He Jichen menghentikan gerakannya dan menggenggam tangan Ji Yi erat-erat, karena ia merasa bersalah. Dengan kelembutan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya, ia mengecupi kening, wajah, dan bagian bawah leher gadis itu...
Ia menunggu hingga tubuh Ji Yi perlahan mulai santai. Lalu, dicobanya lagi.
Ia tidak berani melakukannya dengan keras, takut jika melukai gadis itu. Diperlakukannya gadis itu dengan begitu lembut seolah ia adalah harta yang paling berharga di dunia baginya.
He Jichen menunggu hingga Ji Yi perlahan menyesuaikan diri dengannya sebelum bergerak lebih cepat.
Segala yang terjadi terasa bagai mimpi yang sangat indah, teramat indah untuk menjadi nyata. Setelah semua berakhir barulah ia berbaring, masih tak bisa mempercayai akan apa yang telah terjadi.
Setelah berdiam diri di atas tubuh Ji Yi cukup lama barulah ia memberanikan diri untuk memandang wajah gadis itu.
Wajahnya yang cantik begitu dekat dengannya, namun tangannya tetap terulur untuk membelai lembut wajah cantik itu. Baru setelah jari-jarinya merasakan kulitnya yang halus, Ia menyadari bahwa semua itu nyata.
Saat itu, ia menatap Ji Yi dengan penuh kelembutan dan kebahagiaan yang tak terbendung.
Ia tak dapat menahan diri dan membawa jemari gadis itu ke bibirnya. Sesekali ia memagut jari-jemari itu, mengecupnya dengan lembut.
Tubuh Ji Yi sedikit gemetar karena sentuhannya. Perlahan, gadis itu membuka mata dan memandangnya.
Ji Yi belum sepenuhnya sadar, tapi dalam keadaannya yang setengah mabuk, sepasang matanya yang gelap berkilauan memantulkan cahaya dalam ruangan.
Di saat itu pula, He Jichen menatap sepasang mata itu dan mabuk kepayang. Ia dapat melihat pantulan dirinya dengan jelas.
Entah berapa lama mereka saling menatap satu sama lain hingga tubuhnya perlahan menghangat. Percikan api di dadanya menggelora.
Ia kembali kehilangan kendali diri dan mencium bibir Ji Yi.
Gadis itu tidak melawan. Kali ini, Ji Yi tak lagi merasa tidak nyaman seperti sebelumnya. Tubuhnya terasa lebih lembut dan pasrah. Ia kemudian meletakkan tangannya ke pundak He Jichen.
Tubuh He Jichen bergetar hebat, lalu ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan memasuki tubuh gadis itu.
Dibandingkan dengan sebelumnya, yang kedua kali ini terasa lebih liar dan berlangsung lebih lama.
Ji Yi menggigit bibir bawahnya, dan ketika mereka berdua sampai pada puncaknya, gadis itu mengerang pelan.
Meski suaranya sangat pelan, He Jichen dapat mendengarnya dengan jelas.
Ia berhenti dan menatap gadis itu tanpa berkedip beberapa saat lamanya. Kemudian, ia membalikkan tubuh ke samping, menjauh dari tubuh Ji Yi yang terengah.
Gadis itu kelelahan. Begitu mereka selesai, ia menutup mata dan tertidur pulas.
Akan tetapi He Jichen sama sekali tidak merasa mengantuk. Bahkan ia sangat sadar.
Udara di dalam kamar dipenuhi aroma tubuh mereka. Dalam setiap tarikan napas, jantungnya bagai tersayat-sayat.
Saat itu adalah musim panas, dan karena gerakan-gerakan intens yang dilakukannya, sekujur tubuhnya bermandikan keringat. Namun He Jichen merasa tubuhnya baru melewati hujan salju dan es, dan hawa dingin menjalari tulang sumsumnya.
Ia tidak berlama-lama di kamar itu. Pemuda itu segera melompat turun dari ranjang, mandi, berpakaian, lalu pergi.
Teman-teman sekelasnya yang sebelumnya berada di ruangan privat di lantai dua sudah pergi. Seorang diri menyusuri jalanan malam itu, He Jichen memandangi cahaya lampu jalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Kata-kata yang keluar dari bibir Ji Yi saat berada di bawah tubuhnya, dengan suara pelan dan mendayu itu- kembali terngiang di telinganya.
...
Sembari berdiri di balkon rumahnya, He Jichen terbayang kembali akan masa lalunya bersama Ji Yi. Saat tersadar dari lamunannya, ia segera menghentikan pikirannya.