"Lebih baik aku tinggal dalam radiusmu, jika hatiku tak kudapatkan kembali, maka biarlah menjadi milikmu."
"Kau boleh memilih untuk mencintaiku ataukah tidak, aku tetap milikmu bagaimanapun juga."
Ketika menyanyikan bagian itu, mata He Jichen tiba-tiba terangkat dan perlahan tertuju kepada Ji Yi.
Kebetulan Ji Yi juga sedang melihat ke arahnya. Ketika pandangan mereka bertemu, pemuda itu melanjutkan liriknya: "Karena aku mencintaimu, dan itu tidak ada kaitannya denganmu."
Dia dulu terlalu keras kepala, terlalu angkuh. Meski ia sudah menyesalinya sejak lama, tetapi tak berani mengakuinya. Dia terus mengulur waktu. Dia tetap menahannya, saat Qian Ge menyerang Ji Yi ketika gadis itu sedang tidak waspada. Dia terus menahannya ketika Ji Yi terbaring di ranjang dalam keadaan koma selama tiga tahun. Dia terus menahannya, bahkan setelah dia pindah kuliah ke universitas B-Film. Ia tetap tidak bersedia meminta maaf pada gadis itu.
Dia menunggu sampai melihat Ji Yi melukai dirinya sendiri demi melawan Qian Ge. Dia menunggu sampai mengetahui bahwa Ji Yi hampir kehilangan nyawa karena dirinya, sebelum akhirnya hatinya melunak dan bersedia meminta maaf pada gadis itu.
Dia-lah yang terlalu lambat menjadi dewasa. Dia terlambat menyadari kesalahannya, dan terlambat untuk belajar tentang cinta…
…Dalam prosesnya "menyukai" hingga jadi "mencintai", dia telah membuat Ji Yi mengalami rasa sakit dan penderitaan yang begitu dalam.
Dia sangat ingin mengucapkan kata-kata itu kepada Ji Yi. Akan tetapi ketika akhirnya ia menyadarinya, hubungan mereka sudah sangat jauh, dan Ji Yi sudah berhenti mempercayai kata-katanya.
Dia tidak suka menyanyi, ataupun pernah menyanyi. Tetapi lagu ini adalah sebuah ide yang muncul di benaknya.
Dia hanya ingin mengucapkan kata-kata yang ada di benaknya tadi saat berada di balkon, maka ia pun menyampaikannya melalui sebuah lagu untuk didengar gadis itu.
"Cintaku merebak dalam radiusmu."
Ketika musik berhenti, satu-satunya yang terdengar adalah suara lembut He Jichen melalui mic.
"Begitu dekat, aku bisa mendengar tarikan napasmu."
Matanya masih menatap Ji Yi lekat-lekat, sarat dengan emosi. Ketika bernyanyi, semua emosi itu perlahan mengalir keluar dari dalam tubuhnya.
"Apabila kau ingin kembali, aku akan ada di sini."
Ji Yi… sampai saat ini, aku baru mengerti bahwa cintaku padamu sudah sempurna. Tidaklah penting apakah kau mencintaiku atau tidak.
Nyanyiannya berhenti, dan musik yang lembut kembali mengalun.
He Jichen tidak menjauhkan mic dari bibirnya. Pemuda itu tak bergeming sembari pandangannya terus terpaku pada Ji Yi.
Meskipun jarak mereka cukup jauh. Ji Yi dapat merasakan dengan jelas perasaan yang membara yang terpancar dari sepasang mata pemuda itu, seolah kehangatan dan cahaya seisi ruangan terpancarkan lewat sorot matanya.
Ji Yi tidak yakin apakah itu hanyalah sebuah ilusi, tetapi ia merasa sepasang mata He Jichen seakan berbicara kepadanya.
Gadis itu membalas tatapannya, dan tanpa sadar terpesona olehnya…
Pada akhir lagu, He Jichen perlahan mengulangi lirik yang juga merupakan isi hatinya sekali lagi.
Dia tahu bahwa dia sedang bernyanyi untuk satu-satunya wanita yang ada di matanya.
"Lebih baik aku tinggal dalam radiusmu, jika hatiku tak kudapatkan kembali, maka biarlah menjadi milikmu."
"Kau boleh memilih untuk mencintaiku ataukah tidak, tetapi aku tetap adalah milikmu, bagaimanapun juga."
"Apabila kau ingin kembali, aku akan ada di sini. Karena aku mencintaimu, dan itu tidak ada kaitannya denganmu."
Ketika mengucapkan kalimat terakhir, mata He Jichen mulai berkaca-kaca."
"Xiao Yi, aku akan menunggumu dalam tahun-tahun yang belum kita habiskan bersama."
"Xiao Yi, aku jatuh cinta padamu saat kau tak menyadarinya."
"Ada pepatah yang sangat kusukai yang aku yakin kau tidak tahu: 'Dalam namaku, ada nama margamu.'"
Alunan musik berhenti.
Seisi ruangan menjadi sangat hening. Bahkan tidak ada suara tarikan napas.
Setelah sekitar satu menit, seseorang tersadar dari pesona nyanyian He Jichen, dan mulai bertepuk tangan.
Diikuti oleh tepukan tangan dari semua yang hadir di ruangan itu, dan mereka pun mulai bersorak sorai.
Di tengah-tengah keriuhan itu, sepasang mata He Jichen dan Ji Yi masih saling bertaut, tak bergeming.