Lu Yanchen bahkan tidak berpura-pura berpikir terlebih dahulu, dan langsung mengangguk. "Ya."
Segera saja Shi Guang mengerutkan dahi dan menggembungkan pipinya seperti bakpao. Melihat hal itu, Lu Yanchen mencubit pipi bakpaonya. "Hanya kau yang aku punya."
"Kau tidak pernah punya siapa-siapa sebelumnya? Benar, sekarang aku satu-satunya. Bahkan kalaupun dulu kau tidak punya orang lain, bukan berarti kau tidak akan punya orang lain juga di masa depan," Shi Guang menjawab dengan tidak senang.
"Nggak… baik di masa lalu, atau di masa depan. Kau akan menjadi satu-satunya." Setelah mengatakan hal itu, ia meraih tangan kecil Shi Guang, membuatnya seakan sedang membangun sebuah kastil megah untuk melindungi Shi Guang dan menjaganya tetap hangat.
"Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Mungkin kita akan putus? Bukannya kalau begitu kau akan punya pacar lagi?"
"Kita tidak akan putus."
"Tapi bagaimana kalau ya? Misalnya?"
"Kalau begitu aku tidak akan mencari yang lain."
"Kalau begitu, kalaupun kita putus, kau masih akan memperlakukanku seperti ini? Kau masih akan membantuku kalau ada yang merundungku?"
"Yep!"
Mendengar itu, Shi Guang dipenuhi kebahagiaan, dan mengangkat tangan Lu Yanchen yang menggenggamnya dan menciumnya. Ia lalu melompat ke pelukan Lu Yanchen dan menjawab dengan bahagia, "Kenapa kau sangat bodoh? Kenapa kau masih mau membantuku kalau kita putus? Kau akan rugi!"
Lu Yanchen menunduk dan melayangkan ciuman ke dahi Shi Guang, lalu tersenyum samar, "Kalau untukmu, aku rela!"
Hal yang paling sulit didapatkan di dunia ini adalah kerelaan Lu Yanchen. Tapi bagi Shi Guang saat itu, ia bisa mendapatkannya dengan mudah.
Meski begitu, Shi Guang tidak tahu apakah Lu Yanchen membantunya dalam insiden dengan He Xinnuo ini karena janjinya waktu itu. Ia memukul kepalanya sendiri, dan menghela napas berat, mempercepat langkahnya, lalu berlalu pulang ke apartemennya. Saat itu, ia sudah terengah dan berkeringat dari ujung kepala hingga ujung kaki—bahkan rambut dan pakaiannya pun basah kuyup.
Apapun alasannya, Lu Yanchen masih membantunya.
Ia berhutang sesuatu yang besar padanya. Bukan, dua hal besar! Malah, semuanya akan baik-baik saja kalau Shi Guang tidak tahu. Tapi karena ia terlanjur mengetahuinya, bisakah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa?
Tentu saja tidak!
Tapi dia tidak mau pergi ke tempat Lu Yanchen dan memberikan terima kasih dalam bentuk apapun lagi. Ia mempertimbangkan fakta bahwa Lu Yanchen memilih untuk tidak muncul, dan membiarkan Zhang Shulin mengurus insiden ini saja sudah mengindikasikan bahwa ia tidak ingin Shi Guang tahu soal ini, dan tidak membutuhkan rasa terima kasihnya.
Dulu, ketika Shi Guang mulai mengajarkannya berenang, Shi Guang sangat enggan. Setelah Shi Guang berganti pelatih, ia melonggarkan pendiriannya, karena ia ingin menantang batasan dirinya sendiri. Tapi ia masih merasa enggan di dalam hatinya, dan tidak bisa sepenuh hati membantu Lu Yanchen.
Tapi sekarang, Shi Guang dengan tegas berkomitmen untuk membantu Lu Yanchen sepenuh hati agar ia bisa mengatasi rasa takutnya akan air. Bahkan kalaupun tidak ada yang membayarnya, ia masih ingin membantu Lu Yanchen.
Karena Lu Yanchen telah membantunya, ia harus membalasnya.
…
Keesokan harinya, Lu Yanchen menghadiri latihan bersama Shi Guang. Di area parkir klub, Shi Guang bertemu dengannya.
Kalau ini adalah masa lalu, Shi Guang pasti sudah bersikap seperti tidak melihat Lu Yanchen. Tapi kali ini, ia tersenyum dan menghampirinya dengan wajah gembira, "Kebetulan sekali, Tuan Muda Lu!"
Lu Yanchen mengerutkan dahi.
Ia adalah orang yang bisa menutupi emosinya dengan sangat baik, dan biasanya tidak akan membiarkan ekspresi seperti itu terlihat di wajahnya. Namun Shi Guang bersikap sangat aneh hari ini—melihat ia sangat ramah seperti itu.
Apa dia kerasukan?
Lu Yanchen mengacuhkannya dan terus berjalan dengan dingin. Shi Guang lalu mengikuti di belakangnya dan berkata, "Benar sekali, aku telah menyusun rencana pembelajaran untukmu. Sebelum kita mulai, kita harus membahasnya terlebih dahulu."
Lu Yanchen melirik Shi Guang sekilas; dan melihatnya, Shi Guang langsung mengeluarkan senyum yang ia rasa sebagai senyum yang sangat percaya diri, "Sebenarnya, harusnya aku sudah menyiapkan rencana pembelajaran ini sejak lama. Tapi aku terlalu sibuk, jadi aku mengundurnya sampai hari ini."
Dia tidak sibuk. Dia bahkan tidak ingin menyusunnya sejak awal.