Namun Kondektur hanya menelan ludah. Wajahnya pucat. Kesempatan itu dipergunakan gadis tadi untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu. Dia sudah akan berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar. Suasana jadi heboh. Gadis itu diangkat kembali oleh si kurus. Didudukan ke pangkuannya. Orang-orang pada berdiri dari kursinya melihat kejadian itu.
"Duduklah kembali, kalau kalian tak ingin kehilangan kepala…."si pendek gemuk dengan suara bebeknya mengancam.
Kepala-kepala manusia itu seperti disentakkan alat otomatis. Senyap dan duduk kembali dengan diam.
"Nah, orang tua, pergilah cari tempat lain" suara si pendek gemuk seperti babi itu terdengar lagi.
Perempuan tua itu tahu, lelaki ini amat berbahaya. Dia membungkuk mengambil barang-barangnya di bawah tempat duduk. Ketika dia bangkit akan pergi, seorang lelaki berdiri di belakangnya.
"Akan kemana ibu?" tanyanya perlahan.
Perempuan itu tak menjawab. Dia mengangkat barangnya dan berputar.
"Jangan pergi. Tempat Ibu disini bukan? Duduklah kembali…" lelaki itu mencegahnya dengan suara yang amat tenang.
Kedua lelaki yang duduk itu, yang kurus seperti jailangkung, yang pendek seperti babi, melotot pada lelaki yang baru datang itu. Lelaki itu justru tersenyum pada mereka.
"Berdirilah. Ibu ini akan duduk. Kalian tak punya karcis bukan?" katanya dengan suara yang alangkah tenangnya.
Para penompang yang lain tentu saja jadi tertarik. Kalau Kondektur saja tak berani bertindak, kini ada orang lain yang berani, maka siapakah orang ini? Pikir mereka.
Yang pendek gemuk segera saja jadi berang. Dia bangkit menghantam lelaki itu. Namun begitu dia bangkit, begitu sebuah tendangan menghajar kerampangnya. Dia mengeluh. Terduduk lagi dengan muka yang putih karena menahan sakit.
"Jangan duduk di sana, pindahlah…" kata lelaki itu dengan perlahan.
Yang kurus tinggi bangkit. Tangannya terhayun dalam bentuk pukulan karate. Namun dia kembali terlambat. Sebuah pukulan dengan tongkat kayu menusuk bawah hidungnya "prakkk!"
, giginya patah dua buah! Dan dia tersurut ke belakang!
"Pergilah. Ini bukan tempat kalian.." lelaki yang baru datang itu berkata lagi dengan tenang.
Kedua lelaki itu jadi ragu. Mereka bertatapan. Kemudian tangan mereka serentak berkelabat ke balik kimono mereka dimana samurai pendek mereka tersimpan. Namun demi malaikat, demi syetan dan iblis kedua lelaki itu hampir-hampir tak mempercayai mata mereka. Tangan lelaki itu justru lebih cepat!
Sebuah tongkat kayu dengan cepat mendahului gerakan samurai mereka. Tongkat kayu itu menghentak persis tentang jantung mereka. Mata mereka mendelik. Karena hentakan ujung tongkat itu persis ketika mereka menghirup nafas. Mereka jadi pucat. Dan berikutnya, tongkat itu menghajar kepala mereka. "prakk! Prakk!" dua hentakan keras melanda kening. Dan kening mereka benjol sebesar telur.
Penompang-penompang yang telah menjulurkan kepalanya kembali, jadi kaget dan kagum melihat kecepatan lelaki ini.
"Pergilah, sebelum kepala kalian makin besar oleh benjolan-benjolan…" lelaki itu berkata lagi, masih dengan suara tenang.
Dan kini, keberanian kedua lelaki itu ambruk. Meleleh seperti ingus. Dan mereka ngeloyor pergi. Tapi di pintu belakang, mereka berhenti, yang bersuara gagak berkata :
"Awasa kau! Awas kau!" Hanya itu, kemudian dia bergegas pergi.
Lelaki itu hanya menatap dengan matanya yang sayu. Lalu mendudukkan perempuan tua itu ke bangkunya. Dan dia tersenyum pada gadis yang duduk dekat jendela. Tapi senyumnya beku tiba-tiba. Gadis itu, yang sejak tadi meperhatikannya tiba-tiba juga jadi pucat. Mereka saling pandang kaget.
"Kau….?' Kata lelaki itu yang tak lain dari si Bungsu itu pada si gadis.
"Anda…?' suara gadis itu serak.
"Engkau yang di penginapan Asakusa…?" Tanya si Bungsu.
"Ya…sayalah itu…" gadis itu berkata perlahan sambil matanya yang basah tak lepas-lepas menatap si Bungsu. perlahan dia bangkit.
"Engkau menyelamatkan aku kembali. Domo arigato gozaimasu…" kata gadis itu membungkuk. Si bungsu menarik nafas. Lega dia. Tersenyum.
"Siapa namamu…?" tanyanya.
"Michiko…"
"Michiko, …ya Michiko…" kata si Bungsu mengulang.
Para penompang melihat saja kejadian itu dengan heran. Heran dan kagum menyaksikan seorang gadis Jepang yang cantik ngomong dengan lelaki asing yang gagah.
"Dimana anda duduk…? Tanya Michiko. Si Bungsu memalingkan kepalanya ke depan.
"Di sana, di bangku paling depan…" katanya sambil menunjuk ke bangku tiga deret di depan tempat Michiko.
"Maaf, saya belum tahu nama anda…"
"Oh ya, nama saya si Bungsu…"
"Bungsu-san terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya…."
"Hei, bangku saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke sana?"
Wajah Michiko berseri. Dia mengangguk. Si Bungsu juga tersenyum. Lalu menoleh pada ibu tua dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.
"Saya harap ibu dan tuan senang duduk disini…" katanya perlahan.
"Terimakasih banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda orang Malaya?" perempuan tua itu bicara.
"Tidak, Watashi wa Indonesia-jin desu…"
"Aa, Indonesia-jin desu…." Ulang perempuan itu. Dan Michiko juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.
Perempuan itu mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.
**000**
Michiko yang ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat si Bungsu di depan. Si Bungsu membawakan tasnya.
Para penompang pada mengangguk memberi hormat ketika dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para penompang saling berbisik.
Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh penduduk Jepang lainnya?
Si Bungsu meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka. Di sisi ransel lusuhnya. Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk di samping gadis itu. Michiko menatap pada si Bungsu. dia seperti tak yakin akan pertemuan ini.
"Kemana saja engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?" tanya si Bungsu.
"Saya…saya…" Michiko menunduk. Akan dia katakankah bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari si Bungsu? Ah, dia jadi malu.
"Untuk beberapa hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota Hamamatsu"
"Oh, engkau naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?"
"Ya, saya naik di sana.."
"Kota kecil sebelum danau Hamana?"
"Ya, disanalah saya selama ini…"
Si bungsu mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal.
Peluit kereta api terdengar memekik.
"Kereta akan berangkat" kata Michiko.
Mereka sama menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah, tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.
"Itu teluk Atsumi…." Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di puncak eombak dengan layar yang berwarna kuning.
"Alangkah indahnya…." Kata si Bungsu. Michiko menoleh.
Dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah si Bungsu yang tetap melihat ke teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal.
Si Bungsu tertegun. Mata Michiko yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik. Mereka bertatapan. Michiko menatap mata si Bungsu tepat-tepat. Pemuda ini, bermata hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Dulu, ketika dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat bibinya di kota Hamamatsu.
Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan, dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung, bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia lupakan. Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.
"Bungsu-san,…. " katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajah si Bungsu.
"Michiko-san…" jawab si Bungsu perlahan.
"Terimakasih atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…"
"Tak usah dipikirkan…"
"Masih ingat ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya?"
Tentu saja si Bungsu ingat. Peritiwa itu terjadi di daerah Ginza. Dia akan mencari Kenji ke Shibuya. Dan dia bertanya pada seorang gadis, kereta mana yang akan menuju Shibuya. Gadis itu tak segera menjawab. Melainkan menatap dahulu pada dirinya. Ketika itu diketahuinya bahwa pemuda yang bertanya itu adalah orang asing, yang nampaknya dari Malaya atau Philipina atau Indonesia, dia lalu membuang muka dan melanjutkan perjalanan tanpa menjawab pertanyaannya. Dan dua hari setelah itu, ternyata gadis itu di selamatkan di Asakusa!
"Masih ingat?" tanya Michiko.
Tanpa memindahkan tatapan matanya dari mata Michiko si Bungsu mengangguk dan tersenyum kecil.
"Saya menyesal…maafkan saya Bungsu-san…" Michiko berkata perlahan. Di sudut matanya ada air menggenang. Bungsu tersenyum dan berkata lembut.
"Jangan dipikirkan. Lupakanlah…"
Tiba-tiba Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu. Bungsu jadi gugup dan berdebar.
"Tenanglah…' katanya sambil memegang rambut Michiko yang keluar dari balik topi bulu binatangnya.
Perlahan Michiko mengangkat wajahnya kembali. Mereka bertatapan lagi. Perlahan si Bungsu menghapus air mata di pipi Michiko dengan jari-jari tangannya.
"Domo arigato…." Kata Michiko.
"Lihatlah keluar sana, indah sekali. Negerimu sangat indah…" kata si Bungsu. Michiko menoleh keluar. Kemudian menoleh lagi pada si Bungsu. Dia tersenyum.
"Belum juga berangkat kereta ini?" tanya si Bungsu.
"Ya, biasanya sudah berangkat.." jawab Michiko. Ucapan mereka baru saja habis takkala Kondektur dengan wajah pucat datang bergegas pada mereka.
"Larilah… me…mereka datang…!" Kondektur itu bicara gugup pada si Bungsu. si Bungsu dapat segera menebak bahwa yang datang itu adalah komplotan lelaki tadi yang kalau tak salah dengar ada penompang yang bilang bahwa mereka dari komplotan Kumagaigumi.
Michiko jadi pucat. Penompang yang lain juga pada panik. Namun belum satupun yang sempat mereka perbuat ketika empat lelaki berwajah tak menyedapkan naik ke Kereta Api itu. Dan langsung ke gerbong dimana si Bungsu dan Michiko duduk.
Ke Empat lelaki itu tiba-tiba saja sudah tegak di gang di depan si Bungsu. Satu diantaranya adalah yang kurus seperti jailangkung. Yang giginya rontok dua buah digetok hulu samurai si Bungsu tadi.
"Dialah jahanam itu…." Kata lelaki tersebut dengan suaranya yang mirip suara gagak.
Seorang lelaki bertubuh sedang, dengan samurai di tangan kiri, bermata sipit berambut gondrong, yang nampaknya boss diantara yang empat orang itu, menatap dengan mengerenyitkan matanya pada si Bungsu.
"Dia?" tanyanya dengan nada tak percaya. Sementara mulutnya masih tetap kemat-kemot mengunyah sesuatu.
"Ya, dialah anjing itu…" pekik si Kurus.
Michiko memegang tangan si Bungsu, memegang tangan kirinya. Sementara keempat bajingan itu berada di sebelah kanan mereka.
"He, kau, berdiri…!" perintah lelaki itu.
Suaranya mirip geraman harimau. Si Bungsu berdiri. Michiko yang akan berdiri dia suruh tetap duduk.
"Tetaplah duduk Michiko…" katanya sambil menanggalkan pegangan tangan gadis itu dari lengannya.
Dia berdiri. Tegak sedepa dari keempat lelaki Jepang yang menatapnya dengan perasaan heran itu. Terutama lelaki yang tengah mengnyah yang nampaknya sebagai pimpinan itu. Dia tak yakin, apakah anak muda asing ini memang sanggup mengalahkan dua orang anak buahnya yang terkenal itu.
"Apakah engkau tadi yang merontokkan giginya?" lelaki bertubuh sedang itu bertanya sambil tetap mengunyah sesuatu.
Nampaknya seperti gula-gula karet, sambil menunjukkan jempolnya pada si kurus kerempeng yang jangkung.
"Dia yang minta. Saya telah minta dia untuk pergi baik-baik. Namun dia lebih menyukai giginya rontok…" si Bungsu menjawab seadanya.
Dan hal itu menyebabkan si kurus kerempeng itu menggebrak maju akan menghantam si Bungsu, nampaknya keberaniannya jadi tumbuh dekat teman-temannya ini. Namun gerakan majunya tertahan oleh tangan temannya yang bertubuh kekar.
"Marilah kita sikat dia…." Kata lelaki itu.
"Ya, kalian sudahi dia. Dan bawa gadis itu padaku…." Yang mengunyah gula-gula karet itu nampaknya tak mau turun tangan.
Pemuda asing itu dia anggap bukan lawannya. Terlalu enteng! Makanya dia menyerahkan hal sepele itu pada ketiga anak buahnya. Bagaimana dia akan turun tangan? Apakah nama besarnya sebagai si Tangan Besi pimpinan Kumagaigumi kota Gamagori akan dibuat cemar dengan melawan orang asing tak terkenal itu? Ah, itu pekerjaan anak-anak, pikirnya.
Ketiga lelaki anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun tangan. Yang lebih dulu maju adalah yang kurus tinggi tadi. Dia merasa dapat beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam si Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong praja itu. Namun si Bungsu juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel tebalnya, samurainya dengan sangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu.
Terdengar suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus. Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua langkah.
Dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah! Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya oleh si Bungsu. Dia melangkah. Ketiga Jepang itu mundur dengan kaget. Si Bungsu menoleh pada Michiko.
"Tenanglah di sana. Saya akan kembali…"