Mati.
Andita berusaha menyembunyikan kepanikan, tetap tenang, dan tanpa sadar menahan nafas melihat teman terbodohnya, ya, dia sudah menobatkan Amara jadi temen terbodoh sejak mereka mengenal laki-laki bernama Rama. Gadis sebaya Andita itu sedang bermain-main dengan pisau, eh bukan, itu kater, sedikit bertagar yang ujungnya patah. Dia tidak sedang bermain-main. Dia sangat serius, hanya ada dua kemungkinan, pisau itu melayang padanya atau
oh god...
Andita terpekik, belum saja menuntaskan pikiran yang sedang berusaha mencari cara untuk membujuk sahabatnya itu agar menggunakan pisau pada tempatnya, didetik yang sama dengan mulus pisau tersebut telah mengiris tangan sahabat tiga tahunnya.
*
*
*
Wajahnya pucat. Panik tak dapat lagi ia sembunyikan. Seketika Amara jatuh bersama darah yang terus mengucur. Baju braidsmaid berwarna putih yang ia kenakan menjadi merah perlahan.
Andita keluar dari kamar tersebut. Ia tak dapat bersuara. bahkan untuk meminta tolong ia tak mampu. Rama yang cemas, bernafas lega ketika melihat pengantin perempuannya keluar dengan selamat. Namun sesaat kemudian ia harus berteriak kencang meminta bantuan, ketika melihat kedalam kamar. sedetik kemudian orang-orang berlarian menuju kamar tersebut.
Andita hanya berdiri mematung dengan seluruh tubuhnya dingin. bergetar. setiap orang yang lewat bertanya tak ada satupun yang ia jawab.
pekikan demi pekikan, histeris dan tangisan semakin menjadi didalam ruangan.
Andita merasa pusing.
Penglihatannya berputar.
Dadanya sesak.
Entah perasaan macam apa ini?
Sakitnya luar biasa menghantam relung hati. Namun tak setetespun air matanya keluar. Pandangannya teralihkan ketika melihat sebuah pintu berwarna pink, ia merasa itu adalah pintu kamarnya. Tanpa pikir panjang Andita masuk.
*
*
*
Andita mendapati dirinya sudah berada diatas kasur. Ia melirik jam diatas nakas.
Jam 08.00
Ia terkesiap. Ambil handuk, dan segera berlari ke kamar mandi. Namun wanita tersebut menghentikan langkah ketika melintas didepan kaca besar.
Andita berteriak kencang. menatap bayangan dirinya. seketika semua orang berlarian masuk kedalam kamar.
"Kenapa ta...?" Tanya mama panik. disusul papa, Andito saudara kembarnya, dan Embak Nur.
"Aku kenapa ma?" tanyanya menghadap kearah mereka.
Semua mengerutkan alis dan saling pandang.
"Ma... aku kenapa pake beginian???" Sergah Andita menuntut jawaban.
" Ih aneh banget sih loh ta... kan semalam elu habis ikut wedding expo. elu jadi modelnya Amara."
*
*
*
"Amara...?" seketika ia mengingat kejadian itu, "Oh ya Amara? bagaimana keadaannya?"
"Sarap nih anak." Cetuk Andito dan berlalu.
Mama dan papa hanya menghela nafas dan geleng-geleng kepala.
Andita semakin bingung. sisa mbak Nur dihadapannya.
"Mbak... jawab?"
"Neng Andita kan semalam kecapean jadi lupa ganti baju, Neng Amara mah udah pulang dari semalam, cuma nganterin neng dita aja."
" Tapi mbak... bukannya, itu, Amara... itu..."
"Apasih neng...?" Mbak ikutan bingung,melihat Andita meggesekkan tangannya ke lengannya. menirukan sebuah pisau mengiris lengan.
Andita mengacak rambutnya karena tak menemukan jawaban dengan kerutan alis mbak Nur yang semakin dalam.
Gak mungkin hanya mimpi???
"Rama... ya, Rama??? Rama mana mbak???"
"Apasih Neng Dita... siapa lagi Rama? itu loh udah terlambat." Teriak mbak Nur setengah dongkol. anak majikannya itu semakin aneh dan ngelantur.
Spontan Andita masuk kamar mandi.
Dalam pikirannya terus berkecamuk. Ia sangat yakin, bahwa semalam ada kejadian besar dalam hidupnya.
***
Dengan tergesa Perempuan berusia 25 tahun itu keliar rumah. Ia harus segera sampai kantor, menyalakan komputer, dan berakting seoalah-seoalah kerja selama lima menit kemudian menelpon Amara dan menanyakan semua kejadian Aneh yang ia rasakan.
Ia terlambat 35 menit. Andita merutuki dirinya. Karena keanehannya di pagi hari seperti orang amnesia, ia harus terlambat ke kantor. Menambah rekor jam terlambatnya.
Tapi, kalau itu mimpi, kenapa mimpi itu tak mau hilang, seperti halnya mimpi-mimpinya lain, seperti mimpi waktu ketemu nenek-nenek, mimpi diving ke Raja Ampat, atau mimpi balikan sama Eza yang gak pengen ia lupakan.
Andita menggeleng kepala. Mengusir semua pertanyan yang tak terjawab memenuhi otaknya. Ia harus segera bicara pada Amara sebelum ia benar benar gila