Chereads / Tate no Yuusha no Nariagari / Chapter 48 - Chapter 22 Sebagai sebuah perisai

Chapter 48 - Chapter 22 Sebagai sebuah perisai

"Ya, itu adalah sebuah kutukan."

Kamu kembali ke desa dan bergegas menuju dokter untuk melihat apakah kami bisa mendapatkan perawatan untuk Raphtalia.

"Ini juga sangat kuat. Pegunungan naga itu dikuasai oleh kutukan sekuat itu?"

"Yah... Sebenarnya... tidak...."

Aku nggak yakin apakah aku harus jujur tentang apa yang terjadi. Aku bingung.

"Ya, secara nggak sengaja daging naga itu mengenai aku, dan daging itu membakarku seperti ini..."

Raphtalia berbicara dan menatap mataku seolah untuk mengatakan bahwa itu adalah rahasia kita.

"Bisakah kau melakukan sesuatu untuk dia? Kami akan membayar apapun yang kau butuhkan."

Raphtalia adalah seorang cewek. Dia nggak boleh menjalani kehidupan dengan dipenuhi bekas luka yang hitam dan mengerikan ini.

"Yah, ada satu hal...."

Dokter itu masuk ke ruangannya dan kembali sambil membawa sebuah botol yang berisikan cairan bening.

"Ini sangat kuat... meski aku tidak tau apakah ini bisa menyembuhkan dia."

"Apa itu?"

"Air suci. Kutukan lebih baik dihilangkan dengan air suci..."

"Oh...."

Shield of Rage gak cuma melukai korbannya, itu juga akan memberi kutukan pada lukanya sehingga luka itu nggak akan sembuh.

Itu terdengar semakin dan semakin berbahaya. Perisai itu disertai dengan sebuah serangan balik yang nggak membedakan antara kawan atau lawan.

Dan aku melihat pohon perisainya, dan pohon itu nggak berkembang sama sekali.

Itu cuma sebentar, tapi sekarang aku tau bahwa aku nggak boleh membuka perisai itu.

"Kita akan membasahi perbannha dengan air suci sekarang..."

Dia membasahi perbannya, lalu perban yang basah itu dililitkan pada luka Raphtalia.

"Aku nggak bisa bilang dengan pasti apakah ini akan bekerja... Kalau kau bisa, kau harus pergi ke kota besar dan membeli air suci yang dibuat oleh gereja."

"Berapa banyak yang kami butuhkan untuk menyembuhkan dia?"

"Sejujurnya... kutukannya sangat kuat. Aku nggak tau apakah kau bisa menyembuhkannya... Bagaimana bisa naga itu melakukannya...?"

Akulah yang melakukannya... Itu adalah salahku. Tapi sepertinya kutukan itu cukup kuat sampai-sampai orang-orang percaya bahwa kutukan itu dilakukan oleh seekor naga.

"Ok... Berapa banyak obat yang sudah kau buat?"

"Aku baru membuatnya sedikit. Beloved Saint, tolong bantu orang-orang yang sakit."

"Tentu."

Aku mempercayakan Raphtalia pada dokter itu dan pergi ke bangunan yang dipenuhi dengan orang sakit.

Kau bisa bilang bahwa obat itu dibuat oleh seorang profesional.

Obat itu betul-betul menyembuhkan penyakit yang gak bisa kutangani menggunakan obatku sendiri.

Aku memperhatikan para pasien yang ada disana, tertidur pulas dan merasa lega.

Aku ingin kekuatan... Aku ingin menjadi cukup kuat hingga aku nggak perlu bergantung pada perisai itu.

Aku ingin bisa menyembuhkan orang-orang, bukan mengutuk mereka! Itu adalah karena kelemahanku.

Itulah akar dari semuanya. Aku benci kelemahanku.

Filo selamat. Dia baik-baik saja. Tapi ada saat-saat ketika dia nggak baik-baik saja, saat dia membutuhan aku. Saat dia menghilang dari depan mataku, aku sepenuhnya lepas kendali.

Aku membiarkan pikiran itu tetap ada di benakku. Ini bukanlah game.

Jika seseorang mati, mereka nggak akan kembali hidup. Aku mendapati diriku menatap kuburan yang ada dibelakang bangunan.

Mereka menghianati aku... menipuku! Ada alasan yang lebih bagiku untuk... untuk melindungi orang-orang yang mempercayai aku.

Aku kembali ke tempat dokter itu dan menemukan Raphtalia duduk disana, berbalut perban. Aku meminta maaf.

"Aku minta maaf."

"Nggak apa-apa."

"Tap aku...."

"Aku lebih takut kamu pergi... pergi ke suatu tempat yang jauh dariku."

"Apa?"

"Kekuatan itu, ingin membawamu ke suatu tempat yang jauh. Itulah yang kurasakan. Jadi kalau aku bisa menghentikan kamu, untuk menahanmu disini, maka luka-luka ini adalah harga yang murah."

Dia tersenyum, dan aku merasakan sebersit emosi yang tajam.

Aku harus melindungi dia. HARUS. Aku bertekad untuk nggak akan pernah kalah pada perisai itu.

Dan kemudian... Aku menyadari bahwa lari dari kelemahan... Bahwa lari dari kelemahan adalah kelemahan itu sendiri.

"Raphtalia... Kamu masuk kedalam pertempuran untuk mencegah ini, kan?"

"Apa?"

"Saat kita melawan naga itu, aku memerintahkan kamu untuk mundur. Tapi kalau kamu mundur, kamu nggak bisa melindungi aku."

Aku salah. Cuma melindungi... cuma lari... nggak akan cukup.

Yang bisa kulakukan adalah melindungi.

Tapi... Tapi saat aku melindungi mereka, aku harus memastikan musuh dikalahkan... sehingga aku nggak akan kehilangan teman-temanku.

Semua ini... semua ini menyakitkan karena aku harus lari dari kelemahan.

"Kamu salah! Aku... Aku berlari kedepanmu, untuk memuaskan diriku sendiri."

Raphtalia dengan tegas menolak teoriku.

"Keberanian dan kecerobohan bukankah hal yang sama. Aku ceroboh, dan kamu terus berusaha mengekang aku untuk melindungi aku... Tapi aku... Tapi aku..."

Bahkan tanpa berpikir tentang hal itu, aku mengulurkan tanganku dan menyentuh pipinya. Air mata mengalir di jariku.

"Sama seperti keberanian dan kecerobohan yang merupakan hal yang berbeda, begitu pula dengan waspada dan pengecut. Kamu bukan pengecut. Nggak seorangpun bisa melindungi seorang pengecut."

Jadi aku ingin memimpin penyerangan. Aku ingin berdiri didepan agar aku bisa melindungi Filo dan Raphtalia.

Saat di pegunungan, kalau aku berada didepan, aku bisa mengeluarkan Air Strike Shield, dan Filo bisa menggunakannya sebagai pijakan. Lalu naga itu nggak akan menelan dia.

Aku takut kehilangan dia.

"Jadi jangan kuatirkan itu. Lihatlah seberapa banyak pengalaman yang kita dapatkan, dan kita nggak kehilangan siapapun. Kita bisa menggunakan apa yang telah kita pelajari dimasa depan. Kita lebih kuat hari ini maka esok juga demikan."

Mata Raphtalia dipenuhi air mata, dan dia mengangguk.

"Ya... Jangan maju terlalu jauh... Jangan pula mundur terlalu jauh... Itu adalah suatu keseimbangan yang sulit."

"Memang, tapi kurasa kita bisa melakukannya. Ingat saja bahwa Pahlawan Perisai, aku, berdiri di barisan depan. Melindungi dirimu sendiri, dan jika kamu mendapati dirimu cukup luang, lindungi yang lainnya. Itu mudah."

"Saat kamu memikirkannya seperti itu, itu terdengar mudah."

"Itu akan mudah."

"Apa mbakyu baik-baik saja?"

Filo menjulurkan kepalanya kedalam ruangan, dan melihat kearah Raphtalia dengan gugup.

"Aku baik-baik saja."

Ini akan jadi hari istirahat untuk Raphtalia. Filo dan aku pergi keluar.

"Master!"

"Apa?"

"Aku biasanya berpikir bahwa aku berharap aku bisa tetap menjadi seorang manusia selamanya.... karena kamu dan dia begitu dekat."

Dia dalam wujud manusia, dan tersenyum.

"Tapi aku nggak bisa. Itu menyenangkan untuk menarik kereta, dan aku cuma menipu diriku sendiri karena aku ingin kamu menyukai aku. Bahkan jika aku berpura-pura menyukaimu, aku nggak bisa melakukannya!"

"....."

"Tapi, Master! Aku adalah Filo yang sama, nggak peduli apapun wujudku."

"Itu benar."

Aku terkejut saat dia berubah menjadi manusia, tapi aku nggak merasa aku memperlakukan dia secara berbeda. Meski begitu, aku memperlakukan dia seperti anak kecil.

"Aku ya aku, Master ya Master, dan mbakyu ya mbakyu, kan? Kamu nggak bisa menjadi siapapun juga selain dirimu sendiri, dan aku... aku nggak bisa menjadi manusia sejati. Tapi meski demikian, nggak seorangpun yang bisa menggantikan aku, bukankah begitu?"

Itu kan alasan dia berubah menjadi manusia?

Aku mengangguk dalam menanggapi rentetan pertanyaannya.

"Tapi, apa kamu tau? Aku menyukaimu, Master! Aku menyukaimu sebesar Mbakyu menyukaimu! Aku akan menjadi Filo yang terbaik yang aku bisa!"

"Itu... bagus."

Siapa yang menyangka Filo akan menceramahi aku mengenai hal ini?

Melindungi semua orang seharusnya adalah tugasku, tapi aku menyadari, dengan takjub, bahwa aku nggak marah karena mendapati tugasku dicuri dariku. Aku bertanya-tanya kenapa bisa begitu?

"Apa kau tau? Demi Master dan Mbakyu, aku akan melakukan apapun yang aku bisa! Aku akan berusaha keras, yup!"

"Baguslah. Gimanapun juga melindungimu adalah tugasku."

"Yup!"

* * * * *

Kami menghabiskan hari dengan bersantai di kereta.

Esok harinya kami bekerja keras untuk berusaha menghapus penyakit itu.

Dokter menanyai aku apakah aku bisa melakukan sesuatu, dan aku mulai membuat obat. Kami menyelesaikannya lebih cepat daripada yang kami duga. Aku berpikir bahwa dia bisa mengajariku sesuatu tentang obat dan penyembuhan, tapi aku kurang pengetahuan, dan aku nggak mau mengganggu.

"Terimakasih banyak, Beloved Saint!"

Seorang cewek muda dari rumah sakit melambaikan tangan padaku dan bilang terimakasih.

Apa aku... melindungi mereka?

Aku bertekad untuk tidak lari. Kalau aku lari, aku nggak bisa melindungi orang-orang yang harus kulindungi, dan aku cuma menyelamatkan nyawaku sendiri—tapi hal itu membuatnya menjadi kehidupan yang nggak layak.

Aku nggak lagi sendirian.

Aku adalah orangtua bagi Raphtalia dan Filo sekarang, dan aku harus melakukan apapun yang aku bisa untuk membuat dunia yang lebih baik untuk mereka, untuk membuatnya menjadi sebuah tempat dimana orang-orang bisa menjalani kehidupan dalam kebahagiaan.

"Tuan Naofumi?"

"Master!"

"Huh? Ada apa?"

Aku sedang berjalan-jalan di desa saat Raphtalia dan Filo memanggilku.

"Kamu terlihat betul-betul... kuatir?"

"Ya!"

"Jangan kuatir tentang itu."

"Tapi Master! Kau itu orang yang kuatiran! Tentu saja kami kuatir."

"Kuatiran?"

"Ya. Belakangan ini kamu selalu mengatakan pada kami 'apa kamu baik-baik saja?'"

"Dia benar. Tapi kamu nggak perlu kuatir lagi."

"Tapi aku...."

"Jangan perlakukan kami seperti anak kecil lagi. Kami bisa mengurus masalah kami sendiri."

"Ya!"

"Aku tau kami peduli pada kami... tapi disaat yang sama, kami juga peduli padamu, Tuan Naofumi. Kita akan baik-baik saja jika kita bersama."

"Ya!"

"Kamu benar."

Raphtalia sudah tumbuh. Dia punya pemikiran sendiri dan perasaan sendiri, sepertnya kedewasaannya telah menyusul penampilannya. Aku nggak bisa memperlakukan dia seperti anak kecil lagi.

Kurasa kami sekarang adalah sebuah tim.

Mengkhawatirkan semuanya sendirian nggak akan bagus untuk semua orang. Aku nggak bisa membawa kedamaian pada dunia ini sendirian. Satu kali menghadapi gelombang kehancuran membuat hal itu terlihat jelas, dan itu lebih jelas lagi buatku, sang Pahlawan Perisai, yang bahkan nggak bisa menyerang sendiri.

Kalau kita ingin dunia yang damai, kita harus bersama-sama.

"Baiklah. Ayo lakukan.... bersama-sama."

"Oh! Master tersenyum!"

"Dia benar. Dan itu bukanlah senyum palsu yang aneh juga. Itu adalah senyum yang sebenarnya."

Mereka berdua tersenyum balik padaku.

Heh... Apa begitu? Apa aku nggak pernah senyum?

Terserahlah.

Aku tersenyum sekarang.

Karena aku punya teman yang bisa kuandalkan.

***