Ji Yi sontak berbalik ke arah sumber suara itu-- yang berasal dari sebuah mobil Audi yang tanpa ia sadari telah berhenti di sampingnya.
Ji Yi masih kuatir bahwa Ibunya akan menelepon Ibu He Jichen, maka sambil melirik ke arah mobil Audi yang jendelanya terbuka itu dengan rasa penasaran, ia melanjutkan berbicara dengan sang Ibu untuk mempertegas maksudnya, "Bu, aku serius. Lebih baik aku dipasangkan dengan siapapun selain Dia!"
Sebelum Ji Yi dapat melihat sosok yang duduk di belakang kemudi—tidak cukup waktu baginya untuk mengetahui apakah sosok itu lelaki atau perempuan—mobil itu tiba-tiba saja melaju kencang. Hembusan angin dingin menerpanya, memaksa Ji Yi mundur dua langkah.
Mobil Audi itu melaju dengan begitu kencang sehingga ia tidak sempat melihat Plat nomornya sebelum menghilang dari pandangan.
Ji Yi tidak yakin apakah itu hanya imajinasinya saja, tapi mobil Audi itu sepertinya tidak asing...
Ji Yi mengerutkan kening. Tiba-tiba, perasaan yang akrab menyapunya.
Dari seberang telepon, Ibunya terus mengoceh. Karena Ji Yi tidak menjawab, ia pun berbicara lebih keras, "Xiao Yi?"
Ji Yi segera tersadar dan melanjutkan pembicaraan dengan sang Ibu untuk beberapa saat lamanya sebelum akhirnya menutup telepon.
Begitu menaiki taksi yang telah dipesannya, ia menatap kilauan cahaya lampu-lampu malam dari jendela. Sekonyong-konyong, Ji Yi menyadari bagaimana mobil Audi itu mempengaruhi perasaannya. Ia merasakan hal yang sama seperti beberapa tahun yang lalu, ketika menyatakan perasaannya pada He Jichen malam itu, sebelum laki-laki itu menariknya dengan kasar ke sebuah gang.
...
Mobil Audi itu melaju dengan kencang sampai cukup jauh sebelum akhirnya memberikan tanda berhenti darurat di sisi jalan.
Sebuah mobil yang datang dari arah berlawanan menyalakan lampu sorotnya saat kian mendekat ke arahnya. Lampu sorot yang terangnya menusuk mata itu sekilas menerangi kaca depan mobil Audi dan menerangi wajah He Jichen.
Pemuda itu tidak menunjukkan sedikit pun emosi ketika bersandar di kursinya dalam diam. Ia menatap lurus ke arah jalanan di depannya dengan sorot mata yang suram-- ketika secercah cahaya melintas sejenak di matanya. Seakan-akan ia teringat akan suatu hal, lalu kemudian memutuskan untuk tidak memikirkan apa pun lagi.
Setelah beberapa saat berlalu, telepon di mobilnya berdering. Ia meraihnya dan melirik sekilas pada layarnya, sesaat terbersit ketidaksabaran di matanya ketika melihat nama yang tertera, "Lin Ya".
Telepon berdering tanpa henti. Ia mengerutkan kening dan akhirnya menjawab telepon dengan tenang, "Lin Tongxue
Setelah menutup telepon, He Jichen masih duduk di dalam mobil itu untuk beberapa saat lamanya. Lalu, perlahan ia menginjak pedal gas dan dengan lihai kembali mengemudikan mobil ke jalan raya.
...
Lin Ya dan yang lainnya masih belum kembali, jadi kamar asrama gelap-gulita.
Ji Yi menyalakan lampu dan langsung menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Ji Yi melihat jam—baru jam Sembilan lewat. Ia meraih buku yang belum selesai dibacanya sore itu, naik ke ranjang, dan melanjutkan membaca.
Baru saja ia tenggelam dalam bacaannya, telepon asrama berdering. Kring-kring-Kring-kring.
Semua penghuni asrama memiliki ponsel mereka masing-masing, jadi telepon asrama tidak digunakan sama sekali. Jika Ji Yi tidak salah ingat, tidak ada yang menghubungi telepon itu selama lebih dari setengah tahun ini. Aneh sekali… Dengan pikiran itu di benaknya, Ji Yi meletakkan bukunya dan turun dari ranjang.
Karena tadi dia sedang membaca sambil mengunyah sepotong permen rasa wijen, ia tidak dapat segera berbicara saat mengangkat telepon.
Setelah beberapa saat lamanya, karena tidak ada suara sapaan, orang yang menelepon berkata singkat, "Halo?"
Ji Yi tiba-tiba berhenti mengunyah, dan jemarinya yang menggenggam telepon seakan mati rasa.
Suara itu, ia bisa mengenali suara itu meski laki-laki itu telah berubah menjadi abu. Tapi, mengapa He Jichen menelepon nomor asrama?
Karena belum juga ada yang menjawab, He Jichen kembali berucap "halo" dari seberang telepon.