Aku kembali ke kamarku dan tidur-tiduran. Mengecek sosial media, bermain game, mengecek sosial media, mendengarkan lagu, bermain game adalah hal yang sering kulakukan ketika sedang bosan. Disebelahku Leo sedang menjilati tangannya layaknya seekor kucing.
"Leo..., Kenapa kita tetap tidak pergi saja sekarang?. Lebih cepat lebih baik bukan?" Ucapku lemas.
"Aku tidak ingin ibumu mencemaskan kau nak. Ini perjalanan pertama kita. Aku tidak suka membuat-buat masalah." Jawab Leo.
"Huft..."
.....
Cklek!
Sebuah suara pintu datang dari lantai bawah. Aku langsung bergegas kebawah, meninggalkan Leo yang terlihat heran.
"Eh Ari, kamu udah pulang..."
"Eh bu... Hehe..." Suara abangku terdengar dari tangga.
Kepalaku mencuat dari balik tangga. Mengintip segala hal yang terjadi disana.
"Rin, ayo bantu ibu masak." Tanpa melihatku, ibu langsung kedapur dan mengajakku. Mungkin ini yang namanya insting seorang ibu.
Aku mengikuti Ibu dari belakang, bang Rino kembali ke sofa dan mengutak-ngatik smartphonenya. Sepulang dari sana, ibu terlihat membawa sebuah kotak plastik bening yang berisi sepotong daging.
"Tadi ibu dapet ini nih dikasih temen ibu pas arisan. Katanya ini daging sapi paling mahal dijepang loh" Ibu meletakkannya diatas meja, Aku lalu mengintipnya.
"Kaya banget ni orang, sampe dibagi-bagiin begini" ucapku dalam hati. Setelah kuperiksa tidak ada kepalsuan disana.
"Bantuin ibu ngulek bumbunya ya..." Ibu mengambil beberapa alat masak didalam lemari dapur.
Aku mendekatinya dari belakang, dan sedikit menarik celemek ibu yang sudah terpasang dari tadi.
"Apa sayang...?"
"Aku akan berangkat malam ini..." Jawabku pelan.
"Baiklah... Hati-hati ya..."
"Tapi tolong awasin bang Rino ya bu..., Setidaknya jangan biarin dia ke kamarku." Aku mendekatkan mulutku ke wajah ibu sambil berbisik.
"Ohh.. oke!" Ibu tersenyum seakan sudah paham maksudku. Aku senang punya orangtua yang pengertian seperti ibu.
"Tapi bantuin ibu masak dulu ya nak!"
"Sudah pasti, hehe"
Aku langsung mengambil ulekan dengan cekatan. Membantu ibu sebisaku adalah hal yang menyenangkan.
Sebuah langkah kaki mendekati dapur. Tanpa melihat kebelakang, Aku sudah mengetahui siapa orang itu.
"Buu.... besok mau balik lagi.." Dia berbicara dengan nada cukup manja.
"Heuhh.. balik lagi?, Kamu kalo lagi libur itu bisa diem dirumah aja gak sih.." jawab ibu.
"Ada sesuatu lah intinya..."
"Bu..."
"Buu.."
"Apa lagi...?" Wajah ibu terlihat menyerah dan akhirnya melihat anak pertamanya itu.
"Biasa...." Jawabnya dengan sedikit senyuman.
"Ya nanti lah itu!. Besok aja. Ibu mau masak dulu. Kalau mau bantuin Ibu sekarang"
"Yes, sip!" Ucapnya seraya mendekati kami.
Kami bersama-sama memasak daging itu bersama-sama. Kali ini dapat kulihat kelihaian bang Rino dalam memasak secara langsung. Pantas saja, makanan apa saja yang dibuatnya itu enak, walaupun Aku sangat tidak ingin mengakuinya.
.....
Jam makan malam telah tiba, sesekali kami bercanda ditengah meja makan kecil kami. Ketika giliran bang Rino yang bercanda, Aku hanya membalasnya dengan tatapan dingin. Ibuku kembali menegurku untuk sopan kepadanya. Hal ini selalu terjadi setiap malam. Terkadang Aku melihat sosok ayah pada diri abangku ini, tetapi tetap saja sikapnya tidak bisa diubah. Huh...
Aku berjalan meniti tangga menuju kamarku. Perutku kenyang sekali dan membuat jalanku lambat. Setelah masuk kekamar, Aku langsung menguncinya dan menutup jendela.
"Leo mana...?"
Aku kembali memanggil Leo dengan cukup pelan sambil menjelajahi sudut kamarku. Padahal saat kutinggal kebawah dia masih ada dikamar ini. Apa dia sudah pergi lagi?.
Aku menyerah. Dibawah kasur, didalam tong sampah, semua sudah kucari, namun tetap saja tidak ada. Biasanya bahkan setelah kupanggil dia akan langsung muncul dalam rentang waktu sekitar 5 menit setelah itu.
"Aneh..." Gumamku pelan.
Sudah 15 menit terlewati dan sebuah jawaban belum kudapati. Ini adalah rekor terlamanya setelah pemanggilan.
Aku jadi teringat dengan buku yang dimaksud Leo siang tadi, bahwa Aku juga memiliki buku yang sama seperti Aldo. Kecurigaanku berpusat pada satu buku yang jelas-jelas berbeda dari buku-bukuku yang lain. Ya benar, sebuah buku diary usang yang kutemukan disela-sela lautan buku novel.
Secara sengaja, Aku merapikan seluruh buku yang berserakan diatas lantai itu, demi satu tujuan. Novel dan komik fantasi kurapikan dengan baik. Hingga Aku menemukan sebuah buku yang berbeda dari yang lainnya.
Aku lalu mengangkat buku tersebut. Buku bersampul kulit dan berwarna ungu ini hanya polos dan berdebu, tidak seperti punya Aldo yang memiliki pola dan garis tepi. Kulihat isinya kosong dan terdapat robekan kertas dibeberapa halaman, ada juga yang tepian atasnya sudah digigit oleh tikus.
Mungkin buku ini bukanlah yang ingin kucari, Aku kembali mengangkat buku yang tersisa dan memasukkannya kedalam lemari buku khususku.
Bzzzt!! Brugg!
Sebuah suara membuyarkan konsentrasiku.
"Aduh, duh, sakit"
Aku langsung menoleh kebelakang. Sebuah bola bulu yang kukenal telah jatuh dari sesuatu.
"Leo!, Kau tidak apa-apa?" Aku langsung mendekatinya dengan cepat.
"Argh,, aku tidak apa-apa. Jangan mencemaskanku nak."
"Dilihat dari manapun kau pantas untuk dicemaskan Leo!"
Kulihat tubuh Leo terkulai lemas tak berdaya didepanku. Sesekali sebuah listrik hitam kecil keluar menjalar dari tubuhnya.
Aku langsung membuka sedikit tirai jendelaku. Kulihat tidak ada tanda-tanda bang Rino keatas untuk mencari tahu.
Aku kembali bergegas kearah Leo, dan melihatnya menjilat-jilati tubuhnya. Sesekali dia mengeluh kesakitan.
"Kau tidak..." Aku terhenti.
Tidak sampai 2 menit, Leo langsung berdiri dengan sigap. Dia langsung meregangkan badannya seperti seekor kucing sungguhan.
"Ayo nak kita berangkat!" Dia menatapku santai.
"Aku menyesal mencemaskanmu Leo..."
"Sudah kubilang bukan!, Kau tidak perlu mencemaskanku nak!. Luka segini tidak seberapa." Jawabnya penuh semangat.
"Ayo sudah, tunggu apa lagi"
"Baiklah!" Jawabku lantang.
"Eh tunggu, siapa yang akan membawa kita?"
"Tentu saja kau bukan?, Aku tidak tau tempat itu dimana, jadi wajar saja bukan?"
"Eh, maksudku... Kau sudah pernah kesana nak.... Maksudku..." Leo memutar kedua jari telunjuknya, wajahnya ketika berbicara tidak melihat kearahku.
"Sejak kapan kau menjadi sepesimis ini Leo?. Aduhh.... Aku sampai sekarang masih tidak bisa mengenali kepribadianmu. Hmmm"
"Ba-baiklah, sesuai permintaan nak!"
Dia memegang kedua tanganku dengan erat. Dia lalu mengucapkan mantra yang tak kuketahui artinya.
Jirifulj!
Pilar-pilar cahaya menghujam dari lantai ke atas. Aku terasa seperti terangkat dan memasuki sebuah lorong hitam kosong dan sunyi. Kami berdua melayang dengan cepat seperti cahaya. Lorong gelap itu kemudian semakin menghilang dan digantikan oleh cahaya yang menyeruak didepanku.
Bzzzzt!!!
Aku dan Leo keluar dari portal hitam bersamaan. Aku langsung berdiri dengan sigap dan melihat kedepan dengan semangat.
"Gelap?, Oh ya ini kan sudah malam"
Aku merasakan sebuah patahan ranting dan dedaunan kering dibawah kakiku. Aku juga mendengar beberapa suara hewan yang melewati kami diatas.
"Nak!, Ayo kita kembali..."
"Eh maksudmu!?, Kita sudah sampai bukan?" Jawabku terheran.
"Ya nak, kita memang sudah sampai!, Tapi bukan disini nak!, Ini hutan!" Leo langsung menarik bahuku dengan cepat.
"Eh tunggu!, Tapi!?, Eeeehh!?!?"