Dan obat itu dia teteskan ke luka di dada. Mula-mula rasa panas menyengat. Kemudian sakit dan pedih yang menggigilkan jantung. Namun si Bungsu segera membandingkannya dengan rasa sakit ketika dia diazab dalam terowongan Jepang di Bukittinggi. Yaitu ketika kukunya dicabut dan jarinya dipatahkan satu demi satu. Siksaan itu jauh lebih sakit daripada yang sekarang. Karena itu, dia hanya memejamkan mata. Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.
Demikianlah, obat itu disiramkan ke seluruh luka di tubuh si Bungsu. kemudian ditempel dengan sejenis daun kayu yang telah didiang panas ke api. Peluh si Bungsu meleleh membasahi tubuhnya ketika pengobatan itu selesai.
"Benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar lelaki tangguh Bungsu-san…." Kata Zato Ichi. Namun suaranya tak didengar lagi oleh si Bungsu.
Anak muda itu sudah tertidur. Obat tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya amat besar. Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi obat tersebut. Demikian besarnya zat rekat candu dan zat bius dalam obat itu, sehingga si Bungsu serta merta jadi tertidur sebelum pengobatan itu selesai. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia lalu membereskan peralatan obat-obatannya. Setiap pagi selama tiga hari berturut-turut obat itu harus dia ganti.
Dan obat itu memang amat mujarab. Obat tradisional Jepang yang kesohor untuk mengobati luka yang betapa parahnya sekalipun. Selesai mengemasi peralatan. Zato Ichi menuju ke Kuil Tua di depan rumah kecil dimana si Bungsu terbaring itu. Di Kuil itu dia sembahyang dan berdoa. Kemudian dilantai depan kuil itu, yang terbuat dari kayu keras dan licin mengkilat, dia terbaring.
Angin bertiup dari danau di depannya. Membuat rasa lelahnya lenyap. Dan dia juga tertidur di sana. Tak jauh dari tempatnya berbaring, di pohon-pohon sakura, malam itu burung-burung malam menggigil kedinginan.
***0***
Musim dingin tahun ini telah berjalan beberapa hari. Makin lama udaranya masih menusuk.
Di Kuil tua itu nampaknya tak ada orang lain. Dan kuil itu juga tak membutuhkan lampu. Sebab satu-satunya orang yang ada di sana juga tak membutuhkan penerangan. Apa gunanya penerangan bagi Zato Ichi yang buta? Zato Ichi, siapa yang tak mengenal nama itu di Jepang? Dia adalah tokoh samurai penolong rakyat miskin. Samurainya selalu menebas kezaliman. Puluhan tahun yang lalu, dia muncul di setiap ada kezaliman. Menolong orang yang tertindas. Kemudian pergi tanpa bekas bila pertolongannya tak lagi dibutuhkan orang.
Tapi saat itu, orang Jepang sendiri sudah melupakan Zato Ichi. Bukan karena kepahlawanannya sudah ada yang menandingi. Tidak. Tapi dia dilupakan karena zaman Zato Ichi sudah lama berlalu. Perang samurai sudah digantikan dengan gemuruhnya bunyi bedil dan pesawat udara.
Pahlawan-pahlawan dalam peperangan di Asia Raya lebih populer. Demikian pula pahlawan-pahlawan udara seperti Saburo yang legendaris.
Siapa yang tak mengenal dan tak membicarakan nama pilot dan pahlawan Kamikaze yang bernama Saburo itu? Dia dengan pesawat jenis Kamikazenya itu muncul di atas Armada Perang Amerika. Menyapu kapal-kapal perang itu dengan mitraliyur dan bomnya. Menenggelamkan sebahagian besar kapal kapal perang tersebut. Kemudian merontokkan pesawat pesawat udara Amerika yang coba mencegat atau mengepungnya. Lalu dia pulang kepangkalan dengan tubuh pesawat yang robek atau bolong oleh terkaman peluru musuh. Tapi esoknya, dengan tubuh pesawat seperti tapisan kelapa itu, Saburo mengudara lagi. Menenggelamkan lagi kapal kapal perang dan merontokkan pesawat udara. Begitu terus. Hingga dia menjadi pahlawan Jepang yang kesohor.
Dan itulah kenapa sebabnya Zato Ichi terlupakan. Siapa nyana, justru saat angkatan perang Jepang itu runtuh di bawah kaki Sekutu, saat itu pula pahlawan samurai itu muncul. Suatu kemunculan yang tak seorangpun pernah menduga.
Generasi Zato Ichi, umumnya sudah berkubur. Kalaupun ada orang yang mengenalnya, itu hanya dari cerita dan dongeng saja. Siapa sangka, ternyata lelaki jagoan samurai itu, saat ini masih sehat walafiat dan kini menolong seorang "jagoan" samurai lainnya yang berasal dari Indonesia, si Bungsu!
Kehadiran Zato Ichi memang merupakan suatu "keajaiban". Lelaki ini ternyata hidup dengan hati tenteram. Di saat orang menyangka bahwa dia sudah mati, di saat itu pula sebenarnya dia tengah berkelana dari sebuah pengunungan ke pengunungan lainnya. Memakan buah-buahan dan daun-daun berkhasiat. Itulah salah satu penyebabnya, kenapa dia kelihatan masih utuh. Tidak segera jadi tua renta seperti jamaknya manusia di kota bila mencapai usia seperti dia.
Lalu kenapa hari ini dia muncul tiba tiba? Dan kenapa kemunculannya justru di kamar hotel si Bungsu di saat anak muda itu diancam maut? Apakah itu suatu kebetulan atau memang ada yang mengatur? Hal ini memang masih merupakan suatu misteri.
++000++
Persis tiga hari. Ya, persis seperti yang dikatakan Zato Ichi ketika mengobati si Bungsu, bahwa dalam tiga hari lukanya akan sembuh. Dan tiga hari setelah itu, luka disekujur tubuh si Bungsu memang sembuh. Yang terlihat kini hanya bekas memutih di tentang luka itu. Si Bungsu jadi takjub. Dia sudah banyak mengenal obat tradisional. Bahkan dia juga tukang ramu obat seperti itu ketika masih di gunung Sago. Tapi dengan luka yang demikian parah, dan pengobatannya demikian cepat, memang diluar jangkauan pengetahuannya. Dan ketika dia tanyakan pada Zato Ichi apa yang menyebabkan demikian cepat daya sembuh obat itu, Zato Ichi menjelaskan.
Pendekar samurai itu menunjukkan pada si Bungsu akar dan kulit kulit kayu yang dipakai untuk meramu. Tentang akar dan kulit kayu itu si Bungsu tak heran. Dia sudah mengetahui cukup banyak.
Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi obat.
"Semua akar, daun dan kulit kayu ini direbus dengan batu Giok ini…." Kata Zato Ichi sambil memperlihatkan tiga macam batu-batuan.
Si Bungsu jadi heran melihat batu tersebut. Batu Giok adalah semacam batu mar-mar yang indah dari daratan Tiongkok. Dia sebenarnya hanya mirip mar-mar. tapi batu ini banyak dibuat perhiasan oleh orang. Ketiga batu Giok itu berwarna lumut, merah darah dan kuning.
"Ketiga macam batu ini akan mengeluarkan getah bila direbus bersamaan dengan akar dan kulit kayu tadi…." Zato Ichi menjelaskan.
Tapi kedua mereka tiba-tiba sama terdiam. Si Bungsu melihat betapa Zato Ichi mendongakkan kepala. Nampaknya dia tengah mendengarkan sesuatu.
"Ada orang datang….." kata lelaki Jepang itu perlahan.
"Ya. Dan mereka mengitari rumah ini" jawab si Bungsu perlahan.
Kedua lelaki ini adalah lelaki-lelaki yang memiliki indera yang amat tajam. Mereka dapat mendengarkan langkah beberapa orang di luar sana. Padahal saat itu angin musim dingin tengah bersuit kencang. Namun diantara suitan angin itu, masih saja telinga mereka dapat membedakan bunyi langkah kaki manusia.
"Berapa orang mereka?" tanya Zato Ichi.
"Lebih dari lima orang…." Kata si Bungsu.
Zato Ichi tersenyum. Lagi-lagi dia mengagumi anak muda ini.
"Inderamu sangat hebat Bungsu-san…." Katanya. Si Bungsu hanya diam.
"Mari kita ke luar, kita sambut kedatangan mereka…." Kata Zato Ichi sambil tertatih-tatih melangkah ke luar rumah.
Dengan memegang samurainya di tangan kiri. Si Bungsu mengikuti langkah Zato Ichi. Dan tiba-tiba mereka berdiri di halaman belakang kuil tua itu. Angin dingin yang bertiup pagi itu menampar-nampar wajah mereka.
Dan begitu mereka berdiri di luar, enam lelaki dalam pakaian kimono hitam tegak membuat setengah lingkaran.
"Zato Ichi…!" terdengar bisik-bisik di antara mereka takkala melihat pada lelaki buta itu. Bisik bisik itu berbaur dengan rasa terkejut.
"Hmmm, sudah lama kuil ini sepi. Apakah tuan-tuan datang untuk bersembahyang…?" terdengar suara Zato Ichi bergema mengatasi suitan angin kencang.
Keenam lelaki yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis tebal, yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak. Suara terompa kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.
"Kami dari organisasi Kumagaigumi. Kami datang…."
"Hmm, Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau….' Suara Zato Ichi memutus ucapan lelaki itu.
"Itu urusan kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur urusan kami…" lelaki itu membentak.
Terdengar suara tawa Zato Ichi perlahan.
"Bagaimana aku takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa wanita-wanita Jepang? Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?"
Muka lelaki yang baru datang itu jadi merah padam.
"Zamanmu sudah lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa dalam kuil. Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam itu…"
Zato Ichi terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang gelap. Kemudian menunduk. Dan terdengar suaranya perlahan:
"Ya, saya harusnya berdoa…selesaikanlah urusan kalian…"
Dan sehabis berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah kanan rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen. Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut.
Kini di depan rumah itu tegak si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
"Nah, anak muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang lalu.."
"Yang, di hotel itu, saya ikut membunuhnya tiga orang…" suara Zato Ichi memutus.
Pimpinan Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut campur. Kalau dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu berkata:
"Urusan dengan engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini…"
Zato Ichi tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi ini. Namun demikian, dia tetap duduk dengan tenang.
"Nah, kau ikutlah kami…" suara lelaki berkumis tebal itu berdengung. Si Bungsu hanya tersenyum tipis.
"Bukan salah saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak mau persoalan diperlarut-larut. Buata apa kita saling bunuh? Saya sudah bosan dengan pekerjaan membunuhi orang…."
Ucapan si Bungsu ini sebenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat jadi tukang jagal. Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu. Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan. Untunglah di saat yang sangat gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan kali inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu, keenam lelaki ini salah duga akan ucapan si Bungsu. Kalau yang datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam lelaki ini justru menganggap dengan ucapannya itu si Bungsu tengah menggertak mereka.
Dengan ucapan "Saya sudah bosan jadi tukang bunuh", mereka menganggap bahwa anak muda ini seakan-akan berkata : " dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah bosan…"
Nah, salah duga biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.
"Jangan menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza di Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir menang lagi melawan pendeta di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu sudah hebat?"
"Tidak. Saya tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi"
"Baik. Kalau begitu engkau harus ikut kami ke markas.."
"Itu juga tak saya inginkan…"
"Heh, berkelahi tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?"
"Saya tak ingin apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu…"
"Itu bukan menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu sudah merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu, dan lawan kami…"
Zato Ichi terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya lembut dan bergetar. Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan tersenyum mendengar siul Zato Ichi.
Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka. Mereka mengatur posisi.
Siul Zato Ichi makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan tiba-tiba salah seorang menggebrak maju membabat perut si Bungsu. yang dua lagi dengan cepat menghantam kepala dan kakinya.