Sayangnya, trainee lain tidak merasakan hal yang sama.
Selama beberapa hari berikutnya, pembuatan film tidak berjalan semulus yang direncanakan. Tidak hanya Wei Shaoyin memberikan jadwal yang sangat ketat dan menuntut, tetapi ia juga sangat kritis — mencela setiap kesalahan kecil yang dilakukan para trainee dalam gerakan dan ekspresi wajah mereka — bahkan sebuah adegan pendek berdurasi tiga detik membutuhkan beberapa kali pengambilan untuk menyelesaikannya.
Di setiap penghujung hari, semua trainee selalu sangat kelelahan.
Di ruang bersantai, Lu Tao berbaring di lantai karena kelelahan, tetapi ia masih ingin berbincang-bincang dengan Xia Ling. "Hei, aku perhatikan dalam beberapa hari terakhir ini hampir semua orang dicela oleh Wei Shaoyin dengan tuntutan-tuntutannya yang tidak masuk akal. Hanya kau yang belum dipanggil untuk pengambilan ulang adegan. Apa rahasiamu? Cepat, berbagilah denganku. Kalau tidak, jika ini terus berlangsung, aku akan disiksa sampai mati oleh si cerewet Wei itu."
Dalam beberapa hari ini, setiap trainee telah menyaksikan dan mendapat kritikan dari Wei Shaoyin bahkan pada kesalahan sekecil apapun. Sehingga, si 'Cerewet Wei' menjadi julukannya. Xia Ling memandang semua trainee yang berbaring di lantai dalam berbagai posisi dan tidak bisa menahan senyumannya.
Namun, ia benar-benar tidak memiliki rahasia apapun. Koreografi untuk proyek mereka saat ini tidak terlalu sulit. Baginya, koreografi tersebut hanya mencakup gerakan-gerakan dasar yang telah mendarah daging dalam dirinya, hampir seperti naluri ... sungguh tidak ada rahasia untuk bisa melakukan koreografi itu dengan baik.
Dia berpikir sebentar, lalu berkata, "Berlatihlah dengan benar sampai gerakan-gerakan tarian tersebut menjadi bagian dari nalurimu."
Lu Tao mendengus dan berhenti bergerak.
Di bawah pimpinan Wei Shaoyin, hampir satu bulan telah berlalu begitu saja. Mereka akhirnya berada pada bagian terakhir proyek.
Ketika ia mengumumkan bahwa semua trainee boleh beristirahat selama beberapa hari, semua orang sangat senang. Sayangnya, setelah dikuras oleh intensitas kegiatan selama beberapa minggu terakhir ini, bahkan seseorang yang bugar dan penuh energi seperti Lu Tao — seorang penari jalanan — memilih untuk menghabiskan hari istirahat pertamanya untuk tidur.
Setelah menjadi tahanan Pei Ziheng selama lebih dari satu tahun, Xia Ling tidak merasa nyaman dengan semua kamar tidur dan berusaha tidak berlama-lama di dalamnya.
Hari itu cuaca begitu hangat dan ceria. Xia Ling mengenakan gaun putih dipadu dengan kardigan tipis. Ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan seorang diri.
Suasana hutan sunyi dan tenang. Pemandangannya menakjubkan, jarang ditemukan di mana pun. Tidak heran Wei Shaoyin memilihnya sebagai lokasi syuting.
Namun, yang mengejutkan, bos besar Skyart Entertainment, Li Lei, menyetujui penggunaan resort ini sebagai lokasi syuting. Dari kehidupan sebelumnya, Xia Ling mengetahui seperti apa bos-bos besar itu. Area privat dengan villa gunung dan resort hanyalah untuk tamu-tamu terhormat. Sehingga, lokasi ini sangatlah eksklusif. Hampir mustahil bahwa mereka akan mengizinkan untuk dijadikan lokasi syuting.
Tetapi, Wei Shaoyin mendapatkan izin untuk menggunakannya.
Apakah hal ini karena ia benar-benar kompeten, ataukah karena bos Li tidak seperti bos biasanya?
Mungkinkah ini menjadi alasan utama Skyart Entertainment dapat berkembang dan berekspansi begitu cepat — karena prioritas utama mereka adalah kualitas produksi?
Xia Ling memikirkan hal ini sembari berjalan, dan sebelum ia menyadarinya, ia telah berjalan cukup jauh di dalam hutan.
Suhu udara menurun drastis. Pepohonan yang lebat menghalangi masuknya sinar matahari. Hutan itu sangatlah sepi seolah-olah ada sesuatu yang salah.
Xia Ling memperlambat langkahnya.
Setelah mengamati sekelilingnya, Xia Ling menyadari bahwa ia tak bisa melihat jejak yang ia tinggalkan atau seorang manusia pun.
Saat itu, setetes cairan lengket mendarat di wajahnya.
Xia Ling mengulurkan tangan untuk menyentuhnya - warnanya merah dan sedikit hangat. Baunya seperti… darah.
Jantungnya mulai berdebar tak terkendali. Ketika mendongak, ia melihat mayat berdarah tergantung di cabang pohon. Mayat itu pasti telah dikoyak-koyak oleh binatang buas – ia kehilangan kaki, perutnya terbuka, dan bagian organ dalamnya berantakan, mengalir keluar dalam potongan-potongan kecil, menuju wajahnya yang sekarang tak bisa dikenali.
Salah satu bola matanya tergantung di udara, tepat mengarah pada Xia Ling.
Xia Ling menjerit sejadi-jadinya. Segala sesuatu di hadapannya menjadi buram ketika sesuatu melompat dari atas dan melaju melewati pepohonan. Sebelum ia bisa bereaksi, kaki gadis itu menjadi lemas dan dunia seolah tak berhenti berputar.
Rasa sakit yang menyerang punggungnya membuatnya tersadar bahwa ia telah terjatuh ke tanah, dan seekor makhluk buas menghembuskan napas padanya. Darah menetes ke wajah Xia Ling di antara setiap tarikan napasnya. Gadis itu membuka mata. Dirinya sontak dipenuhi dengan kengerian. Ia mendapati bahwa makhluk yang hanya beberapa inci dari wajahnya adalah…. seekor macan tutul.
Seekor macan tutul dengan tatapan ganas dan tubuh bersimbah darah.
Saat ini, kaki depannya yang kuat menekan bahu Xia Ling. Tubuh macan yang besar dan berat menghimpitnya ke tanah. Hewan itu melengkungkan punggungnya sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah wajah Xia Ling, dan dengan mulut terbuka, langsung mengarah pada tenggorokannya.
Dalam sepersekian detik, Xia Ling berpikir bahwa ia sudah ditakdirkan untuk mati. Ia baru saja hidup kembali, siapa sangka ia akan kehilangan hidupnya di rahang seekor macan tutul secepat ini. Betapa aneh caranya menjemput kematian. Namun, ia tidak mau menyerah. Ia baru saja mendapatkan kembali kebebasannya, bagaimana ia bisa mati begitu saja?
Hal berikutnya yang ia tahu, ia merasakan rasa sakit yang menusuk di bahunya, seperti baru saja dicakar.
Dengan tak berdaya, Xia Ling hanya bisa menyaksikan binatang buas itu membuka mulutnya yang berdarah. Ketika jaraknya sudah semakin dekat, ia menutup matanya dan menunggu hal itu terjadi.
Dalam sekejap, suara seorang pria terdengar memanggil, "Er Mao."
Suara itu tidak keras, tetapi bagi Xia Ling, suara itu adalah penyelamat hidupnya. Suara tersebut seperti terus bergema di telinganya.
Macan tutul tiba-tiba berhenti bergerak.
Taringnya yang putih mengkilap beringsut menjauh dari tenggorokan Xia Ling, tetapi tatapannya yang dingin terpaku padanya. Badannya yang berat dan besar masih menghimpitnya. Saat merasakan cakar hewan itu menusuk ke lukanya, Xia Ling menjerit.
Macan tutul menggeram dan mengayunkan ekornya. Ia tengah mengancam.
Xia Ling merasa tubuhnya menjadi kaku, tidak bisa mengeluarkan suara.
Dari kejauhan, ia bisa mendengar lelaki itu lagi, suaranya agak lesu. "Maaf, Er Mao sedang tidak enak hati hari ini, dan kau sudah memasuki wilayahnya."
Oh, jadi macan tutul ini punya pemilik, dan namanya Er Mao?
Er Mao menundukkan kepalanya dan menatapnya dengan tajam ... seolah-olah XIa Ling adalah mangsa yang ada di hadapannya. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Xia Ling sehingga gadis itu bahkan bisa melihat beberapa sisa organ manusia di sekitar mulutnya.
Setelah mengingat mayat yang tergantung di pohon beberapa saat yang lalu, isi perutnya bergolak.
Pria itu tidak terdengar sedikitpun terganggu ketika ia bertanya, "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?"
Ia tidak menyuruh Er Mao untuk turun dari tubuhnya, sehingga hewan itu masih memberatkannya. Dengan hanya kardigan sebagai pembatas antara Er Mao dan dirinya, Xia Ling bisa merasakan kehadiran hewan besar itu dalam setiap tarikan napas. Suara hewan tersebut terdengar seperti geraman agresif yang tengah jengkel. Xia Ling yakin bahwa jika macan tutul itu merasakan perlawanan sekecil apapun darinya, si macan akan segera menghabisinya.
Xia Ling tidak mampu berkata-kata.
Trauma itu merampas kemampuan berbicaranya. Bahkan dengan mulut terbuka, ia tidak bisa mengeluarkan suara.
Pria itu menunggu beberapa saat sebelum dengan ringan berkata, "Er Mao, kau menakuti tamu kita."
Ia memerintahkannya untuk melepaskan Xia Ling, dan si macan menurutinya. Saat Xia Ling merasakan beban berat itu terangkat darinya, ia begitu lega.
Tubuhnya sekarang bersimbah darah dan serpihan daging manusia. Bau darah dan bau busuk mengaliri panca inderanya ketika ia berguling dan bangkit. Mungkin karena rasa takut atau bau anyir nan busuk tersebut, gadis itu kemudian berpegangan pada sebatang pohon dan mengeluarkan isi perutnya.
Xia Ling belum makan apapun sebelum pergi berjalan-jalan. Setelah mengeluarkan isi perutnya, tenaganya seolah menguap, dan yang keluar dari perutnya hanyalah cairan empedu.
Ususnya bergejolak dan kesakitan, tangannya menekan perutnya seraya ia membungkuk untuk mengatur napas.
Suara pria itu terdengar lagi, "Er Mao biasanya tidak memakan orang, kau tidak perlu takut seperti ini."
Biasanya? Tidak memakan orang?
Lalu apa yang dia lihat sebelumnya?
Xia Ling berusaha untuk tidak memikirkan mayat yang tergantung di pohon sementara ia mencoba menenangkan dirinya. Kemudian, ia mendongak dan berbalik ke arah asal suara itu.