Tatapan Lu Yanchen dan Chu Mubei bertemu. "Bahkan dengan makanan sebanyak itu di mulutmu, kau masih tidak bisa diam."
Chu Mubei menaikkan alis.
Bisa dibilang ia pandai menilai suasana hati orang lain. Dengan sekali pandang, ia bisa menebak pikiran macam apa yang ada di benak mereka, dan membaca mereka seperti membaca buku. Termasuk juga ayahnya di rumah, yang perubahan suasana hati dan amarahnya adalah dua hal yang dapat ia tebak dengan mudah.
Akan tetapi, hanya Lu Yanchen yang suasana hatinya sama sekali tidak bisa ia baca; ia tidak bisa menebak apa yang dipikirkan orang ini.
'Kau, 'kan, menyukainya. Kenapa kau tidak bisa lebih lembut padanya? Memangnya kau akan mati kalau melakukannya? Tidak, 'kan! Kenapa malah dingin dan kaku seperti ini? Mencoba tarik ulur?'
Tapi sepertinya bukan itu alasannya—Chu Mubei tidak bisa menebak sama sekali!
Setelah mengambil nasinya, Shi Guang duduk, lebih dekat dengan Chu Mubei daripada Lu Yanchen.
Chu Mubei langsung terkekeh, "Lu, Kawan, sepertinya aku tetap yang lebih dipilih oleh para cewek."
Lu Yanchen mengabaikannya dan melanjutkan makannya. Tidak peduli, Chu Mubei menatap Shi Guang dan bertanya, "Shi Guang, aku masih tidak tahu kau masuk di sekolah mana."
Tanpa menunggu jawaban Shi Guang, Lu Yanchen menyela, "Jangan bicara saat makan."
Meskipun Shi Guang tetap tinggal untuk makan, ia merasa canggung. Kata-kata Lu Yanchen tadi sangat cuek dan tidak ramah—tak ada sedikitpun rasa tidak suka di dalamnya—tapi jantung Shi Guang masih berdegup kencang.
Ia menelan nasinya dengan bersusah payah sambil melirik Lu Yanchen dengan was-was.
Lu Yanchen sedang fokus ke makanannya, gerakannya halus dan elegan. Menundukkan pandangannya, wajahnya sama sekali tanpa ekspresi sampai perasaan aslinya tidak bisa ditebak.
Shi Guang melihat ke arah Chu Mubei dan menjawab pelan, "Aku di Universitas Keolahragaan Ryonan!"
Begitu suaranya terdengar, tatapan dingin Lu Yanchen beralih kepadanya. Dengan refleks, Shi Guang terdiam dan makan dengan hati-hati.
Ketika ia menyadari perbuatannya, ia menampar dirinya sendiri di dalam hati. 'Sial, apa aku benar-benar tidak berguna? Apa yang kutakutkan? Bahkan kalaupun Lu Yanchen adalah 'daddy'-ku, aku harusnya tidak setakut ini.'
'Oke! Lagipula, 'daddy' memang sedang tren akhir-akhir ini.'
'Sialan, Lu Yanchen cabul!'
Shi Guang menyesal tidak menyakiti Lu Yanchen dengan benar ketika mereka masih bersama. Jelas, Lu Yanchen yang memintanya putus, tapi dia malah berpura-pura marah… seakan Shi Guang yang menyakitinya.
Apa hal yang ia lakukan yang menyakitinya? Kecuali…,
Suara Chu Mubei menyela pikiran Shi Guang.
"Lu, kau kenapa? Sangat membosankan kalau makan tanpa mengobrol."
Lu Yanchen menatapnya dengan tatapan antara tersenyum dan tidak, lalu mengejeknya, "Aku ingat terakhir kali kau berpacaran dengan tiga orang perempuan sekaligus. Waktu itu, mereka semua mencarimu dan kalian makan bersama, 'kan? Saat makan, bukankah kau yang bilang 'jangan bicara saat makan'?"
Chu Mubei nyaris tersedak dan menunjuk Lu Yanchen. "K-kau! Benar-benar! Uhuk, uhuk!"
Ia berjalan ke meja bar dan mengambil sekaleng bir, menarik tutup kalengnya, lalu menenggak banyak-banyak. Ia lalu mengambil dua kaleng lagi dan menaruhnya di depan Shi Guang dan Lu Yanchen.
"Sudah, sudah! Ayo berterima kasih kepada Shi Guang karena sudah memasak untuk kita hari ini!" Chu Mubei, yang bermuka masam lagi, terlihat sangat tidak suka mendengar insiden itu, dan tidak ingin masa lalunya yang paling canggung diungkit-ungkit lagi.
Lu Yanchen mengabaikannya. Tapi ketika Shi Guang mengulurkan tangan untuk mengambil kaleng birnya, Lu Yanchen merebut bir milik Shi Guang lebih cepat. Shi Guang akhirnya hanya menggenggam angin.
Chu Mubei berkata, "Kau sudah punya sendiri, di depanmu."
Lu Yanchen menarik tutup kaleng itu, lalu meminumnya dengan santai. "Kau sudah menumpang makan, lalu menumpang minum bir juga?"