Kuburan Pavel terletak di daerah timur laut dari pegunungan luar Kota Deep Stone. Dulunya area tersebut merupakan area pertambangan kecil yang makmur, tapi teknik dan teknologi pertambangan masih belum terlalu canggih saat itu, dan sering terjadi tanah longsor. Banyak penambang yang terluka dan meninggal dalam pekerjaan mereka, dan mereka yang meninggal terkubur dalam tanah, tak pernah ditemukan lagi. Seiring waktu berlalu, area itu menjadi kuburan. Belakangan, seorang Bishop bernama Pavel mengumpulkan dana untuk membangun kuburan yang layak dan sebagai bentuk rasa terima kasih untuk kegiatan amalnya, tempat itu dinamai Kuburan Pavel.
Tapi tidak ada orang yang bisa memprediksi masa depan. Bishop yang dulunya mulia tersebut malah berubah menjadi seorang Necromancer yang terkenal dan kuburan itu pun menjadi wilayah kekuasaannya. Banyak orang yang heran mengapa hal tersebut terjadi, tapi Rhode sama sekali tidak tertarik. Dia hanya tertarik melawan musuhnya – entah itu demi membunuh ataupun menangkap mereka, kemudian menjarah harta mereka secepat mungkin. Lalu bagaimana dengan motif mereka? Hal itu bisa diselidiki setelahnya. Meskipun begitu, lebih baik tidak membuang waktu untuk melakukan hal yang tidak terlalu berguna.
Tidak lama kemudian, jalanan bagus dan terawat yang mereka lalui mulai menghilang. Satu-satunya jejak dari jalanan tersebut adalah beberapa keping batu yang retak. Jalur pegunungan memang sulit untuk dilintasi, tetapi bagi Rhode, hal yang paling menjengkelkan bukanlah itu, melainkan pria tua yang terus mengomel dari belakangnya.
"Ku bilang, Nak, apa maksudmu membawa kami ke tempat mengerikan ini?"
Walker mengeluh tanpa henti saat dia menatap pegunungan curam di depannya.
"Kuburan Pavel terletak di balik gunung ini. Kalau kau tersesat, aku bisa menunjukkan arahnya."
"Terima kasih atas niat baikmu."
Berjalan di depan kelompok kecil mereka, Rhode menahan keinginan untuk berbalik dan menolak 'usul' Walker dengan sinis.
"Aku pikir lebih baik kita lewat sini."
Lebih baik?
Mendengar jawaban Rhode, Walker hampir pingsan. Dia melihat jalan di depannya dan membandingkan jalan tersebut dengan jalan yang terletak di kaki gunung. Rute mana yang lebih baik? Perlukah merundingkan mana yang lebih baik?
Walaupun Walker merasa tidak puas dengan pilihan Rhode, dia menahan amarahnya dan tetap mengikuti pemuda itu. Rhode juga memberinya syarat untuk bergabung dalam kelompok ini, sama seperti Marlene. Jika Walker tidak bersedia mengikuti perintahnya, maka pemuda itu tidak akan berurusan dengan Walker lagi. Walaupun pria tua itu tidak yakin apakah Rhode serius atau tidak, dia memutuskan untuk bermain aman.
Rhode menggunakan baju pelindung biasa yang terbuat dari kulit dan berjalan di depan, Lize dan Marlene mengikutinya dari belakang. Jalur pegunungan yang curam tidak terlalu menghalangi jalan Lize dan Rhode; bahkan Marlene tidak terlihat kesulitan. Walaupun gadis bangsawan tersebut tidak terbiasa mendaki gunung, dengan dukungandari sihirnya, mendaki sebuah gunung bukanlah halangan besar baginya.
Mereka hampir sampai.
Di sudut, jalur pegunungan itu menyempit dan lebih berbahaya untuk dilalui. Namun Rhode memiliki rencana tersendiri. Dia membandingkan pemandangan yang ada di hadapannya dengan pemandangan yang tergambar dalam ingatannya, kemudian mengangguk.
Sebenarnya, dari awal Rhode tidak berencana menyerang teritori musuh secara frontal. Kuburan Pavel merupakan dungeon yang unik dimana setengah teritorinya terletak di atas tanah dan setengah lainnya di bawah tanah, yang terletak di pertambangan. Jika mereka menyerang secara langsung dari depan dengan kelompok yang hanya berisikan empat orang, mereka akan kelelahan melawan monster-monster biasa sebelum berhadapan dengan bosnya. Dalam keadaan seperti itu, jelas saja mustahil untuk menyelesaikan misi ini.
Karena itulah pemuda tersebut memutuskan untuk tidak menyerang secara langsung, karena dia punya rencana yang lebih baik.
Pemain bisa dideskripsikan sebagai orang-orang yang paling rajin sekaligus malas di dunia ini. Mereka disebut rajin karena gairah mereka akan petualangan jauh lebih tinggi dibandingkan penduduk asli di dunia ini. Entah itu sebuah lubang, sungai atau bahkan selokan, para pemain rela menghabiskan waktu mereka untuk menjelajahi setiap sudut dan celah dari sebuah dungeon dengan harapan menemukan beberapa harta berharga atau artefak demi meningkatkan kekuatan mereka. Dari sini, bisa dibilang bahwa bandit yang paling rakus sekalipun tidak bisa dibandingkan dengan mereka.
Sedangkan alasan mereka disebut malas – mereka cenderung mencari jalan pintas jika berhadapan dengan misi yang bertele-tele. Bahkan terkadang mereka memanfaatkan bug dalam game. Para pemain akan berusaha sebaik mungkin menyelesaikan sesuatu dalam waktu yang sesingkat mungkin. Jujur saja, para pemain hanya kurang suka mengikuti aturan yang ada dalam game dan lebih memilih untuk membuat jalan mereka sendiri.
Dan itulah yang dilakukan Rhode sekarang.
Alasan mengapa dia tidak mengambil jalan yang ada di kaki gunung adalah karena dia ingin menggunakan pintu masuk rahasia yang terletak di tebing gunung di atas. Di situ, ada sebuah lubang kecil dan dalam yang menuju ke arah Kuburan Pavel. Lubang itu dulunya digunakan sebagai jalan keluar para penambang dari terowongan gali. Jika Rhode menggunakan jalan tersebut, dia bisa memasuki Kuburan Pavel dengan mudah dan menghemat setengah perjalanannya.
-
Di sekitar tepi jurang gunung, angin dingin berhembus semakin kencang.
"Di sini."
Tidak jauh dari posisi mereka, ada sebuah lubang yang memiliki diameter tidak lebih dari dua meter. Rhode mengangguk puas sambil berjalan ke tepi lubang dan mengintip ke bawah. Tapi lubang itu terlalu gelap.
"Tunggu, Nak…apa maksudmu? Kau ingin kita semua melompat ke lubang ini?"
"Begitulah. Lubang ini terhubung dengan sebuah terowongan. Dengan melewati lubang ini, kita bisa langsung memotong setengah perjalanan."
"Bercanda kau!"
Walker mendengus tidak puas.
"Bagaimana caranya kau tahu bahwa lubang ini benar-benar terhubung ke sebuah terowongan, Nak? Jika kita melompat ke dalamnya dan jatuh di tengah kepungan monster-monster sialan itu lalu apa yang harus kita lakukan? Selain itu, bahkan jika kita berhasil membunuh Necromancer terkutuk itu, bagaimana caranya kita keluar dari sana?"
"Bodohnya."
Rhode tidak menjawab, tetapi terlihat sekali bahwa Marlene tidak senang melihat tingkah laku Walker.
"Tidakkah kau mengerti hubungan antara mayat hidup dengan Necromancer? Para mayat hidup bergantung pada sihir Necromancer untuk mempertahankan keberadaan mereka. Begitu kita berhasil membunuh sang Necromancer, maka para mayat hidup akan kembali menjadi tumpukan mayat biasa. Ini pengetahuan dasar…apa kau benar-benar seorang prajurit bayaran?"
"Sayangnya aku memang seorang prajurit bayaran, bukannya seorang Mage."
Setelah diejek oleh Marlene, Walker segera mundur dan menggerutu sendiri.
"Lagipula, siapa yang bakal mengerti pikiran-pikiran gila macam apa yang kalian miliki sebagai seorang penyihir eksentrik?"
"Gila?! Dasar kau –"
"Aku duluan, kalau begitu."
Dengan tegas, Rhode mengakhiri perselisihan kecil tersebut sebelum berubah menjadi perdebatan sengit.
"Kemudian Lize, lalu Marlene dan terakhir kau, Walker. Karena kau adalah veteran, kurasa kau tidak membutuhkan bantuanku." Kata Rhode, kemudian dia menghilang ke dalam lubang.
Angin dingin bertiup ke arah Rhode. Walaupun lubang itu cukup dalam, sekitar empat hingga lima meter, dengan Bantuan Burung Rohnya, pemuda itu bisa mendarat di tanah dengan halus.
"Wuushhh!"
Tiba-tiba, cahaya terang muncul di telapak tangan Rhode dan menerangi lorong gelap di hadapannya. Dia mengambil satu langkah ke depan dengan hati-hati dan setelah melihat bahwa tidak ada bahaya di depan, Rhode menghela napas lega. Di saat yang bersamaan, tiga orang lain mengikutinya dan melompat ke dalam lubang.
Dengan mudah, Lize dan Marlene menggunakan sihir mereka untuk melayang pelan ke bawah lubang. Dan meskipun Walker tidak bisa menggunakan sihir, dia adalah seorang veteran, dan ketinggian seperti ini bukanlah masalah baginya.
"Ayo bergerak."
Rhode berkata dengan suara pelan dan mengambil posisi garis depan.
Di dalam terowongan tua itu, hanya suara langkah kaki mereka yang bisa terdengar di tengah kegelapan. Seperti biasa, Lize mengambil peran sebagai 'mercusuar' dan menyihir cahaya suci yang menerangi jalan mereka berempat. Menuruti perintah Rhode, Marlene berjalan di samping Lize untuk membantu gadis itu mengurangi kemungkinan penyergapan mendadak. Si tua Walker mengikuti mereka tepat di belakang, karena posisi itu adalah posisi yang penting dan relative berbahaya. Jika musuh menyerang mereka dari arah belakang, situasinya akan berbahaya. Mereka butuh seorang veteran yang berpengalaman untuk menjaga mereka dari arah belakang. Karena Lize dan Marlene jelas tidak bisa menanggung beban itu, maka posisi penjaga belakang ditempati oleh Walker.
Lumpur terasa di bawah kaki mereka saat mereka berjalan.
Di bawah penerangan cahaya suci Lize, terlihat peralatan berkarat yang terbengkalai, gerobak tambang tua, kolom-kolom kayu yang berlubang, dan jaring laba-laba yang tersebar di tempat itu. Sesekali, angin sepoi-sepoi akan berhembus melalui terowongan tersebut.
Mendadak, sebuah aroma tajam tercium di udara.
"Lize."
Di ujung terowongan, Rhode mengamati terowongan gali yang terlihat kosong di depannya. Kemudian dia segera memberikan isyarat pada teman-temannya. Ketika Lize melihat isyarat tersebut, dia berhenti berjalan dan mengeluarkan sihir pelindung pada mereka berempat. Walker yang awalnya terlihat agak sembrono juga mencabut pisau dari pinggangnya; pupil matanya yang melebar bergerak ke sana kemari dengan waspada. Kemudian, dia berjongkok menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara gerakan di sekitar mereka. Meskipun prajurit bayaran tua ini terus mengeluh dan membuat mereka semua jengkel sepanjang perjalanan, akhirnya saat ini dia menunjukkan profesionalitasnya.
Marlene tidak bereaksi sampai dia melihat mereka semua memasang sikap waspada. Dia segera mencengkram tongkat sihir di tangannya, menunggu perintah Rhode. Namun, bukannya mengamati keadaan di sekitar mereka, mata Marlene justru tertuju pada punggung Rhode. Meskipun ada musuh di depannya, dia tidak bisa bertarung tanpa izin dari Rhode. Walaupun kedengarannya kejam, tapi setelah kegagalannya dalam duel melawan Rhode, Marlene tidak lagi merasa keberatan menghadapi situasi seperti itu. Empat orang itu pun melangkah maju ke depan dengan pelan.
Selangkah…dua langkah…tiga langkah..
"Krak!"
Tiba-tiba, sebuah lengan kurus muncul dari dalam tanah dan melaju ke arah mereka. Menghadapi serangan mendadak itu, Rhode yang sudah bersiap-siap dari tadi segera mengayunkan pedangnya. Cahaya pedangnya mengiris kegelapan di depan. Diikuti dengan pekikan yang tajam, lengan itu terbelah menjadi dua. Kemudian, tanah mendadak bergetar dengan kuat dan lengan-lengan yang kurus muncul dari tanah dan melayang terbang. Di saat yang bersamaan, mayat-mayat yang hitam dan kering merayap keluar dari bawah tanah.
"Marlene, es!"
"Ah? Baik!"
Mendengar perintah Rhode yang mendadak, Marlene sedikit terkejut. Kemudian dia segera mengangkat tongkat sihir dan mengarahkannya ke tanah.
"Caicy!" (Beku)
Sebuah kabut putih sedingin es berputar di ujung tongkat sihir Marlene yang perlahan-lahan menyebar ke udara di sekitarnya. Suhu di tempat itu mulai menurun drastis; partikel-partikel es muncul di udara. Para mayat hidup itu pun terkena pengaruh perubahan suhu yang mendadak dan gerakan mereka terhenti. Di saat yang bersamaan, sebuah api yang menyala terang muncul di pedang Rhode.
"Wooo…!!"
Di balik api itu, muncul seekor anjing hitam. Anjing itu menggeram ke arah musuh-musuh di depannya, dan menuruti perintah Rhode, dia melesat ke depan sambil menunjukkan taring dan cakarnya yang tajam.
"Marlene! Badai petir!"
Mendengar perintah Rhode selanjutnya, Marlene mengangguk dan mengangkat tangan kanannya. Percikan-percikan listrik mulai berderak mengelilingi jari-jarinya, dan dalam sekejap, sambaran-sambaran petir melesat ke arah kelompok mayat hidup itu. Badai petir tersebut memanggang tubuh mereka, dan efek sambaran itu membuat beberapa bagian-bagian tubuh mereka melayang. Setelahnya, area di depan mereka berempat kembali bersih dan kosong.
"Ini…"
Marlene menatap kejadian di depannya dengan rasa tidak percaya. Walaupun dia tahu kalau kekuatan sihirnya memang besar, dia tidak mengira bahwa efeknya akan sehebat ini! Selain itu, yang membuatnya merasa lebih senang adalah dia hanya menggunakan dua macam sihir – dan keduanya hanyalah sihir level rendah! Karena mereka tidak membutuhkan proses sihir yang lama, seharusnya kekuatannya tidak sehebat itu. Terlebih, Marlene juga tidak percaya jika…dia bisa menyihir selancar itu?
Proses sihir yang cepat dan lancar adalah kemampuan penting seorang Mage. Jika mereka bisa menyihir dengan lebih cepat, maka mereka bisa mengambil alih kendali pertempuran dengan mudah. Tapi tentu saja semuanya tidak segampang itu. Seorang Mage perlu mempelajari dan mengingat ratusan sihir yang berbeda. Memilih sihir yang tepat untuk digunakan dalam situasi tertentu dengan lancar dan mengeluarkan sihirnya dengan cepat bukanlah tugas yang mudah. Hanya ketika seorang Mage memasuki tahap Lingkaran Jiwa dan bisa mengontrol kemampuan mereka dengan lebih baik, barulah mereka bisa menyihir dengan lebih cepat dan lancar.
Tapi tetap saja, kemampuan Rhode untuk memberi perintah dan kepemimpinannya benar-benar sempurna dan melampaui dugaan Marlene.
Siapa pemuda ini sebenarnya?
Marlene menatap Rhode. Sama seperti Marlene, pemuda itu juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang sihir. Tapi entah kenapa, dalam pertarungan ini Rhode mampu memilih sihir yang paling tepat dan cepat dari semua sihir yang mampu dikeluarkan Marlene, sesuatu yang tidak dimiliki oleh gadis itu. Tidak semua orang bisa melakukan hal tersebut.
Apakah dia juga seorang Mage?
Kalau saja Rhode bisa mendengar pikiran Marlene, dia pasti akan menggelengkan kepala. Dia tidak pernah mengira bahwa mempelajari sihir ternyata sesulit dan serepot itu. Alasan Rhode mampu memberi perintah pada Marlene dengan tepat adalah karena dalam game, para pemain biasanya memilih untuk mengeluarkan sihir skala besar yang memiliki jangkauan luas untuk membersihkan gerombolan musuh, dan dia hanya memerintahkan Marlene untuk menggunakan sihir-sihir seperti itu. Prinsip kombinasi sihir? Rhode sama sekali tidak tertarik mempelajari hal-hal yang membosankan seperti itu.
Pertarungan itu berakhir dalam waktu lima menit.
Di balik selimut es tersebut, mayat-mayat hidup itu membeku dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sihir Marlene benar-benar membuat mereka tak berkutik sama sekali. Setelah beberapa saat, Rhode mengamati keadaan sekitarnya sekali lagi. Ketika dia melihat bahwa daerah itu sudah aman, dia menurunkan pedangnya dan membuat sebuah isyarat.
"Bersihkan tempat ini."
Lize dan Walker mengangguk dan segera berpencar. Di sisi lain, Marlene terlihat bingung. Kelihatannya dia belum mengerti maksud Rhode.
"Bersihkan?"
"Ya, bersihkan."
Rhode berkata dengan acuh tak acuh dan melangkah ke sisi sebuah mayat yang sudah tercabik-cabik, hanya menyisakan tumpukan tulang. Dia mengulurkan tangan dan mulai mencari-cari sesuatu.
"Periksa apakah ada sesuatu yang berharga di mayat-mayat ini kemudian serahkan padaku."
"J-j-jadi aku harus menyentuh mayat-mayat itu?!!"
Muka Marlene memucat.