DRIIIINGG..... DRIIIINGG....
Suara alarm dari Handphoneku berbunyi, membangunkanku dari mimpi yang fana dan menuntutku untuk melewati hari-hari di dunia yang penuh dengan kebohongan. Tidak seperti anak remaja pada umumnya yang setiap hari selalu dibangunkan oleh ibunya dengan keadaan sarapan sudah tersedia di meja makan, aku yang berasal dari keluarga Broken Home ini dituntut untuk mengurus diriku sendiri agar lebih mandiri.
Sejenak setelah aku mengkhayal betapa indahnya jika ayah dan ibuku tidak bercerai, aku segera bangun dari tempat tidurku dan bergegas untuk mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Berjalan kaki menuju sekolah mampu membuat pikiranku sedikit tenang, karena udara di pagi hari yang sangat segar dengan sedikit polusi dari asap kendaraan mampu membuat otakku sedikit berpikir lebih jernih mengenai kehidupan ini. Ya, hanya "sedikit".
"REIDIII!!"
Terdengar seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan, suara yang sangat familiar dan benar saja. orang yang memanggil namaku sudah menungguku di pertigaan jalan menuju sekolah.
Dia adalah temanku, Deni. Kami berdua sudah berteman sejak kami kelas 2 SMP, dan saat ini kami berdua sudah kelas 3 SMA, yang artinya kami sudah berteman 4 tahun lamanya. Deni adalah satu-satunya temanku yang cukup dekat denganku, dia mengetahui semua persoalan dalam kehidupanku. Aku bukannya tak percaya padanya, namun memiliki teman akrab seperti Deni merupakan suatu warna tersendiri dalam kehidupanku.
"Reid, kamu udah ngerjain PR Matematika dari pak Suwarjono?"
"Udah, kalo mau lihat ntar aku kasih, tapi dibedakan sedikit ya biar enggak kelihatan kalo kamu nyontek punyaku"
"Siip lah kalo itu hehehe, kamu emang temanku yang bisa diandalkan!"
Sesampainya di kelas, aku langsung mengeluarkan buku PR Matematikaku dan memberikannya pada Deni. Deni yang menerimanya sambil nyengir kepadaku langsung segera menyalinnya.
Aku yang tak ada kerjaan di kelas hanya bisa menompa daguku, melihat teman-temanku satu persatu masuk dan duduk ngobrol bersama yang lain. Melihat wajah mereka yang penuh dengan senyuman kepalsuan sedikit membuatku muak dan segera aku memalingkan wajahku keluar jendela.
Bagiku, memiliki banyak teman itu sama sekali tidak menguntungkan. Karena kau harus selalu menyapa mereka, mengobrol bersama mereka, dan secara tak langsung mewajibkanmu untuk menolong ketika mereka sedang mengalami kesusahan.
Namun, apa yang kau dapat dari semua itu? tak ada. Tak ada yang kau dapatkan dari membuang-buang waktumu untuk mereka yang hanya membutuhkanmu saat mereka kesulitan. Dan ketika kesulitan mereka sudah usai, mereka akan membuangmu seperti sampah yang sudah tak bisa dimanfaatkan lagi.
Aku hanya tak ingin mengulangi kisahku di masa SMP. Karena bagiku, satu permasalahan sudah cukup bagiku untuk dijadikan sebagai pengalaman dan pelajaran hidup bagiku.
Aku sangat bersyukur, karena di saat aku terpuruk mengenai persoalan yang ku alami ketika aku SMP yang menjadikan aku dijauhi dan dibenci oleh teman-temanku, Deni selalu menyapaku dan menghabiskan waktunya dengan kekonyolan-kekonyolan yang dia tunjukkan hanya padaku. Tak perduli seberapa dibencinya aku disaat itu, Deni lah yang selalu menemaniku dan selalu menghiburku.
Walaupun Deni adalah temanku yang konyol dan sedikit bodoh, aku takkan membuangnya, karena dia adalah seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang.
TING..... TONG....
TING..... TONG....
Bel pertanda kelas akan dimulai sudah berbunyi, semua orang yang berada di dalam kelas sudah duduk di kursinya masing-masing untuk menghindari hukuman. Dan beberapa menit kemudian, wali kelas kami masuk kedalam kelas.
"Selamat pagi anak-anak"
"Selamat pagi bu"
"Hari ini ibu ada pengumuman, kalian akan mempunyai teman baru, dia di pindahkan ke sekolah ini karena kerjaan orang tuanya yang dipindahkan ke kota ini"
Sontak suasana kelas menjadi ribut, karena mereka penasaran dengan murid pindahan tersebut.
"Silahkan masuk nak, dan perkenalkan dirimu"
Setelah murid pindahan itu berjalan memasuki ruangan kelas, aku sangat kaget karena dia adalah salah satu dari teman SMP kami.
"Perkenalkan, namaku Aldi, mulai saat ini aku...."
Aldi yang berdiri didepan kelas melotot setelah melihatku.
"KAAAUUUU!!!!!!!!"
Aku yang masih trauma karena masalah yang ku alami dulu tak mampu berdiri, kakiku sangat gemetar dan aku sangat ketakutan.
Aldi yang tersulut emosi tak memperdulikan wali kelas yang berdiri di sampingnya, dia langsung berlari ke arahku dan langsung memukuliku dengan penuh emosi.
"REIDIIII, PEMBUNUH SEPERTIMU HARUS MATII!!!!"
Kakiku yang masih gemetar tak mampu membuatku berlari, aku dipukuli terus menerus oleh Aldi. Hidung, pipi, seluruh wajahku dipukuli oleh Aldi hingga pukulannya mengenai telingaku yang membuat pendengaranku hanya berdengung dan tak bisa mendengar apapun saat itu.
Sesaat setelah aku dihujani pukulan, pukulan Aldi mulai mereda, dan benar saja. Ketika aku membuka mataku, yang kulihat adalah aku sudah terkapar dibawah meja dan Deni beserta teman-teman yang lain berusaha untuk menahan Aldi agar tidak terus memukuliku.
"ALDI!!! BERHENTI!!!" teriak wali kelas
"TIDAK BISA BU!! AKU MASIH TAK TERIMA TEMANKU DIBUNUH OLEH BAJINGAN SEPERTI DIA!!!" Teriak Aldi pada wali kelasku sembari menunjuk padaku.
Sontak teriakan Aldi pada saat itu sudah memancing kehebohan di kelas. Bahkan murid-murid dari kelas lain mulai berhamburan memasuki ruangan kelas kami dan mengintip dari jendela karena penasaran dengan apa yang telah terjadi.
(BERSAMBUNG....)