Chereads / OH MY CEO / Chapter 30 - hilang

Chapter 30 - hilang

"Kamu mengalami kecelakaan nak sudah satu minggu kamu tidak sadarkan diri, kamu mengatakan akan pergi berkunjung kerumah tapi kemudian ayah mendapat kabar kalau kamu mengalami kecelakaan dalam perjalanan bisnis.." Jelas Eko dengan air mata yang terus terurai.

Luna berpikir, apa ia mengalami amnesia? mengapa ia tidak ingat apapun? tapi dia mengingat siapa dirinya dan dapat mengenali ayahnya membuat Luna bingung.

"Jangan menangis ayah, aku sudah merasa sangat sehat sekarang." ucap Luna tersenyum membawa ketenangan bagi Eko.

"Jika aku mengalami kecelakaan dalam perjalanan bisnis lalu bagaimana dengan keadaan bosku?" Tanya Luna.

"Bosmu juga belum sadarkan diri." jawab Eko murung, karena sebenarnya Kevin sedang mengalami masa keritis ia baru saja melihatnya di kamar sebelah.

"Apa begitu parahkah? aku ingin melihatnya ayah.." Luna bergegas turun dari ranjangnya dan kemudian ia terjatuh karena kakinya merasa lemas.

"Nak, kondisi kamu masih sangat lemah.." cegah Eko membantu Luna duduk kembali ketempat tidurnya.

"Tolong bantu aku melihatnya ayah, bagaimanapun kami mengalami kecelakaan bersama aku akan merasa bersalah jika hanya aku yang pulih.." pinta Luna, matanya berkaca-kaca membuat Eko merasa tidak tega pada putrinya yang terlihat sangat cemas saat ini.

Luna tidak dapat memikirkan apapun selain keadaan Kevin saat ini, meskipun ia masih belum mengingat apa yang sebenarnya terjadi tapi hatinya terasa begitu sedih memikirkan Kevin.

Eko mendorong Luna menggunakan kursi roda menuju ruangan dimana Kevin di rawat, Elsa dan Wijaya sangat terkejut melihat Luna yang sudah sadarkan diri.

"Luna... kamu sudah sadar." Elsa segera menghambur memeluk Luna tanpa aba-aba dan menangis melampiaskan kesedihannya karena sampai saat ini kondisi Kevin belum juga membaik.

"Luna, syukurlah kamu sudah sadar.. ibu sangat senang tapi Kevin kondisinya semakin memburuk. apa yang harus tante lakukan Luna, Kevin putra tante satu-satunya." isak Elsa tidak tahan lagi selama ini ia berusaha untuk tetap kuat tapi Kevin baru saja mengalami kondisi kritis yang hampir membuatnya meninggal.

"Tenanglah bu, semua akan baik-baik saja.." Ucap Luna membalas pelukan Elsa, hatinyapun merasa sangat sedih saat ini bagaimanapun Kevin dan dirinya telah bersama selama lebih dari dua tahun tentunya ia akan merasa sangat kehilangan jika Kevin pergi untuk selamanya.

Luna melepaskan pelukan Elsa kini dan perlahan memasuki ruangan Kevin di bantu dengan ayahnya, setelah berada tepat disebelah Kevin, Ekopun meninggalkan Luna yang terus menatap Kevin lekat dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat melihat kondsi Kevin yang tengha terbaring tidak berdaya.

"Aku seperti kehilangan sesuatu tapi entah itu apa? membuat dadaku terasa sesak dan saat menatap Kevin terbaring seperti ini rasanya hatiku bertambah sesak." ucap Luna dalam hati.

"Anda mendengar saya pak?" ucap Luna perlahan tapi tidak ada respon.

"Jika saya menangis sekarang maka jangan menertawakan saya jika anda telah kembali sadar."

Air mata Luna telah dipelupuk mata menantikan untuk menetes, perlahan ia meraih tangan Kevin yang terasa hangat.

"Sadarlah Kevin.."Luna tidak dapat membendung air matanya lagi perasaan sedih menyelimutinya kini.

"Sadarlah bodoh.. aku tidak ingin memiliki bos lain selain dirimu.." ucap Luna kembali. Dalam ingatanya meskipun Kevin selalu mengganggunya dan menyulitkannya tapi kebiasaan karena terus bersamanya membuatnya merasa takut kehilangan yang amat besar.

"Mengapa kita menjadi seperti ini? aku tidak ingat apapun yang telah menimpa kita membuat hatiku sesak dan lebih sesak saat melihatmu seperti ini. bangunlah Kevin.. jelaskan padaku mengapa kita bisa berakhir seperti ini?" Luna menagis terisak sambil menggenggam tangan Kevin erat dengan kedua tangannya membasahi tangan Kevin dengan air matanya yang terus terurai.

"Sadarlah Kevin.. aku mohon dengarlah aku dan sadarlah.. Kevin..." Luna terus mencoba membangunkan Kevin sambil terus menangis meskipun tidak ada respon membuat hati Luna bertambah sakit karena rasa takut akan kehilangan.

Elsa menangis dalam pelukan Wijaya saat melihat kondisi Kevin dan Luna saat ini begitupula dengan Eko yang ikut menangis merasakan kesedihan putrinya didalam.

Monic baru saja datang dengan wajah sumringah tapi begitu terkejut saat melihat pemandangan di depan kamar rawat Kevin. ia lantas mempercepat langkahnya mungkinkah sesuatu yang buruk terjadi membuatnya merasakan penyesalan tapi saat sampai didepan kamar rawat Kevin yang dilihatnya adalah pemandangan Luna yang menangis sambil memegang tangan Kevin erat. Matanya memerah kini, hatinya memanas, berani sekali gadis itu,apaperingatan ini belum cukup jelaskah?

Monic baru saja akan melangkah masuk tapi Elsa mencegahnya melarangnya untuk masuk membuat Monic bertambah geram tapi ia tidak bisa menentang Elsa dan hanya berjalan menjauh meninggalkan kamar rawat Kevin.

Seperti batu bara, hati Monic diselimuti kemarahan yang membakar hatinya, ia sudah cukup geram saat melihat foto-foto mesra Kevin dan Luna ynag dikirimkan oleh mata-matanya saat dirinya diluar negri beberapa hari yang lalu membuat dirinya gelap mata dan menyuruh orang untuk mencelakai Kevin dan Luna yang saat itu dalam perjalanan menuju kediaman orangtua Luna.

Brak...

Monic membuka pintu dengan kasar kemudian tanpa aba-aba melemparkan semua benda yang ada diatas meja diruangan dokter alhi hipnoterapi. Matanya memerah saat menatap dokter wanita dihadapannya yang terlihat ketakutan saat ini.

"Apa begitu sulitkah membuat mereka melupakan perasaaan mereka masing-masing" Teriak Monic penuh amarah.

"Beginikah caramu membalas budiku?" teriaknya kembali, Dokter bernama Nita itu hanya diam tidak berani menjawab.

Sebenarnya Kevin telah sadar beberapa hari yang lalu begitu juga dengan Luna tapi karena rencana jahat Monic membuat mereka harus berbaring tidak sadarkan diri beberapa hari ini.

"Monic ini semua melanggar sumpahku sebagai seorang dokter, lagipula kamu harus mendapatkan cintamu tidak dengan cara ini." Nita mencoba mendekat tapi kemudian Monic meraih vas bunga dan melemparkannya kearah Nita hingga membuat kening Nita mengeluarkan darah.

"Apa yang kamu ketahui tentang memperjuangkan cinta saat kamu selalu mendapatkan cinta yang bahkan bukan hakmu." Monic memekik lagi dan mendekati Nita dan menatapnya lekat. Wanita cantik dihadapannya ini begitu memuakan baginya, ia adalah seorang anak angkat orangtuanya dan berani menatapnya seperti itu sungguh menjijikan.

"Saat kamu mengambil kasih sayang orangtuaku, aku telah kehilangan rasa cintaku. Bahkan aku harus masuk kedalam penjara karena memperjuangkan cintaku karena kamu dengan mudahnya menikah dengan pria yang harusnya dijodohkan denganku. Kamu merebut semua kebahagiaan yang harusnya menjadi milikku sekarang aku hanya meminta sedikit bantuan... ah bukan bantuan tapi memberikan kesempatan untukmu menebus kesalahanmu padaku dan jawabanmu seperti orang suci yang tidak mau berbuat dosa." Maki Monic membuat Nita hanya dapat diam, ia selalu menganggap Monic seperti kakaknya sendiri tapi Monic tidak menganggapnya seperti adiknya.

Monic berjalan sedikit menjauh dan duduk disofa kini.

"Ah bagaimana keadaan keponakanku Nindy?"

"Jangan coba menyakiti anakku Monic.." Pekik Nita saat Monic tiba-tiba menyinggung Nindy anaknya yang kini masih berusia tiga tahun.

"Mengapa? aku hanya ingin mengajarimu bagaimana rasa sakit kehilangan cinta yang paling berhaga seperti diriku dulu."

Nita mengepalakan tangannya menahan semua amarahnya dalam genggaman tangannya.

"Aku sudah melakukan semua yang kamu perintahkan Monic.. kumohon jauhi anakku." Nita menghampiri Monic dan berlutut memohon, Monic tersenyum dan mengangkat dagu Nita.

"Lantas mengapa tadi aku melihat Luna menggenggam erat tangan tunangganku jika kamu sudah melakukan semua yang aku perintahkan." pekik Monic geram

Nita menangis kini, hatinya berkecamuk karena harus melakukan hal keji seperti ini.

"Baiklah.. aku akan berusaha lebih keras lagi."

Monic tersenyum senang, ia telah mendapatkan jawaban yang diinginkannya saat ini dan kemudian meninggalkan Nita yang hanya dapat menangis diruangannya karena tidak percaya dengan apa yang harus dia lakukan pada seorang pasien.