Ji Yi tidak sedang melakukan apapun, lalu mengapa ia memiliki pena perekam di tangannya?
Sebersit kecurigaan melintas di benak He Jichen. Ia ingin bertanya, tetapi pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia hanya mengerutkan kening, berpura-pura tidak melihat apa pun, dan keluar dari kamar.
Pertama-tama, He Jichen memasak bubur congee. Sementara bubur sedang dimasak, He Jichen pergi ke ruang makan untuk mengambil sejumlah gula merah dari toples. Ia menuang gula ke dalam segelas air panas, lalu membawanya ke kamar.
Ji Yi belum tidur, tetapi ia sedang duduk bersandar pada kepala ranjang dan mencari-cari charger di dalam tasnya.
Ia mendengar suara pintu terbuka, dan secara refleks melihat ke arah pintu. Pada saat yang bersamaan, He Jichen melangkah masuk ke dalam ruangan.
Mereka berdua saling bertukar pandang selama tiga detik sebelum Ji Yi buru-buru menundukkan matanya, mencolokkan charger ke soket di dinding dan menghubungkannya ke ponsel.
Gadis itu lalu meletakkan ponselnya, sementara He Jichen berhenti di samping tempat tidur.
Karena dia baru saja selesai menangis, kedua mata Ji Yi terlihat sebesar buah persik. Ji Yi mungkin menyadari bahwa saat itu dirinya kurang enak dipandang, karenanya Ji Yi hanya melirik sekilas pada He Jichen, lalu menunduk dan dengan suara pelan berkata, "Kak Yuguang."
Dibandingkan dengan sebelumnya, suara Ji Yi kini terdengar lebih normal. Dia pasti merasa jauh lebih baik.
He Jichen merasa jauh lebih tenang ketika menyodorkan sop manis itu ke depan Ji Yi, memberinya isyarat agar meminumnya. Kemudian dia merogoh sakunya dan mengetik pesan di layar ponselnya dengan cepat: "Minum sop manis ini untuk menghangatkan badan."
Mungkin karena kemarin He Jichen telah membuatnya sangat hancur dan terluka sehingga Ji Yi terpaksa berdiam di sana sendirian untuk waktu yang lama, maka kini "He Yuguang" yang menunjukkan perhatiannya dengan tindakan sederhana, dengan mudah mampu menghangatkan hati Ji Yi. Ia menerima sup manis itu, mengangguk, lalu berkata dengan suara pelan, "Terima kasih, Kak Yuguang."
Bubur masih dimasak di dapur, jadi He Jichen tidak berlama-lama di kamar karena kuatir buburnya akan gosong. Ia mengetik di ponselnya untuk memberitahu Ji Yi. Tetapi ketika hendak pergi, He Jichen teringat bahwa ia baru memanaskan sup manis itu, maka dengan sedikit gelisah, ia mengetik sebuah peringatan: "Hati-hati, masih panas."
Ji Yi melihat kalimat itu dan tertegun untuk sesaat. Kemudian ia menyadari bahwa He Jichen menunjuk ke arah sop di tangannya. Hati Ji Yi bergetar dan jemarinya menggenggam gelasnya dengan erat. Ji Yi memberi "He Yuguang" seulas senyuman lembut dan berucap, "Mhm."
Ji Yi mendekatkan mulutnya pada bibir gelas untuk menyeruput sop manis itu.
Rasa manis yang hangat melewati kerongkongannya dan mengisi perutnya. Kehangatannya lantas menjalar ke sekujur tubuh Ji Yi.
He Jichen berdiri di samping ranjang dan untuk beberapa saat menatap Ji Yi yang menundukkan kepala, meminum sup hangat itu sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kamar.
Ketika menutup pintu, pandangannya menyapu wanita muda yang duduk di ranjang itu. Dari sudut mata, ia melihat pena perekam yang ada di samping bantalnya. He Jichen berdiri di sana selama dua detik sebelum akhirnya beranjak ke dapur.
Ketika selesai memasak, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit.
He Jichen membuka pintu kamar dan hendak memanggil Ji Yi ketika ia menyadari bahwa gadis itu sudah terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam, tertidur pulas.
He Jichen buru-buru menahan diri agar tidak bersuara, lalu pelan-pelan menghampiri ranjang. Dia menyelimuti tubuh Ji Yi rapat-rapat dan berniat kembali ke dapur untuk menjaga agar makanannya tetap hangat ketika Ji Yi terbangun. Saat pemuda itu menegakkan punggungnya, Ji Yi membuka mata. "Kak Yuguang?"
Apakah aku membangunkannya?
He Jichen mengerutkan kening dan segera meraih ponselnya.
Sebelum sempat membuka kunci layar ponsel, Ji Yi sepertinya mengerti dan berkata, "Aku agak lapar, jadi aku tidak bisa tidur pulas. Aku terbangun saat kau menarik selimutnya untukku."