Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 82 - Saya Akan Ikut Campur Bila Anak Buahmu Ikut Campur

Chapter 82 - Saya Akan Ikut Campur Bila Anak Buahmu Ikut Campur

Akibatnya bukan main. Tidak saja sabetan samurai si kurus itu luput dari batang lehernya, bahkan si kurus itu sendiri tertikam oleh samurainya hingga separoh lebih! Si Kurus itu tertahan seperti disentakkan tenaga raksasa. Tangannya masih memegang samurai. Dan tiba-tiba sambil bergerak bangkit, si Bungsu menarik samurainya. Dan saat itulah si kurus ini mengeluh. Lalu terputar setengah lingkaran. Jatuh tertelungkup. Diam. Mati!

Dan kesembilan temannya, termasuk Zendo dari kuil Kofukuji di kota Nara itu, pada tertegak diam. Zato Ichi tak mendengar dengus nafas mereka sebab tak seorangpun diantara mereka yang tak menahan nafas melihat adegan yang alangkah fantastisnya itu.

Dan kini anak muda itu tegak dengan tenang. Dengan tenang dia menghapus darah yang membasahi samurainya dengan telapak tangan. Kemudian dengan tenang pula dia menyarungkan samurai itu kembali. Lalu menatap pada Zendo.

"Sungguh suatu demonstrasi yang mengagumkan…." Suara Zendo bergema perlahan.

Dan dari nada suaranya, dia tak hanya sekedar memuji. Tapi ucapannya memang jujur. Tapi dalam nada ucapannya itu juga dapat segera diketahui, bahwa dia tak merasa gentar sedikitpun akan kecepatan dan kehebatan anak muda itu!

Zendo justru memberi isyarat pada dua orang anggotanya. Kedua anggota yang diberi isyarat itu bergerak! Mereka bergerak amat cepat. Menyerang ke arah Zato Ichi! Namun si Bungsu sudah menanti disana! Dua buah serangan beruntun berhasil dia gagalkan dengan samurainya.

"Tahan!!" hampir berbarengan terdengar suara Zato Ichi dan Zendo. Kedua anak buah Zendo segera bergerak mundur. Zendo maju dua langkah. Di saat yang bersamaan, Zato Ichi tegak dari duduknya.

"Anak muda" Zendo berkata, " sudah saya katakan bahwa saya tak pernah ikut campur urusanmu. Kini engkau nyata-nyata mencampuri urusan saya. Maka apa boleh buat, saya akan menghadapimu…"

Sebelum si Bungsu dapat menjawab tantangan itu, suara Zato Ichi terdengar pula :

"Kenapa harus melibatkan orang lain dalam urusan kita? Engkau berurusan denganku Zendo-san. Dan aku akan menghadapimu"

Bukan main terkejutnya si Bungsu mendengar ucapan Zato Ichi ini. Dia tahu benar, bahwa tubuh pahlawan samurai ini masih sangat lemah. Tak mungkin dia mampu berhadapan dengan Zendo dan anak buahnya. Dia berniat memprotes putusan itu. Tapi Zato Ichi nampak mengangkat tangan. Memberi isyarat padanya untu menepi.

"Ini urusanku anak muda. Menyingkirlah…." Suara tuanya terdengar perlahan. Dan si Bungsu tahu, bahwa ini soal harga diri bagi Zato Ichi. Makanya dia tak berani menyanggah.

Namun meski tak bisa ikut campur dalam urusan Zendo dan Zato Ichi, anak muda ini masih punya cara lain untuk menolong Zato Ichi. Dia tak ingin perkelahian berlaku curang. Menghadapi Zendo saja Zato Ichi pasti kewalahan. Bukan karena kepandaiannya, tapi karena tubuhnya yang lemah. Karena itu anak muda dari gunung Sago ini lalu bicara:

"Baik, saya takkan ikut campur urusan kalian. Tapi tak seorangpun selain tuan Zendo yang boleh ikut campur. Jika ada, maka saya akan ikut serta pula…"

Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia sangat terharu atas sikap anak muda ini. Dia tahu anak muda itu berusaha menolong nyawanya. Dia memang harus mengakui, bahwa pertarungannya kali ini merupakan perjudian melawan elmaut.

Tapi kini dia agak lega, sebab dia tak usah khawatir menghadapi keroyokan. Lawannya hanya satu orang. Dan si Bungsu mengawasi hal itu!

Si Bungsu melangkah menghindar dari hadapan kedua orang itu. Matanya menyapu pada delapan orang anak buah Zendo yang masih tetap tegak mengurung Zato Ichi. Si Bungsu hanya menghindar dua langkah. Yaitu sekedar tak menghalangi kedua musuh bebuyutan itu berhadapan muka. Namun jarak yang dia buat, memustahilkan kedua orang itu untuk bertarung.

"Menyingkirlah dari sana…." Zendo berkata. Si Bungsu menatapnya. Tersenyum tipis.

"Sudah saya katakan, perkelahian ini hanya untuk tuan berdua. Yang lain tak boleh ikut campur….." suara si Bungsu mengingatkan.

"Ya. Tak ada orang lain yang ikut campur" suara Zendo terdengar gusar. Dia gusar karena telah dijebak anak muda ini. Dijebak dengan kata-kata bahwa pertarungan ini hanya untuk mereka berdua. Berarti tak satu pun diantara anak buahnya yang bisa ikut campur. Padahal dia membawa anak buahnya kemari mencari Zato Ichi dalam rangka memudahkan penuntutan dendam kematian abangnya.

Tapi apa boleh buat. Meskipun dia tak gentar pada anak muda ini, namun dia harus jaga gengsi.

"Saya akan menyingkir dari sini kalau anak buah tuan juga menyingkir. Kami akan membuat lingkaran sepuluh depa…." Si Bungsu kembali berkata.

Dan kali ini tak ada jalan lain bagi Zendo selain harus menuruti kehendak anak muda itu. Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dan dengan perasaan yang benar- benar kurang senang, kedelapan orang itu lantas mundur.

Mereka berkuak, dan tegak sedemikian rupa hingga membentuk suatu lingkaran berjari-jari sepuluh depa seperti diminta oleh si Bungsu. si Bungsu tegak di salah satu sisinya.

Kini kedua lelaki itu berhadapan. Zato Ichi yang lemah, tegak menunduk. Dia seperti tak ingin memperlihatkan bahwa dirinya sedang sakit. Hanya si Bungsu merasa sangat khawatir. Dia tahu benar tenaga dan kesehatan Zato Ichi sangat tak mengizinkan untuk berkelahi. Usahkan untuk berkelahi, untuk tegak agak lama saja dalam cuaca dingin begini sudah sangat sulit.

Namun bagaimana dia harus membantunya. Bukankah ini sudah permintaan Zato Ichi sendiri? Dan untungnya, Zendo tak mengetahui bahwa Zato Ichi demikian parah keadaannya. Ada beberapa saat kedua musuh ini berhadapan. Tegak dengan diam.

Zendo lah yang pertama kali menghunus samurainya. Suara samurainya ketika keluar dari sarungnya, terdengar berdesir perlahan. Zato Ichi masih diam. Kepalanya masih menunduk. Samurainya masih ditangan kanan di dalam sarungnya. Samurai itu masih dia pegang seperti memegang tongkat. Ujungnya mencecah lantai batu. Tak sedikitpun kelihatan bahwa dia siap untuk berkelahi. Zendo melemparkan sarung samurainya ke samping. Dan disambut oleh salah seorang anak buahnya. Kemudian perlahan dia melangkah maju. Bergeser di lantai batu. Satu setengah depa dihadapan Zato Ichi dia berhenti.

Zato Ichi masih menunduk diam. Samurainya masih dia pegang seperti tadi. Perlahan Zendo mengangkat samurainya. Mengarahkan ujungnya ke atas sebelah kanan dirinya. Dan dengan perlahan pula tangan kirinya memegang hulu samurai di bawah pegangan tangan kanannya. Dan dia menahan nafas. Kini dia benar-benar siap tempur! Namun Zato Ichi masih tetap diam seperti patung.

Zendo menghela nafas. Dan saat itulah terdengar suara Zato Ichi:

"Saya dengan abangmu Akira memang berkelahi malam itu di kuil Kofukuji…" suaranya perlahan.

Namun Zendo tak ambil peduli. Dia konsentrasi penuh. Zato Ichi menyambung ucapannya. Seperti tak perduli dengan maut yang mengintai lewat samurai Zendo:

"Kami memang bertengkar karena uang yang disumbangkan oleh keluarga Kendo….!"

Lalu saat itulah Zendo memekik dan samurainya memancung. Tapi lelaki buta itu sungguh perkasa. Dia tak mencabut samurainya. Melainkan membungkuk dan melangkah dua langkah ke belakang! Serangan maut itu menerpa tempat kosong. Dan begitu dia berhenti melangkah suaranya terdengar lagi:

"Kami bertengkar soal penggunaan uang itu…" suaranya terputus oleh serangan beruntun dari Zendo.

Kali ini dia mencabut samurainya dan menangkis. Lalu melangkah menghindar dan suaranya terdengar lagi:

"Keluarga Kendo mewariskan uangnya dalam bentuk uang emas. Hal ini dia lakukan karena seluruh keluarganya punah. Dia tak punya turunan lagi. Kendo Sansui adalah keturunan terakhir. Dan sebelum mati dia menyerahkannya ke kuil Kofukuji dengan maksud digunakan untuk mengembangkan agama serta untuk amal sosial lainnya"

Kali ini Zendo tak menyerang. Meski dengan samurai tetap teracung tinggi di atas kepala, dia menjawab omongan Zato Ichi:

"Ya itu jelas. Tapi kenapa engkau datang mencampuri urusan kuil?"

"Karena saya adalah salah seorang dari pendiri kuil itu…"

Zendo tertegun. Si Bungsu juga. Zendo berputar ke belakang Zato Ichi dengan samurai tetap siap menyerang. Namun dia belum menyerang. Suaranya terdengar lagi:

"Meski engkau pendiri, tapi yang memimpin kuil saat itu adalah abangku. Dan engkau datang minta bahagian dari harta wakaf itu bukan?"

"Barangkali begitulah yang disiarkan orang. Namun saya tidak sejahat dan sehina itu. Buat apa uang bagi saya? Tak ada perempuan yang mau jadi isteri saya untuk saya berikan uang. Bahkan pelacur-pelacur pun menghindar dari saya. Untuk menghidupi tubuh buruk dengan mata buta ini, saya masih punya tangan untuk bisa mencari nafkah. Tak usah mengambil harta dan hak kuil…"

Kali ini samurai Zendo perlahan turun ke bawah. Dia menatap dengan tatapan yang sulit diartikan pada Zato Ichi.

Lama. Kemudian suaranya bertanya:

"Lalu kenapa terjadi pertumpahan darah malam itu?" Zato Ichi tak segera menjawab.

Dia menarik nafas. Panjang dan berat. Akhirnya dengan kepala menunduk dalam dia bicara perlahan:

"Abangmu menginginkan uang itu untuk keperluan lain…." Zendo mengerutkan kening.

"Saya tak mengerti…." Katanya.

"Maafkan saya. Bukankah ayahmu berasal dari daerah Tionggoan di daratan Tiongkok?"

"Ya…"

"Nah, itulah soalnya…"

"Saya tak mengerti…" desak Zendo.

"Maafkan saya kalau harus menceritakan hal ini dihadapan orang banyak. Saat itu perang berkecamuk antara Jepang dengan Tiongkok. Tiongkok ingin memerdekakan negerinya dari jajahan Jepang. Abangmu ingin mengirimkan uang itu ke Tiongkok untuk membantu pemberontakan melawan Jepang…"

"Bohong!!" bentakan Zendo memecah dan dia membuka serangan.

Kali ini serangannya bertubi-tubi. Tadi Zato Ichi memang sengaja tak melawannya. Sebab dia menghemat tenaga. Tapi kini dia harus mengerahkan tenaganya itu. Dua kali serangan berhasil dia elakkan. Namun pancungan keempat terlambat dia tangkis. Tak ampun lagi, pahanya seperti akan belah dimakan samurai Zendo. Tapi setelah itu Zendo menghentikan serangannya. Si Bungsu menatap dengan cemas darah yang mengalir dari paha Zato Ichi.

"Kalau kau tak hentikan omong kosongmu tentang abangku, kucencang tubuhmu saat ini…" suara Zendo terdengar terengah-engah.

Dia nampaknya benar-benar tak ingin keluarganya dicap menghianati Jepang. Sambil menahan sakit dan sambil tetap bertahan tegak, Zato Ichi yang luka parah itu berkata:

"Itulah kisah sebenarnya Zendo-san. Malam itu, hadir utusan yang akan dia kirim ke Tionggoan. Yaitu pendeta yang sama-sama mati dengannya. Ketika saya menghalangi niatnya, dia jadi berang. Takut rahasianya akan terbongkar, dia lalu menyerang saya bersama pendeta itu. Namun saya mengalahkan mereka. Semata-mata untuk membela negeri ini dari penghianatan. Meski untuk itu saya terpaksa membunuh seorang sahabat…"

Zendo kembali menyerang. Kali ini nyawa Zato Ichi memang diujung tanduk. Dia tak menangkis. Melainkan mengelak dengan mundur. Suatu saat tubuhnya membentur tubuh anak buah Zendo yang tegak melingkar. Dan anak buah Zendo ini menolakkan tubuh Zato Ichi yang lemah itu ke depan. Ke arah Zendo! Namun si Bungsu tak membiarkan kesempatan itu. Dia segera menghunus samurai dan meloncat ke tengah gelanggang. Zendo yang akan segera memancungkan samurainya dia hantam. Dan samurai mereka beradu. Zendo kaget dan mundur. Kedelapan anak buahnya kaget dan merapatkan kepungan. Si Bungsu segera tegak dihadapan Zato Ichi yang telah jatuh berlutut.

"Anak muda, jangan ikut campur urusan kami…" Zendo berkata dengan marah. Dia sudah bermaksud akan menghabisi nyawa Zato Ichi. Menyudahi dendam selama 40 tahun ini. Kini saatnya hanya tinggal melaksanakan.

Zato Ichi yang kesohor itu sudah berhasil dia lukai. Bukankah itu suatu prestasi yang bukan main yang akan memasyhurkan namanya ke segenap penjuru Jepang? Halangannya kini hanya tinggal sedikit. Yaitu anak muda dari Indonesia ini. Wajar saja kalau dia merasa berang tatkala babatan samurainya dihalangi oleh samurai si Bungsu.

Namun si Bungsu tetap tegak di depannya. Menghalangi jarak antara dia dengan Zato Ichi.

"Saya sudah katakan, bahwa saya akan ikut campur bila anak buahmu ikut campur dalam perkelahian ini…." Suara si Bungsu terdengar dingin.

"Ya. Kau boleh ikut campur kalau anak buahku ikut. Tapi kau lihat sendiri, tak seorangpun diantara mereka yang ikut membantuku…"

Si Bungsu tertawa berguman.

"Tak seorangpun! Tapi bukankah sebentar ini yang berjambang seperti monyet itu menolakkan tubuh Ichi-san ke arahmu?"