Singapura!
Kota ini berkembang dengan cepat. Dari sebuah pulau yang selama ini lebih banyak sebagai tempat persinggahan kaum pedagang atau tempat pelarian penjahat-penjahat, tiba-tiba muncul sebagai sebuah kota yang paling penting setelah Kuala Lumpur di semenanjung Malaya.
Tapi pulau yang tiba-tiba berobah jadi kota besar ini juga menjadi sarang kegiatan spionase. Disana juga secara diam-diam atau terang-terangan berlangsung kegiatan politik untuk berbagai negara. Baik negara-negara eropah, terutama Inggris, Perancis, Belanda, Portugis dan Spanyol yang memiliki tanah jajahan di lautan pasifik dan lautan hindia. Juga terytama kegiatan-kegiatan politik untuk kepentingan negara-negara Asia yang baru dan akan merdeka. Negara-negara Asia yang pernah dijamah kekejaman balatentara Jepang mengurus kepentingan pampasan perang di Singapura ini.
Berbagai jenis manusia makin hari makin memenuhi kota di pulau kecil tersebut. Dan diantara berseliwerannya manusia-manusia, pencopet dan penodong juga ikut beraksi.
Berbeda dengan Jepang dimana para penjahatnya terorganisir rapi dalam berbagai kelompok seperti Jakuza, Kumagaigumi, atau yang kecil-kecil seperti kelompok Shiba, maka di kota singa ini para penjahat, pencopet, penodong dan pemeras beroperasi sendiri-sendiri.
Karena negeri ini negeri baru, maka organisasi apapun nampaknya belum sempat membenahi diri. Kalaupun ada yang teroganisir, maka itu hanyalah sindikat-sindikat penyelundup. Mulai dari penyelundup emas, timah, kayu bakau sampai pada kopra, karet dan bedil.
**000**
Hari itu sangat panas. Tengah hari terik. Seorang anak muda kelihatan keluar bersama puluhan kaum muslim lainnya dari sembahyang Lohor di Mesjid Sultan tak jauh dari Arab street.
Dia tak lain daripada Si Bungsu. masih ingat padanya bukan? Dahulu dia diantar oleh Kenji, Hanako dan suaminya serta Tokugawa ke lapangan terbang Haneda. Dia akan pulang ke Indonesia. Karena waktu itu tak ada hubungan antara Indonesia dan Jepang, maka setiap orang yang akan atau kembali ke Indonesia dari Jepang, harus mempergunakan Singapura sebagai pelabuhan transit.
Nah, nampaknya dia belum kembali ke Indonesia. Siang itu, sehabis sembahyang lohor di Mesjid Sultan itu, dia menuju ke sebuah kedai nasi Padang yang tak jauh dari mesjid tersebut.
Kedai nasi itu terletak persis di pinggir jalan. Sebuah tenda dibentangkan sebagai atap. Sebuah meja besar terletak di bawahnya. Di meja besar itu lah terletak panci-panci bersisi nasi, gulai, goreng ikan, goreng ayam, sambal lado sampai rebus daun ubi. Sesekali kelihatan petai mentah dan gulai jengkol. Pokoknya spesifik makanan orang Padang lah. Dan warung ini kabarnya milik orang Kapau. Sebuah desa kecil di luar Bukittinggi. Untuk menanak nasi mereka mempergunakan kompor pompa. Dan warung mereka ramai terus. Mulai dari pagi buta sampai malam hari. Tapi warung itu segera tutup sebelum jam 9 malam. Soalnya nasi berikut lauk pauknya sudah keburu habis.
Nah, kesanalah si Bungsu pergi. Dia terpaksa menanti beberapa saat. Warung dengan jumlah kursi sepuluh buah itu sudah penuh sesak. Bersamanya ikut menanti beberapa lelaki lainnya. Yang makan disini bukan hanya orang Padang saja. Tapi juga orang-orang Batak, Cina dan Jawa. Itu karena dari omong mereka ketika makan.
Waktu si Bungsu tegak menanti itulah, di ujung jalan sebuah sedan kelihatan berhenti. Dari dalamnya turun seorang lelaki berpakaian cukup parlente. Lelaki itu melangkah juga ke arah warung Padang itu. Si Bungsu yang pertama melihat lelaki itu. Dia jadi kaget. Lelaki itu juga menatapnya. Tapi tak begitu acuh. Nampaknya mereka seperti tak mengenal satu dengan yang lain.
Namun si Bungsu mana bisa melupakan orang itu. Hanya dia tak yakin, apakah benar ini orangnya? Karena merasa ditatap terus menerus, lelaki yang baru turun dari sedan itu kembali menatap pada si Bungsu. mereka saling pandang sejenak.
Dan tiba-tiba:
"Ya Tuhan, engkau Bungsu!" lelaki gagah itu seperti bicara buat dirinya sendiri.
"Nurdin….!" Kata si Bungsu tak kalah kagetnya. Dan hanya beberapa detik setelah itu, mereka bersalaman dan berpeluk.
"Hai si Bungsu! apa yang membawamu kemari. Apa engkau sudah bertemu dengan Jepang yang membunuh keluargamu…..?" lelaki itu bertanya.si Bungsu tentu saja tak menjawab.
Beberapa lelaki dan perempuan yang duduk makan, menatap pada mereka. Ada yang mengerutkan kening. Yang datang dari Padang serasa pernah mendengar nama si Bungsu itu dahulu.
Akhirnya mereka duduk di kedai itu. Memesan nasi, dan makan dengan lahap. Mereka sengaja mengundurkan pembicaraan karena di sana banyak orang. Selesai makan, Nurdin membayar rekeningnya, lalu mereka naik ke sedan Nurdin yang menanti di ujung jalan. Seorang sopir juga orang Indonesia menjalankan mobil itu.
"Nah, sekarang kau cerita Bungsu, kenapa sampai nyangkut di kota ini…?" Nurdin bicara ketika mobil mulai berjalan.
Si Bungsu menatap temannya ini. Keadaannya sudah jauh berobah. Nurdin yang dahulu seorang Kapten TKR di Pekanbaru, yang bertubuh kurus kini kelihatan gagah berpakaian necis dengan dasi segala.
"Sudah lama sekali kita tak jumpa…." Kata si Bungsu.
"Ya. Sudah lama sekali…"
"Apa kabar Buluh Cina?"
"Masih tetap seperti dahulu. Batang Kampar masih berwarna kuning. Kanak-kanak masih mengayuh sampan mencari ikan. Penduduk masih menabang rimba untuk dijadikan ladang. Tahun depan jika sudah panen, ladang itu mereka tinggalkan untuk mencari hutan lain. Ditebas, dibakar dan dijadikan ladang pula…. Ah, saya juga sudah rindu pada Buluh Cina Bungsu…"
"Pak Bilal masih hidup?"
"Masih. Oh ya, masih ingat Nuri?"
Si Bungsu berdebar. Bagaimana dia takkan ingat gadis cantik ditepian sungai Kampar itu? Bukankah dia yang merawatnya ketika sakit di Buluh Cina dahulu?
"Ya, saya masih ingat. Apakah dia ada sehat-sehat?"
"Tiga tahun yang lalu, yaitu ketika saya akan meninggalkan Pekanbaru, dia menikah dengan seorang pedagang dari Teluk Petai Bungsu, saya tahu, dan semua penduduk kampung tahu, bahwa Nuri mencintaimu. Tapi….engkau entah dimana. Ada dia nanti kabar berita darimu.
Setahun dua. Tapi kampung itu terlalu miskin. Seorang gadis betapapun dia mencintai seorang pemuda, namun dia harus lebih mencintai keluarganya. Keluarganya butuh makan. Dan itulah yang dilakukan oleh Nuri. Dia ingin mengabdi pada keluarganya yang miskin. Dia menerima lamaran seorang pedagang dari kampung Teluk Petai. Bukan karena dia mata duitan, tapi semata-mata demi keluarganya. Engkau dapat mengerti Bungsu….?"
Si Bungsu tertunduk. Tak menjawab. Hatinya amat terharu mendengar cerita Nurdin.
"Saya mengerti…Nurdin. Saya bangga pada gadis itu. Dia gadis yang berhati mulia. Saya ingin Tuhan melimpahkan kebahagiaan padanya…." Suara si Bungsu terdengar bergetar.
Nurdin diam, si Bungsu juga diam. Sedan itu meluncur diantara ratusan mobil yang berseliweran di kota Singa itu. Lama mereka terdiam.
Ketika akhirnya sedan itu berhenti di sebuah taman di pinggir laut. Nurdin membawa si Bungsu duduk dikursi batu yang terdapat di bawah pohon-pohon. Si Bungsu menceritakan secara ringkas tentang pertemuaannya dengan musuh besarnya, Saburo Matsuyama. Dia juga menceritakan tentang Obosan yang bunuh diri itu. Tapi dia tak menceritakan tentang anaknya yang bernama Michiko. Yang menaruh dendam dan ingin menuntut balas padanya. Karena itu dia anggap tak perlu amat buat diceritakan pada orang lain.
"Nah, engkau sudah tahu kisahku Nurdin. Kini, giliranmu. Sejak bila engkau berada di kota ini?"
"Saya bertugas disini…"
"Bertugas?"
"Ya. Pemerintah kita telah membuka Konsultan disini. Saya ditugaskan sebagai salah seorang atase militer. Mengurus kepentingan-kepentingan untuk negeri kita…..Nah, sudah tiba saatnya kita kerumahku. Hei, engkau dimana tinggal Bungsu?"
"Saya tinggal bersama seorang teman. Nanti lah saya kerumahmu Nurdin. Saya tak mau menyibukkanmu…"
"Ah tidak. Engkau harus kerumahku. Kita pergi mengambil pakaianmu. Engkau harus pindah ke rumahku Bungsu. Jangan menolak. Kecuali kalau engkau tak menganggap aku sebagai saudaramu lagi…"
Si Bungsu memandang terharu pada temannya itu. Akhirnya dia terpaksa menyerah. Mereka mengambil barang-barangnya dari sebuah rumah di jalan Arab. Kemudian mereka menuju ke rumah dinas yang ditempati Nurdin yang kini berpangkat Letnan Kolonel.
Mobil itu memasuki sebuah halaman rumput yang luas di pinggir jalan Bras Basah yang teduh oleh pohon-pohon. Sebuah rumah terletak persis di tengah sebuah lapangan rumput itu. Berwarna putih dengan atap dari kayu sirap berwarna coklat tua.
"Nah, itu isteri saya. Dia akan senang mengenalmu Bungsu. dia juga orang Minang…" Nurdin menunjuk ke pintu rumah ketika mobil berbelok ke sana.
Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai hingga bahu tegak di depan pintu dengan baju kembang berwarna biru. Mobil itu berhenti tak jauh dari nyonya rumah tersebut tegak. Si Bungsu turun mengikuti Nurdin.
"Bawa koper dibelakang ke rumah Madin…".Nurdin berkata pada sopirnya.
"Nah, Bungsu kenalkan ini isteriku. Bu, ini teman seperjuangan saya ketika di Pekanbaru. Dia juga dari Minangkabau…."
Si Bungsu mengangguk hormat pada wanita cantik itu. Lalu mengulurkan tangan. Perempuan itu tersenyum dan juga mengulurkan tangan.
"Ke kamar tamu yang ditengah pak…?" suara Madin si sopir itu mengalihkan perhatian Nurdin dari isterinya dan si Bungsu.
"Ya. Kekamar tamu yang besar…" kata Nurdin sambil berjalan menutupkan bagasi di belakang mobil.
Dan untunglah dia melakukan gerakan itu. Sebab pada saat yang sama si Bungsu tertegak seperti patung menatap isteri temannya yang tegak di depannya itu. Dia seperti bermimpi. Wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Menatap dengan tatapan tak percaya pada wanita cantik di depannya. Dan wanita cantik itu, isteri Letnan Kolonel Nurdin itu, yang kata Nurdin juga berasal dari Minangkabau itu, tak kalah kagetnya dari si Bungsu. Wanita itu justru merasakan darahnya terhenti mengalir. Merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan mereka masih sama-sama terulur. Namun tak bersentuhan.
"Salma….?" Suara si Bungsu mirip desahan.
"Uda…." Suara nyonya cantik itu, terdengar seperti dari alam mimpi.