Ji Yi menahan napasnya dengan paksa. Gadis itu berdiri tanpa daya, tak bergeming layaknya patung.
Meski dalam kenyataannya— Ji Yi hanya berdiri di sana selama beberapa detik, namun kejadian yang berlangsung di hadapannya terasa begitu lama dan rumit, bagai seabad lamanya.
Gadis itu berusaha untuk mengendalikan emosinya agar tak sepenuhnya kehilangan kendali dan menangis sejadi-jadinya. Perlahan, ia melepaskan cengkraman tangannya di lengan baju He Jichen dan berdiri tegak.
Ji Yi tidak menangis ataupun berteriak. Ia bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun seakan He Jichen tidak berdiri di hadapannya. Ia berpaling begitu saja, dan pergi meninggalkan gang itu.
Ia berusaha keras mengendalikan langkah kakinya untuk menghindari hal memalukan lainnya. Akan tetapi, langkahnya semakin lama semakin cepat tak terkendali. Beberapa langkah kemudian, dari arah belakangnya, He Jichen kembali berkata, "Oh- dan kalau bisa, Aku harap kau tidak akan pernah menunjukkan wajahmu di depanku lagi."
Sesaat kaki Ji Yi terasa lemas. Ia hampir terjatuh, namun pada saat-saat terakhir, ia bergegas berlari hingga mencapai jalanan.
Dengan segera, Ji Yi sudah berlari cukup jauh sebelum akhirnya berhenti. Seolah tak merasa kelelahan, ia hanya berdiri di tepi jalan dengan linglung. Baru setelah ia merasakan tatapan aneh dari orang-orang yang melihatnya, ia ingat bahwa pakaiannya masih rusak terkoyak.
Kata-kata He Jichen kembali terngiang di telinganya, dan saat itulah rasa sakit yang tak terkira menjalar ke sekujur tubuhnya. Dengan kepala tertunduk, Ji Yi bergegas kembali ke asrama sekolah.
Karena sudah hampir waktunya untuk tidur, teman-teman sekamar Ji Yi telah kembali ke asrama. Ketika mereka melihatnya, mereka langsung membanjiri gadis itu dengan segudang pertanyaan.
"Ji Yi, apakah kau menemukan lelaki impianmu dan menyatakan perasaanmu padanya? Apakah berhasil?"
"Ji Yi, kau sudah resmi berkencan sekarang, kan? Selamat ya..."
"Hm? Ji Yi, apa yang terjadi dengan pakaianmu?"
Mata Ji Yi terasa perih, namun ia tetap tak bersuara. Dia langsung masuk ke kamar mandi, menutup dan mengunci pintunya dengan rapat, lalu menyalakan keran. Bersama dengan suara gemericik air yang mengalir, ia akhirnya kehilangan seluruh kekuatan tubuhnya dan jatuh ke lantai. Dengan menundukkan kepala di antara kedua lututnya, Ji Yi mulai menangis tersedu-sedu.
Cinta pertamanya, kepolosannya, semua terkubur hidup-hidup begitu saja.
Kisah cintanya bahkan belum dimulai, namun dia sudah merasa benar-benar kalah.
-
Karena He Jichen meminta Ji Yi untuk tak lagi muncul di hadapannya, hal itulah yang benar-benar dilakukan Ji Yi.
Begitu ujian untuk masuk kuliah selesai, Ji Yi yang telah tinggal bersama neneknya sejak SMP itu pun bersiap untuk berangkat. Dia yang belum sempat menghabiskan masa mudanya di Beijing segera memesan penerbangan ke kota di mana orang tuanya tinggal itu.
Beberapa tahun berlalu dan dunia hanya sedikit mengalami perubahan. Tak terasa sudah empat tahun lamanya semenjak Ji Yi tiba di Beijing.
Pada saat masih berada di kota yang sama, Ji Yi dan He Jichen tak pernah berpapasan. Dalam empat tahun terakhir, mengingat bahwa kini mereka tinggal di kota yang berbeda, keduanya semakin tidak pernah bertemu.
Menjelang Oktober, kota Beijing menjadi lembab seperti biasanya, membuat orang-orang merasa sulit bernapas.
Hanya karena menuruni tangga untuk mengambil surat-suratnya dan berdiri di luar tak lebih dari dua menit— sudah membuat Ji Yi basah kuyup karena keringat.
Karena tak suka berkeringat, Ji Yi bergegas kembali ke asrama. Sebelum mulai membuka surat-suratnya, hal pertama yang dilakukannya justru mengambil handuk dan piyama, lalu pergi mandi.
Teman-teman sekamarnya tidak ada, sehingga Ji Yi sendirian di asrama. Setelah keluar dari kamar mandi dan mengeringkan rambutnya, dia naik ke tempat tidur dan melanjutkan menonton film karena bosan. Setelah film berakhir, rasa kantuk menghampiri gadis itu. Karena teman sekamarnya belum kembali, Ji Yi meletakkan ponselnya dan tidur.
Karena tidak menyalakan alarm, Ji Yi tidur siang cukup pulas dan lama. Ia baru terbangun ketika ponselnya berdering.