Setelah melihat anggukan He Jichen, Chen Bai kemudian berbalik pada Ji Yi. "Nona Ji, saya pergi dulu."
"Silahkan," jawab Ji Yi dengan suara begitu pelan sehingga sulit didengar.
Chen Bai tidak merasa keberatan dan dia tersenyum ramah pada Ji Yi, lalu berjalan memutari Ji Yi dan segera pergi dari kamar suite He Jichen.
Ketika pintu tertutup dengan pelan di belakang Ji Yi, jemari Ji Yi yang memegang tas bungkusan makanan, langsung gemetar.
Entah apa yang ada dalam benak He Jichen, tetapi setelah Chen Bai pergi, pandangannya tertuju pada wajah Ji Yi tanpa mengatakan apa pun.
Dalam hati Ji Yi merasa sangat gugup karena dia belum memikirkan apa yang hendak dikatakannya. Kini saat He Jichen memandanginya seperti itu, dia menjadi sangat gugup dan otomatis menunduk melihat kakinya sendiri.
Tanpa adanya sang sekretaris, Chen Bai, di dalam kamar itu, suasana seketika menjadi jauh lebih hening dan atmosfir ruangan seolah membeku.
Selain suara dari AC, tidak ada suara lain di dalam kamar.
Meskipun Ji Yi tidak melihat pada He Jichen, dia masih dapat merasakan pandangannya yang tertuju pada dirinya. Tarikan napasnya yang gugup semakin tidak stabil, dan ketika dia sudah tidak tahan lagi, He Jichen, yang sejak tadi diam, tiba-tiba mendeham.
Ketika mendengarnya, gadis itu spontan mendongak dan melihat He Jichen menunjuk ke arah sofa di sampingnya. "Duduk."
Ji Yi dengan pelan berkata "oh" dan terus berdiri selama dua detik sebelum akhirnya berjalan ke arah sofa. Dia menemukan tempat yang cukup jauh dari He Jichen dan kemudian duduk. Lalu dia menambahkan, "Terima kasih."
He Jichen tidak menjawab ucapan terima kasihnya, tetapi mengangkat dagunya untuk menunjuk pada beberapa botol air mineral di atas meja di depannya. "Ada air minum di sana."
Ji Yi tahu bahwa dia bermaksud menyuruhnya minum air, maka ia pun mengangguk dan bersuara pelan, "Mhm."
He Jichen mungkin mengira bahwa dia datang untuk mengatakan suatu hal yang sangat penting. Dengan suara yang biasa, pemuda itu melanjutkan dengan berkata, "Tunggu sebentar."
Ji Yi kembali menjawab dengan "Mhm."
He Jichen tidak mengatakan apa pun sembari kembali menunduk dan melanjutkan membuka perban di tangan kanannya.
Ji Yi duduk di sofa itu dengan patuhnya dan memutar otak untuk mencari alasan jika He Jichen bertanya mengapa ia datang menemuinya.
Kamar itu kembali hening.
Setelah sekitar lima menit, Ji Yi mengerutkan kening dengan kesal karena masih belum mendapatkan alasan yang bagus. Setelah berpikir untuk menyerah, ia lalu menoleh ke arah He Jichen.
Laki-laki itu telah membuka perbannya. Ketika pertama kali diperban, luka itu pasti masih mengeluarkan darah, sebab perbannya penuh dengan noda merah.
Ada dua sayatan yang dalam pada tangannya hingga dagingnya terlihat. Lukanya terlihat cukup parah.
Segulung perban baru, pinset, bola-bola kapas, alkohol, dan beberapa botol putih kecil yang entah apa isinya, ditempatkan di meja di dekat lengan kiri He Jichen. Ji Yi menebak bahwa botol putih itu mungkin adalah salep untuk luka.
Sepertinya He Jichen bersiap-siap untuk mengganti perbannya sendirian.
Setelah membuang perban lama ke dalam tempat sampah di sampingnya, dia mengambil pinset dengan tangan kiri untuk mengambil bola kapas.
Sama seperti ketika dia mencoba mengambil makanan dengan tangan kirinya, dia kini berusaha keras mengambil bola kapas it. Karena terbiasa memakai tangan kanan, ketika mencoba mencelupkan bola kapas ke cairan alkohol, dia justru menjatuhkannya ke dalam botol.