Aku bingung, semua indraku menjadi senstive.
Aku tidak bisa mengontrolnya.
==========
Setelah sampai di rumah, aku langsung menuju ke dapur untuk mengambil makan siangku.
Langkahku terhenti setelah aku merasa melewatkan sesuatu.
Kumundur berberapa langkah kebelakang menuju ruang tamu. Dan kumelihat ada seorang anak remaja duduk di kursi bagian pojok. Hanya terdiam, dia tidak melihatku.
Hmmmm. Mungkin anak laki-laki dari saudaranya ayahku.
Ya, ayahku memiliki saudara. Dan jarang kesini.
Kuacuhkan dia dan aku pergi menuju ke dapur.
"Buk, siapa yang ada di ruang tamu?"
"Siapa??, gak ada orang tadi disana"
"Jelas-jelas aku lihat ada anak laki-laki, lagi duduk di ruang tamu di bagian pojok"
"Hmmm makan dulu ae, setelah ini ibuk cek ke ruang tamu"
Aku hanya menganggukkan kepalaku, seraya mengambil nasi dan lauk. Hari ini pakai oseng-oseng terong. Ya kesukaanku.
Lama sekali rasanya ibu kok belum kembali. Sampai makanku sudah selesai belum kembali juga.
Kuputuskan untuk melihat ke ruang tamu. Tapi tidak kujumpai Ibuku disana.
Kumendekatinya, dan bertanya kepadanya.
"Hei, kamu anak saudaranya ayahku kah?"
Melihatku sambil menggelengkan kepala.
"Hmmm, Terus ngapain disini?"
Dia cuma diam, melihatku.
Kumendengar bisikan-bisikan rancau di telingaku. Tapi jelas-jelas kami cuma berdua disini. Tidak ada orang lain lagi. Lantas siapa yang sedang berisik sekali mengobrol ditelingaku.
"Apakah kau mendengarnya?, seorang sedang berbisik-bisik?"
Dia melihatku lagi dan menganggukkan kepala.
Aneh sekali, mengapa dia tidak mengucapkan satu patah katapun terucap dari mulutnya.
Kualihkan pandanganku, karena ibu baru saja masuk ke ruang tamu. Aku berdiri dan memberi tahu tentang anak laki laki yang kumaksud tadi.
"Bu, ini lo"
Sambil kumenunjuk kearah laki-laki yang duduk sedang duduk di sebelahku.
Ibu cuma terdiam pada waktu itu, dan mendekat kepadaku.
"Hmmm, seperti apa dia"
Sambil mengajakku duduk dan merangkul pundakku.
"Ibu tidak melihatnya?"
"Ibu percaya sama kamu kok. Ibu juga percaya dengan apa yang kamu katakan. Kita tunggu ayahmu datang ya".
Yang benar saja, ibu tidak melihatnya. Tetapi tiba-tiba, suara berisik itu semakin terasa sangat mengusik kepalaku. Suara itu sudah tidak kudengar lagi di telingaku. Tetapi suara itu sangat berisik sekarang di kepalaku. Kupegangi kepalaku dengan tangan, menjambak rambutku sangat erat.
"Buuuuu, ini apa??? Suara berisik ini tidak bisa hilang dari kepalaku."
Aku berteriak kepada ibuku. Ibu memegang erat kedua lenganku. Dan kumelihatnya seperti mengucapkan sebuah kata- kata. Tetapi aku tidak bisa mendengarnya, aku terlalu sibuk dengan suara ini.
Astaga suara ini membuatku, sakit.
Lekas ibu membawaku ke kamar dan memintaku untuk berbaring diranjang. Setelah itu ibu pergi meninggalkanku. Aku tidak berpikir macam-macam saat itu. Yang aku pikirkan saat ini adalah, bagaimana agar suara itu bisa menghilang dari kepalaku.
Aku berguling-guling di ranjang, dengan memegangi kepalaku. Semakin inginku menghilangkan suara tersebut, Semakin sakit kurasakan datang bertubi-tubi menembus kepalaku.
Kurasakan tangan menyangga leherku, mencoba untuk membuatku dalam posisi duduk.
Tidak jelas pasti siapa itu karena aku hanya bisa berteriak dan menutup mataku.
Tetapi kucoba untuk membuka mataku sedikit untuk memastikan siapa yang sedang memegangiku.
"Ayahhh"
Kumemanggilnya dengan rengekkan tangisku, memanja kepadanya. Ayah mengatakan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan kepadaku.
Dia membawa sebuah kalung, dan kalung itu memiliki tiga warna. Merah, Putih dan Hitam.
Ayah memakaikan kalung tersebut di leherku, disaat aku masih meronta-ronta akan suara yang masih sangat mengganggu dikepalaku.
"Hei, nak. Sudah bisa dengar suara ayah?"
Tangisanku terhenti, suara berisik itu menghilang. Digantikan oleh suara ayah yang baru saja menanyaiku.
Ayah menanyaiku, ya aku mendengarnya. Tetapi suara itu berada di kepalaku.
Kumelihat ayah yang sedang tersenyum kepadaku.
"Sudah, tidak akan terjadi lagi. Asalkan kamu tetap menjaga kalung itu bersamamu"
Aku hanya terdiam melihatnya. Karena sekali lagi, dia berkata di dalam kepalaku.
Aku bertanya kepadanya, dengan mulutku yang masih menganga melihatnya.
"Aaa.. bagaimana ayah melakukannya"
"Hemmm, nak. Sekarang sudah saatnya kamu akan tahu semua asal mula ini bisa terjadi kepadamu."
"Ayah sebenarnya menunggumu, kapan kamu menyadari disaat ada sesuatu hal yang aneh terjadi kepadamu. Yang disaat kamu bisa melihat apa yang tidak bisa mereka lihat. Kamu mendengar apa yang mereka tidak bisa dengar. Dan kamu bisa melakukan sesuatu yang nereka juga tidak bisa melakukannya."
Ayah menceritakan secara perlahan. Ibu yang duduk di tepi ranjang pun tersenyum mendengar cerita tersebut. Seperti mereka berdua sangat menunggu untuk momen ini akan terjadi.
"Semua berasal dari keluarga ayah. Tepatnya pada ibu ayah.Ya, Alm Nenekmu dulu adalah seorang yang dipercaya bisa meramal seseorang dan bisa melihat kilasan yang akan terjadi sebelum waktunya. Ayah memiliki hal tersebut juga, dan hampir semua saudara ayah memilikinya. Tetapi masing-masing dari kita tidaklah sama dalam hal tersebut. Ayah memiliki 9 bersaudara. Diantara mereka ada yang bisa meramal, ada yang bisa melihat makhluk yang tak kasat mata. Ada juga yang disaat mereka berbicara, sesuatu bisa terjadi seketika itu. Ayah, mendapatkan karunia bisa menyembuhkan orang yang sedang sakit, ayah bisa melihat yang tak kasat mata sepertimu. Dan ini adalah sebuah karunia yang sangat istimewa, yang dari turun temurun sudah ada dari sejak dulu."
Aku hanya terdiam. Dan mengapa ayah justru mengatakan bahwa ini adalah sebuah karunia?, Sepesial?.... apanya yang spesial??....
Justru ini membuatku menjadi tidak jelas. Teman-temanku menjauhiku karena hal ini. Apa yang disebut spesial??.. di saat hal ini membuatku tersiksa.
Aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya mengatakan kepada mereka bahwa aku ingin sendirian, untuk waktu sesaat.
"Ayah, ibu. Aku sedang ingin sendiri sekarang."
"Tap.. i nak"
"Tenang saja aku bisa menanganinya"
Aku membuat mereka percaya akan ucapanku. Yang sebenarnya justru membunuhku.
Kupegangi kalung yang baru saja di berikan ayah kepadaku.
Aku hanya bisa mengingatnya dengan jelas. Disaat ayah mengatakan sesuatu yang sangat penting kepadaku.
"Sudah, tidak akan terjadi lagi. Asalkan kamu tetap menjaga kalung itu bersamamu"
Aku masih terbayang-bayang akan hal tadi, dan semua berputar di kepalaku. Serpihan-serpihan hal yang tidak jelas yang sedang berlarian acak dipikiranku.
Kumenutup pintu kamarku, dan berbalik menuju ke ranjang.
Dan anak tadi sudah berada di tepi ranjangku.
Hmmm. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Jadi kumemilih hanya diam. Pura-pura tidak menyadari kedatangannya.
Dia tersenyum kepadaku. Ingin kuacuhkannya, tetapi malah membuatku penasaran akannya.
Kudekati dia, dan memandanginya dengan perlahan. Inci per inci.
Hmmm. Dia terlihat sama seperti manusia lainnya. Sama sepertiku. Hmmm. Ya ini yang membuatku di teriaki aneh, karena hanya aku yang bisa melihatnya. Karena aku berpikir bahwa mereka nyata. Ya memang nyaata untukku, Sedangkan mereka tidak. Bagaimana tidak, dia mirip sekali dengan manusia biasa. Dan tidak seperti yang aku pikirkan.
Aku berpikir bahwa kalau hantu. Hmmm. Ya aku terkadang menyebutnya begitu. Hantu makhluk yang mengerikan seperti di film horor. Tapi ternyata yang lebih serem, malah yang berada di filmnya.
"Apakah kau punya nama?"
"Awan"
"Awan?,maksudmu namamu Awan?"
"Iya"
Namanya Awan, hmmm. Ya dia berkomunikasi menggunakan telepati. Ya, satu sisi aku juga berterimakasih kepada ayah karnanya aku bisa mendengar apa yang ingin aku dengar. Dan disisi lain aku masih bingung.
"Apakah kau tinggal disini?"
"Iya"
Astaga, jawaban singkat bener.
Setiap pertanyaan yang kuberikan, dia menjawabnya dengan singkat.
Apakah memang semua seperti itu?. Jawaban hanya sesingkat itu.
"Aku senang akhirnya kau bisa melihatku"
Baru saja aku bergumam, bahwa jawabnya singat-singkat. Ini malah tiba-tiba dia nyolot sendiri.
"Hmmm, memangnya berapa lama kau menungguku?"
"Sama dengan umurmu, 13 th"
"Apa! 13 th"
...
==========
Awan?, siapa dia. 13 th menunggu. Hanya agar aku bisa melihatnya.