Chereads / MOMMY CILIK / Chapter 3 - HAMPA

Chapter 3 - HAMPA

" non, maaf mengganggu non di depan para tamu sudah berkumpul untuk acara mendoa tujuh hari keluarga non". Bik minah menegur ku. Namun tak ada jawaban yang keluar dari bibir ku, hanya tetesan air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipi ku.

Hari ini hari ke tujuh kepergian mereka yang aku cintai. Seminggu sudah rumah ini kosong tanpa kehadiran mereka, hampa terasa bagai hidup tak ada artinya. Dulu disini banyak menyimpan cerita kebahagiaan, namun sekarang semuanya sirna, hanya kenangan yang saat teringat membuat ku enggan untuk hidup. Tujuh hari dulu adalah waktu yang tidak terlalu lama, namun sekarang sedetik saja begitu lama terasa. Waktu seakan-akan sengaja membiarkan ku larut dalam duka. Aku ingin semua ini berakhir cepat. Aku ingin segera mencapai takdir kematian ku.

Aku lelah, sungguh lelah dengan apa yang terjadi. Aku benci untuk melanjutkan hidup, bahkan aku benci dengan putra kecil yang selamat. Kenapa harus ada yang ditinggalkan, kenapa harus ada yang terluka karena ditinggalkan, dan kenapa harus aku yang ditinggalkan. Saat ini yang aku tau, hidup itu tidak adil dan aku benci dengan kehidupan ini. Nafas yang berhembus ini dan jiwa raga yang ada ini bikin aku tambah muak dengan kehidupan.

Tapi apa yang bisa ku perbuat, marah? Menuntut? Atau berontak?, tapi pada siapa aku harus melakukan itu. Pada tuhan? Apa aku berhak menuntut sedangkan aku hanya ciptaanNYA saja yang saat DIA berkehendak maka semuanya akan terjadi, dan kembali aku tidak bisa berbuat apa-apa atas kehendakNYA.

Aku sadar aku bukan siapa-siapa. Hanya raga bertubuh kecil dan jiwa yang sangat lemah dan bisanya hanya menangis, meratapi, dan merenungi penderitaan ini. Bahkan ketidak mampuan ku membuat aku benci pada diri sendiri, aku jijik dan aku merasa begitu tidak berguna. Ditinggal oleh orang-orang yang selama ini melindungi ku, dan sekarang manusia bodoh ini hidup sendiri dengan membawa si kecil yang sama-sama tidak bisa apa-apa.

Seandainya waktu bisa diulang, aku akan berusaha menjadi anak yang mandiri, yang tidak terlalu lemah dan manja. Yang juga berguna buat mereka yang aku cintai sebelum kepergian mereka. Atau saat waktu bisa diulang dan aku tau mereka akan pergi selamanya. Nggak akan aku biarkan mereka pergi tanpa aku atau aku akan terus merengek agar mereka tidak jadi pergi. Hanya waktu, yang berjalan terus dan tidak bisa diulang.

Tapi apalah artinya menyalahkan diri sendiri dan juga menyalahkan waktu. Semuanya sudah terjadi. Kini aku memang sudah ditinggal, dan aku sendiri. Nggak, aku nggak sendiri, aku punya putra kecil walaupun saat ini aku merasa dia adalah beban yang bikin aku semakin berat menjalani hidup dan mungkin bagi putra aku adalah orang yang nggak berguna. Lucu ya kehidupan itu bisa berubah secara drastis dari aku yang sangat bahagia dan kini aku yang sangat menderita.

Di hari ketujuh ini, semua orang berkumpul di rumah, dari teman, tetangga, kerabat, dan mereka keluarga kak lina. Keluarga kak lina, aku tau tangisan yang keluar itu hanya kebohongan, air mata itu hanya sandiwara. Mereka gak pernah sedikit pun peduli dan perhatian sama kak lina, yang mereka tau hanya duit, duit, dan duit. Dari dulu kak lina hanya mesin uang buat mereka, gak pernah peduli dengan kondisi kak lina sendiri. Sekarang juga akting mereka hebat, sangat pantas mendapatkan penghargaan atas kepura-puraan itu.

Saat aku turun tangga menghampiri para tamu, semuanya mendekati ku dan mengucapkan kata-kata bela sungkawa. Ada di antara mereka yang menangis dan memeluk ku, termasuk keluarga itu, tante dian mamanya kak lina. Bahkan dia tidak hanya memeluk ku, juga membisik kan kata-kata yang tersirat arti kesedihan mereka hanyalah sandiwara.

" dinda nanti pas mau pulang antar saya ke kamar lina ya, saya rasa perhiasan lina gak akan berguna lagi disini, toh lina juga gak akan pakai itu lagi jadi mau saya bawa pulang aja. Kamu tau kan dimana letak perhiasan lina ". Setiap kata-kata yang keluar dari bibir itu, seperti petir yang menyambar menambah kelamnya kedukaan ini. Tak ada sedikit pun kata-kata yang keluar dari bibir ku untuk membalas ucapan itu. Aku hanya diam dan duduk diantara para tamu yang sedang mengaji. Aku pun mulai mengikuti pengajian itu.

Setelah pengajian itu selesai, para tamu pun berpamitan pulang. Kecuali tante dian dan keluarganya. Aku tau apa yang dia mau, saat dia mendekati ku, aku berjalan menuju kamar kak lina dan mereka mengikuti ku dari belakang. Aku biarkan mereka membawa barang-barang berharga milik kak lina. Bukannya aku mengikuti tindakan salah mereka, hanya saja aku tidak ingin ada masalah lain yang timbul kalau aku menolak apa yang mereka ingin kan, lagian yang aku ingin kan bukannya harta atau barang berharga apa pun itu milik kak lina, yang aku mau hanya kehadiran keluarga ku lagi.

Sejenak ku pandangi kelakuan rakus mereka dan kemudian mata ku mulai mengelilingi isi kamar sambil mengenang keberadaan kak andi dan kak lina di kamar ini kemudian mata ku terhenti pada box bayi yang terletak di samping ranjang kak andy. Di dalam box itu ada putra kecil yang sedang tertidur lelap, lalu terbangun karena berisik ulah mereka dikamar kak andy ini. Putra menangis dan suaranya seperti memanggil kak lina atau kak andy. Aku ingin mendekati putra tapi langkah ku terhenti, ku pandangi tante dian, om rama, dan mega. Awalnya aku pikir mereka akan mendekati putra ternyata mereka tidak menghiraukan itu. Dan aku beranikan diri bicara pada tante dian.

" maaf tante itu putranya nangis, mungkin dia kangen kak lina sama kak andi tante".

" oh ya,, mungkin saja" hanya itu jawaban dari tante dian sambil terus memeriksa lemari pakaian kak lina tanpa sedikit pun menoleh pada putra. Beberapa menit kemudian mereka telah mengumpul kan semua barang berharga di kamar itu, memasukkannya ke dalam koper milik kak andi dan pergi. Aku mengejar mereka dan berkata.

" tante, om, mega tunggu. Apa nggak mau liat putra dulu. Dia akan terhibur kalau banyak orang di sekitar dia. Apalagi tante sama om kan kakek nenek putra, dia pasti senang kalau tante mau tinggal sebentar disini menemani putra."

Tante dian mendekati ku dan berkata, " gini loh dinda, urusan saya itu banyak, jadi saya harus cepat-cepat pulang. Kamu kan ada disini dan kamu itu tantenya putra. Udah cukup itu buat dia. Kalau pengen disekitar putra banyak orang, kamu bawa aja dia jalan ke tempat yang rame orang seperti mall atau taman bermain. Otomatis dia nggak kesepian kan."

" tante maksud aku bukan itu, putra dia pasti merasa sangat kehilangan sekarang. Dia butuh orang-orang yang sayang sama dia, kalau Cuma aku, putra akan merasa sepi tante. Dia sering menangis, dia butuh keluarga kandungnya sedangkan aku tante tau, aku bukan adik kandung kak andy berarti aku bukan tante kandung putra, mungkin dia akan merasa senang kalau nenek, kakek, dan tante kandungnya disini ". Kata-kata ku mulai terisak menahan rasa sedih, kesal, dan kecewa atas perlakuan mereka yang tidak peduli pada putra.

" ya ampun dinda, jadi sekarang kamu mulai gak ngakuin putra itu keponakan kamu hanya gara-gara andi itu bukan kakak kandung kamu " kata om rama ayah kak lina.

" bukan gitu om, aku Cuma pengen putra gak ngerasa sendiri. Dia masih kecil om, dia butuh kita semua disini "

" udah lah dinda tante nggak mau buang-buang waktu lagi disini. Tante, om, sama mega itu banyak urusan ". Dan mereka pun pergi begitu saja.

***

" bik tolong saya bikinin susu buat putra ya, putra nangis dari tadi gak mau berhenti. Mungkin dia haus kali ya bik ".

" baik non ". Bik minah beranjak ke dapur dan membuatkan susu untuk putra.

Ku pandangi putra yang ada dalam kereta bayi. Ku lihat matanya yang sudah sembab dan suaranya yang serak karena tangisannya. " Hey pangeran cilik ku, yang kamu rasakan apa sama dengan yang aku rasakan. Apa kamu juga lelah dengan kehidupan ini, apa kamu juga ingin berkumpul lagi sama mereka? Hmmm jawab aku sayang. Apa kita harus menyusul mereka, menurut kamu apa itu keputusan yang benar. Jawab mommy pangeran ku, jangan menangis terus, mommy juga sedih sama kayak kamu ".

Bisik ku pada si kecil, namun tak ada jawaban dari putra kecil, selalu tangisannya yang terdengar. Penderitaan ini aku ingin mengakhirinya, aku ingin tenang bersama mereka disana. Ku dekat kan wajah ku pada wajah bayi itu dan ku lanjutkan ucapan ku.

" Hey pengeran cilik ku, ini mommy cilik sayang. Kamu apa kabar, apa sekarang kamu serapuh aku. Kita bagaimana kedepannya sayang, aku takut ". Tak terasa tetesan bening keluar darimata ku dan jatuh menetes pada pipi putra kecil. Seketika itu juga tangisan putra terhenti, tangan mungilnya berusaha menggapai pipi ku dan mengusapnya. Ku terdiam dan menatap kedalam kedua bola mata indah yang ada di depan ku. Mata itu tersenyum seakan menghibur ku. Usapan di pipi ku terasa begitu nyaman. Ku genggam tangan mungil itu dan kucium ke dua bola matanya.

***

Liat mereka teman-teman yang ada di kelas ini, mereka penuh dengan gelak canda tawa. Bahagia tergambar dari setiap wajah mereka, kebahagian itu aku iri. Dulu aku seperti mereka bahkan lebih bahagia dari mereka. Tapi kini semua kebahagiaan itu sirna secara penuh, hanya duka dan kepedihan yang tertinggal. Aku yang ada di ruangan ini iri pada mereka semua, ingin semua kebahagiaan ku kembali, tapi aku tau itu tidak mungkin.

Kenapa mereka tidak semenderita aku, padahal dulu aku merasa aku adalah orang yang paling bahagia, tapi kini aku layaknya kapas yang lemah dan terkulai. Setidaknya mereka semua tetap hidup bahagia, dengan di kelilingi keluarga yang mereka sayangi. Tatapan ku terus memutar isi kelas dan memandangi kebahagiaan teman-teman ku.

Apakah aku gak berhak untuk bahagia lagi seperti dulu, dan juga seperti mereka disini. Dulu aku disini sama seperti mereka, tidak hanya duduk dan diam di kelas. Tapi hari ini, tubuh ku seakan menolak untuk sedikit saja bergerak apalagi selincah mereka. Hey teman-teman ku, apakah kalian tau seberapa menderitanya aku sekarang. Bisa kah kalian tutupi kebahagiaan kalian itu, hanya di depan ku. Aku berharap kalian bisa mengerti, tapi kalian tidak peduli dengan keadaan ku sekarang, aku benci pada keadaan dan aku benci pada kalian semua. Gumam ku dalam hati, diiringi bulir-bulir bening keluar dari kedua mata ku.

" dinda... udah din, lo gak boleh terus-terusan larut dalam kesedihan seperti ini ". Doni yang duduk di belakang ku mendekati dan menghapus air mata ku.

" eh don, gak ini mata gw kelilipan apa gitu jadi perih, keluar air mata deh ". Sanggah ku mengelak pernyataan doni.

" udah lah din, lo jangan nutup-nutupin apa yang lo rasain dan berpura-pura lo tu kuat. Gw dan mereka semua ngerti apa yang lo rasain asal lo mau cerita sama kita. Apa lo lupa kalau gw sahabat lo. Walaupun gw bukan rina yang udah sahabatan lama sama lo tapi gw yang selama ini satu kelas sama lo. Gw peduli dan mau lo bagi kesedihan lo sama gw ".

Kata-kata doni tersebut sedikit membuat ku tersenyum. " gw bukannya gak mau berbagi don, atau gw sengaja nutup-nutupin kesedihan gw. Gw Cuma butuh waktu buat sendiri don, buat nyadarin diri gw kalau gw yang sekarang bukan lagi gw yang dulu. Gw sekarang sendiri, dan gw merasa sepi " jawab ku yang kembali meneteskan air mata.

Doni kembali menghapus air mata ku dan berkata. " lo salah din, lo gak pernah sendiri dan sampai kapan pun lo gak bakal sendiri. Lo punya tuhan yang selalu ngelindungin lo, ada rina sahabat lo, ada putra keponakan lo yang pasti sekarang butuh lo yang kuat dan tabah bukan lo yang cengeng dan lemah, dan juga ada gw yang selamanya ada buat lo, peduli sama lo, dan sayang sama lo ". Mata doni sedikit menutup dan kemudian menatap ku lebih dalam.

Ada yang aneh dengan kata sayang itu. Setiap dia mengucapkan kata sayang itu, hati ini bergetar seperti menyampaikan rasa yang berbeda. Seraya mengisyaratkan perasaan yang lebih dari sahabat, suatu perasaan yang selama ini aku rasakan. Apa rasa ini adalah cinta dan sayang kepada lawan jenis.

Aku memendam perasaan ini semenjak awal duduk di bangku SMA. Saat itu lah pertama kali aku bertemu dengannya. Melihat pandangannya, senyumannya, dan sikapnya pada ku membuat ku begitu merasa nyaman. Iya aku sadari aku jatuh cinta padanya, dan ini cinta pertama ku.

Tapi perasaan ini apa sama dengan yang ia rasakan atau sekedar cinta bertepuk sebelah tangan. Sudah lama aku menunggu ungkapan cinta darinya. Bukan ungkapan cinta sebagai sahabat tapi perasaan yang melebihi itu. Tapi sepertinya dia tidak merasakan hal yang sama dengan ku, mungkin cinta yang ia rasakan hanya lah cinta sebagai sahabat dan tidak lebih dari itu. Aku memang hanya menunggu hampir tiga tahun dan tidak berani mengungkapkan perasaan ku padanya karena aku tau hanya sahabat yang dia inginkan dari ku bukan tambatan hatinya. Hanya aku yang menahan perasaan ini dan semakin tenggelam dalam cinta yang tak berbalas.

Aku berusaha mengukir senyum di bibir ku. " makasih ya don! Gw tau kok lo memang sahabat gw yang selalu ngertiin gw, selalu ada buat gw, dan gw juga sayang sama lo ". Jawab ku dengan sedikit tersenyum. Sayang yang keluar dari mulut adalah perasaan ku sebenarnya, tapi aku tau menurut dia adalah sayang yang sama dia rasakan, hanya sebatas sahabat.

" nah gitu donk, kalau senyum kan keliatan lebih cantik ". Kata doni seraya mengusap kepala ku. Ini satu lagi tindakannya yang bikin aku tidak bisa menghilangkan perasaan ku padanya. Usapan ini membuat ku semakin terbelenggu dalam perasaan ku. Entah sampai kapan aku akan memendam perasaan ini, dan entah sampai kapan aku sanggup berpura-pura berperan sebagai sahabat dengan adanya rasa lebih yang ada di hati ku.

Aku sering merasa takut jika suatu hari dia memiliki seseorang spesial di hatinya. Pasti akan menyakitkan, aku sebagai sahabat harus mendukung apapun yang terbaik buat dia sedengkan aku sangat ingin menjadi wanita spesial baginya. Entah apa yang akan terjadi kelak, aku hanya bisa pasrah dengan kenyataan hidup ku. Andai itu terjadi, jelas bahwa hidup ku selamanya sendiri. Semua yang aku sayang, bukan milik ku.

" iya doni.. hehehe... ya udah sekarang lo duduk gih, sebentar lagi guru masuk ". Benar saja guru yang mengisi pelajaran saat itu masuk, dan doni kembali ke tempat duduknya.

Bel jam pulang sekolah telah berbunyi, semua siswa keluar dari kelas masing-masing dan bergegas meninggalkan sekolah. Begitu juga aku, berjalan pelan mendekati mobil ku yang berada di parkiran. Langkah ku terhenti karena mendengar suara rina memanggil ku. Aku pun menoleh kebelakang, ternyata rina sudah berada tepat di belakang ku.

" dinda...din... tunggu din... ".

" ada apa rin? ". Tanya ku.

" mega mana? ".

" emang mega dimana? ". Aku berbalik tanya pada rina.

" eddah lo kok nanya balik ke gw, kan gw nanya mega dimana, tandanya gw gak tau. Kalau gw tau, gw gak bakal nanya sama lo ". Kata rina.

" eh iya sorry! Hmmm.. gw gak tau juga dia dimana ".

" lah lo bukannya sekelas sama dia ". Tanya rina kembali.

" iya sih rin, tapi gw rasa sih tadi di kelas dia gak ada. Mungkin dia gak masuk ". Jawaban ku semakin membuat rina mengkerutkan keningnya.

" yaelaaah dinda... lo itu sekelas dan lo itu udh bisa dibilang satu keluarga sama dia. Masa jawaban lo gitu sih. gw rasa lah, mungkin lah. Ini gw yang salah nanya orang atau emang lo aja yang gak fokus jadi jawaban lo ngawur gitu ".

" ya maaf rin, lo cari sendiri aja ya gw pulang duluan ". Aku langsung pergi dan meninggalkan rina yang masih kebingungan.