereka telah bertempur di daratan eropah melawan pasukan Hitler. Terakhir mereka berada di Vietnam dan Indocina melawan pasukan Jepang. Kenapa kini mereka seperti membentuk suatu regu tersendiri?Pertanyaan itu menyelusup dipikiran si Bungsu. namun dia merasa kurang tepat waktunya sekarang untuk bertanya. Sementara itu Kapten Fabian memberikan komando terakhir.
"Saudara, Ada dua hal kenapa kita menghadang perang malam ini. Pertama karena membalas kematian Letnan Robert. Kedua karena membantu saudara Bungsu untuk menumpas perdagangan wanita. Kedua tugas ini sama pentingnya. Perdagangan wanita sama artinya dengan menghidupkan kembali perbudakan. Wanita-wanita yang dijual itu malah jauh lebih hina ketimbang seorang budak. Dan hal ini harus kita cegah.
Amerika telah mengorbankan ratusan ribu nyawa putra-putranya dalam perang saudara demi menghapus perbudakan.
Pasukan baret hijau ini, dan pasukan sekutu lainnya, termasuk bangsa Indonesia telah mengorbankan jutaan nyawa untuk menghapus penjajahan dipermukaan bumi. Penjajahan adalah bentuk lain yang lebih kejam daripada perbudakan. Itulah sebabnya hari ini kita kembali berpakaian Baret Hijau ini.
Kepada anda, Bungsu, karena anda telah menjadi anggota kami, dapat saya sampaikan, bahwa bekas pasukan baret hijau ini, yang kini berkumpul disini adalah juga sebuah sindikat!"
Kapten itu berhenti sejenak.
"Maksud saya" sambungnya, "kami berhenti dari pasukan baret hijau karena memang tak mau lagi berperang. Banyak perwira-perwira dan orang-orang sipil yang mempergunakan kesempatan perang untuk memperkaya diri mereka.
Bayangkan, ketika kami bertempur di garis depan, meninggalkan anak isteri menghadang maut, saat itu pula orang-orang sipil mengeruk kekayaan. Mereka menjerit minta tolong pada tentara dikala musuh datang. Tapi begitu negeri aman, mereka menjadi orang-orang sombong dan pongah.
Kami punya daftar perwira-perwira yang korup. Yang mempergunakan pangkatnya untuk memerintah anak buahnya guna kepentingan diri mereka. Merampas harta rakyat. Kami juga punya daftar pejabat-pejabat sipil atau orang swasta yang bekerja sama dengan pihak musuh sekutu, yang juga menghimpun kekayaan untuk pribadi mereka.
Karena kami tergabung dalam tentara Sekutu, maka kami punya daftar lengkap tentang penghianat dan koruptor ini diberbagai negara anggota Sekutu. Mulai dari Amerika sampai ke Inggris dan negara-negara eropah.
Nah, kami akan menumpasnya. Kami juga bertekad menumpas bandit-bandit di negeri Sekutu itu. Kami tidak lagi orang pemerintah. Kami sekarang menjadi semacam pasukan gelap. Kami akan muncul disaat perlu. Dan bila tidak beroperasi, kami akan kembali menjadi orang-orang sipil biasa. Engkau boleh memilih Bungsu. apakah ingin ikut dengan kami untuk seterusnya, atau akan mengundurkan diri setelah ini.
Nah, saya rasa cukup sekian. Barangkali engkau heran kenapa kami memakai seragam ini. Padahal kami sudah pensiun dari pasukan Baret Hijau. Kiranya penjelasan saya tadi dapat menjawab keherananmu itu.."
Si Bungsu menarik nafas. Semua anggota pasukan itu kemudian memberi hormat pada Kapten Fabian. Lalu mereka keluar rumah. Jumlah mereka kini sembilan orang. Sembilan orang yang memilki ketangguhan luar biasa. Sembilan manusia yang barangkali sanggup melumpuhkan sebuah kota yang dipertahankan pasukan lengkap.
Jeep yang dipakai untuk "menangkap" si Bungsu tadi sudah menanti. Mereka berlompatan ke atas. Sersan Donald yang mengajar si Bungsu mempergunakan Tomygun siang tadi bertindak sebagai sopir. Disampingnya duduk Kapten Fabian. Dibelakang duduk si Bungsu dan enam orang temannya yang lain.
Mobil itu bergerak. Si Bungsu seperti berangkat menuju medan perang dunia. Dalam cahaya lampu jalan yang mereka lintasi tiap sebentar, si Bungsu menatapi temannya dalam Jeep itu satu persatu.
Miguel yang orang Spanyol, ahli meteorolgi. Sony, orang Inggris yang ahli alat peledak, Tongky, Negro Amerika ahli menyamar dan menyelusup ke daerah musuh. Licin bagai belut. Fred Williamson, orang Scotlandia yang ahli karate, Jhonson, berpangkat kopral berasal dari Inggris selatan, ahli renang dan berkelahi dalam air.
Di depan duduk sersan Donald yang ahli dalam soal-soal bedil dan mesiu. Kini dia pegang kemudi Jeep. Kemudian Kapten Fabian, orang Australia yang tak dia ketahui apa keahlian spesifiknya.
Tapi melihat keseganan anak buahnya, melihat wibawanya jelas dia punya banyak kelebihan. Jeep bekas perang dunia ke II itu meluncur dalam gelapnya malam. Barangkali memang persis sepuluh menit seperti perkiraan Kapten Fabian tadi. Mobil itu berhenti mendadak.
Tanpa menimbulkan suara mereka berlompatan turun. Jeep itu kemudian dibelokkan ke dalam semak-semak sepuluh meter dari jalan.
Didahului oleh Tongky yang negro itu, mereka mulai berjalan. Selang lima menit, mereka sampai di pinggir sebuah sungai. Nampaknya mereka berada di daerah muara. Sebab sungai itu kelihatan amat lebar. Dan di Selatan sana kelihatan muara samar-samar menganga memuntahkan air sungai ke laut lepas.
Mereka berada di sungai Jurong. Sungai yang tadi dikatakan oleh Kapten Fabian dalam penjelasannya. Sebuah perahu karet yang cukup besar segera ditarik bersama ke air. Mereka lalu naik. Dan masih belum sepatahpun ucapan yang keluar sejak mereka berangkat dari markas tadi.
Enam orang kecuali Kapten Fabian, si Bungsu dan Tongky, segera mendayung sampan karet tersebut ke Muara. Ketika tiba di mulut muara, Tongky dan Donald mengangkat sebatang aluminium sebesar lengan. Aluminium itu terlipat-lipat. Ketika dibuka dan disambungkan lagi dengan beberapa baut, aluminium yang semula hanya sepanjang dua meter itu berobah menjadi tiang layar setinggi empat meter.
Dengan kerjasama yang cepat dan masih tanpa suara, layar yang nampaknya dibuat dari kain parasut pasukan komando itu dipasang. Miguel si Spanyol yang ahli meteorologi itu memang tak omong kosong ketika mengatakan bahwa malam ini angin akan berhembus dari utara.
Tak lama setelah layar terkembang, angin bagaikan dipanggil saja. Layar yang terbuat dari kain parasut tipis berwarna merah darah itu segera saja menggelembung. Dan sampan karet itu tiba-tiba seperti disentakkan. Meluncur dengan kecepatan tinggi menuju pulau Pesek yang kelihatan sayup sayup dalam cahaya laut.
"Jam berapa sekarang..?"
Itu kalimat pertama. Dan diucapkan oleh Miguel. Kapten Fabian membuka tutup jam tanganya yang terbuat dari kulit hitam. Dalam gelap kelihatan angka-angkanya bersinar kebiru-biruan seperti kunang-kunang.
"Jam sebelas…" katanya.
Miguel mengangkat tangannya tinggi keatas. Lalu hidungnya diarahkan ke utara. Ke arah datangnya angin. Dia seperti mencium sesuatu.
"Angin akan berobah. Kita akan dibawa ke Timur. Kepulau Marlimau. Dan hujan segera turun.."
"Hujan..?" tanya Kapten Fabian.
"Ya. Tapi yang berbahaya adalah perputaran angin. Daerah ini adalah selat dangkal. Terletak antara dua pulau. Angin tak begitu bebas. Pukulan angin bisa berobah karena terbentur hutan dan pulau-pulau di depan sana. Lebih baik layar diturunkan sebelum terlambat…"
Tak ada yang membantah. Layar segera diturunkan. Si Bungsu jadi heran. Padahal angin masih bertiup dari arah buritan dengan kencang. Tak ada tanda-tanda akan berobah. Tak pula dia lihat akan datangnya hujan. Langit memang gelap. Tapi tak ada guruh, tak ada kilat. Hujan lebat darimana yang akan datang?Namun dia tak usah menanti lama. Ketika layar baru saja selesai dilipat, ada suara seperti bertepuk. Dan angin tiba-tiba menampar dari rusuk kiri. Lalu berpiuh. Menampar dari rusuk kanan.
"Rapatkan tubuh ke perahu…!" terdengar perintah Kapten Fabian. Semua mereka menunduk dalam-dalam. Si Bungsu dalam tunduknya itu melayangkan pandangan pada Miguel yang duduk di kanannya.
"Kau memang hebat sobat. Ramalanmu tentang angin yang berkisar dapat ponten sembilan. Tapi tentang hujan? Saya berani bertaruh. Kalau hujan tak…." Kalimat itu tak pernah ia ucapkan.
Dia hanya bicara dalam hatinya saja. Tapi pembicaraan dalam hati itupun tak sampai keujungnya. Sebab ketika otaknya selesai mengucapkan kata "Bertaruh", hujan tiba-tiba saja seperti dicurahkan dari langit. Seperti ada gergasi[1] di atas kepala mereka yang menunggangkan air ratusan drom sekedar untuk membuktikan ucapan Miguel yang orang Spanyol itu.
Si Bungsu tak berani menatap pada Miguel. Hanya diam-diam hatinya bicara: memang hebatlah waang, kawan…!
Begitu hujan turun dengan lebatnya, Kapten Fabian memerintahkan untuk mendayung. Meski angin bersiut kencang, tapi tak berpiuh seperti tadi. Dan kini mereka berkayuh melawan ombak dan hujan yang rasanya sebesar-besar tinju menerpa wajah.
Diam-diam si Bungsu melirik lagi pada Miguel si Spanyol yang katanya ahli meteorologi itu tidak memakai alat selain daripada intuisinya tentang alam yang amat peka. Ahli meteorologi membutuhkan peralatan untuk mengetahui perobahan cuaca. Tapi si Spanyol ini mengetahuinya lewat inderanya.
Si Bungsu teringat lagi peristiwa sebentar ini. Yaitu saat angin utara berhembus meluncurkan sampan layar itu dengan kencang ke arah pulau Pesek. Saat itu Miguel berkata bahwa angin segera akan merobah arah. Dan dia meminta layar agar digulung. Begitu layar digulung, angin memang berobah. Berpiuh-piuh dengan kencang dan tak menentu. Kalau saja layar masih terkembang, tak pelak lagi, sampan karet ini akan terbalik oleh piuhan angin selat pulau Pesek itu.
Kini si Miguel itu tengah berdayung, tanpa mengetahui bahwa si Bungsu sejak tadi mencuri pandang menatapnya.
Dan sampan itu melaju terus. Membelah gelombang. Membelah malam berhujan lebat. Hampir tiga jam mereka berkayuh ketika akhirnya mereka mendekati pulau Pesek di selatan Singapura itu. Hutan-hutan bakau yang basah menyambut mereka. Mereka harus menunduk dalam-dalam ketika lewat dibawah dahan-dahan bakau tersebut.
Seorang terdengar turun. Kemudian berjalan bergegas mengarungi air setinggi pinggang dan kaki yang terbenam dalam lumpur setinggi lutut. Orang itu tak dikenal oleh si Bungsu karena gelapnya malam. Makin lama suara langkahnya dalam air makin menjauh. Akhirnya lenyap. Tak ada yang bersuara.
Si Bungsu masih terheran-heran. Kemana orang itu? Dan kenapa tak seorangpun yang peduli? Dia tak sempat berpikir jauh. Orang-orang disekitarnya terdengar turun. Sampan karet itu kini tak dapat lagi dikayuh. Mereka harus mengarungi air setinggi betis untuk mencapai daratan.
Tak ada senter. Tak ada korek api yang dinyalakan. Segala sesuatu dilakukan menurut firasat dan petunjuk alam yang amat samar-samar. Untung saja hujan tak lagi lebat. Si Bungsu juga turun dan ikut menyeret sampan itu hingga mencapai bibir pulau.
Tiba-tiba ada getar aneh ditengkuknya. Hm, si Bungsu kini berada dirimba belantara sebuah pulau. Dan dalam rimba dia seperti berada dalam rumah orang tuanya. Ah, sejak meninggalkan gunung Sago di Payakumbuh dahulu, baru kali ini dia berada dalam hutan liar. Dia seperti kembali kerumahnya.
Betapa tidak, bukankah bertahun dia hidup di belantara kaki Gunung Sago yang tak kenal persahabatan itu?Dan setiap dia berada dibelantara itu. Dan dia kenal setiap gerak gerik dan setiap perangai isi rimba tersebut.
Mereka menyeret sampan itu makin dekat ke bibir pulau dibawah batang bakau. Firasat aneh itu makin mengencangkan pembuluh darah si Bungsu.
Hutan bakau berakhir. Kini mereka mengarungi semak yang terendam di air setinggi satu kaki. Saat itulah si Bungsu yang tadi berjalan di belakang segera berjalan ke depan. Dia melintasi Donald si ahli senapan. Melintasi Miguel yang ahli metrologi. Melintasi Kapten Fabian.
Karena hutan bakau telah diganti oleh belukar yang tak begitu tinggi, cuaca agak terang ketimbang dibawah pohon bakau yang gelap itu. Mereka akan melewati sebuah pohon. Dan sedepa dari pohon itu sebuah dahan sebesar betis kaki seperti melenting kearah mereka.
"Awas…!" Kapten Fabian sempat menangkap bayangan itu. Semua anak buahnya merunduk dalam. Namun yang paling depan, ya itu si Bungsu tetap tegak.
Inilah firasat tak sedapnya itu. Batang kayu sebesar betis yang melenting kearah mereka itu. Di ujung cabang kayu itu ada dua titik cahaya merah. Dan sebelum batang itu mencapai mereka, terlebih dahulu tercium bau anyir disertai desis melinukan hati.
Seekor ular rawa berwarna merah berbelang kuning yang amat berbisa! Dan yang dituju kepala ular itu adalah manusia yang tegak di depan sekali. Dia adalah si Bungsu!
_____
[1] gergasi = raksasa