Chereads / The Dark Witch / Chapter 17 - Desa

Chapter 17 - Desa

Aku dan Leo keluar dari portal gelap itu menuju sebuah padang rumput nan luas. Aku langsung menapak dengan sigap setelah jatuh dari ketinggian 60cm. Leo langsung kembali menjadi wujud manusianya

"Kau tidak apa-apa Leo?" Aku mendekati Leo yang bertekuk lutut.

"Maafkan Aku.... Arghhh!!" Leo mendorongku menjauhi dirinya.

"Tidak mungkin kau tidak kenapa-napa Leo, jangan bertingkah sok kuat dan beritahu Aku sekarang!" Memberinya perintah menurutku akan membuatnya berkata jujur, itu lebih baik.

"Mungkin masih ada efek yang tadi nak. Tubuhku memang tidak bisa pulih begitu saja, jadi jangan khawatir..."

Leo mengelus kepalaku perlahan. Tatapannya lembut dan seakan mengajakku untuk mempercayai kata-katanya. Leo lalu mulai berjalan didepanku, Aku mengikutinya dari belakang.

"Oh iya, Mungkin sekarang kau bisa memanggil bukumu kesini nak. Buku itu bisa menjadi penunjuk arah kita." Leo berbalik arah dan melihatku.

"Buku?. Maksudmu buku yang seperti Aldo punya?"

"Ya"

"Bagaimana pula caranya memanggil buku yang bahkan Aku tidak tahu wujudnya seperti apa?. Aku bahkan belum pernah memegangnya."

"Untuk penyihir sekelas dirimu. Mengeluarkan sihir bisa dengan modal konsentrasi dan membayangkan saja. Kau tidak tahu jika belum mencobanya" Jawab Leo dengan enteng.

"Ya.... ya.... Aku sudah sering mendengarnya" Ucapku tanpa semangat.

Aku melihat kedua telapak tanganku dengan lemas. Tangan itu begitu kosong tanpa sebuah benda diatasnya. Saat ini kucoba untuk mengadakan sesuatu yang tidak ada.

"Heh! Teorimu kali ini salah Leo... Buktinya...."

Sebuah buku kusam bersampul kulit muncul secara tiba-tiba diatas tanganku. Wajahku menunjukkan ekspresi yang luar biasa untuk kali ini.

"Lihat?. Ini bahkan bukan buku yang benar. Ini hanya buku kotor yang kutemui dikamar tadi huh.." Ucapku penuh sinis.

"Kau memanggilnya dengan baik nak, sungguh hebat"

Leo menepuk kedua tangannya sangat keras. Dia tersenyum kepadaku seakan Aku melakukan hal yang benar.

"Ya ya.... pujian yang bagus... huh!"

"Mungkin saja itu buku yang benar nak. Hanya saja Aku belum memahami kondisi sepertimu ini untuk saat ini... . Mungkin nanti... mungkin..."

Mata runcing Leo melihat kearah yang berbeda saat berbicara. Baru kali ini Aku melihatnya tidak merasa yakin.

"Lalu ini bagaimana?. Apakah kita akan berjalan tanpa tujuan seperti ini?"

"Tentu saja tidak nak. Untung saja kau memiliki pengawal pribadi sepertiku ini, kau dijamin tidak akan tersesat."

Leo lalu menunjuk sesuatu didepannya. Sebuah hamparan padang rumput kosong.

"Sekitar 2 km lagi terdapat Desa Nagh diseberang sana. Seorang informan akan menunggu kita di suatu restoran" Leo kembali melihat kearahku.

"Jadi kita akan kesana?"

"Ya, tentu saja." Jawab Leo dengan mantap.

"Berjalan kaki?" Tanyaku heran.

"Ya, tentu saja"

"Serius?"

"Apakah Aku tidak terlihat serius?" Leo melipat wajahnya penuh heran.

"Maksudku... kita bisa melakukan teleportasi bukan?. Walaupun bagiku itu seperti pergi sekolah dua kali bolak balik tetap saja jauh bukan?"

"Aku tidak menyarankan hal itu nak. Memindahkan objek butuh energi yang sangat besar. Aku saja hanya bisa berpindah sebanyak 4-5 kali dalam sehari, dan itu dalam wujud kucing. Mungkin dalam wujud manusia, Aku hanya bisa melakukannya 2 kali saja."

Leo menjelaskannya dengan panjang dan cepat, Aku sudah faham betul sifatnya ini.

"Oke-oke cukup. Aku tidak memintamu melakukannya kan?. Jadi tenang saja" Jawabku santai.

"Untuk penyihir sekelas dirimu, mungkin bisa melakukannya sekitar 10 kali dengan membawa dirimu dan wujud kucingku. Tetapi, untuk melakukan perpindahan dibutuhkan suatu titik lokasi---" Ucapan Leo terhenti karena Aku langsung menutup mulut Leo dengan telunjukku

"Jadi maksudmu kita hanya bisa pergi ketempat yang sudah pernah ditempati kan?"

"Ku-kurang lebih seperti itu" Leo menyentuh bibirnya.

Aku dan Leo kembali berjalan menyusuri padang rumput ini. Muka lemas ku tetap terpancar selama 10 menit perjalanan yang cukup membosankan. Angin sejuk dengan pelan melewatiku sembari di sinari oleh terik matahari yang tidak panas. Mungkin akan lebih menarik jika seekor monster muncul tiba-tiba di padang rumput yang terlalu damai ini.

.....

"Leo....., Apakah kita berjalan ke arah yang benar?. Bahkan ini rasanya sudah lebih dari 2 km dan kita tidak sampai didesa itu juga... hah... hah". Nafasku tersengal-sengal, sesekali kuurut kakiku yang mulai memberikan isyarat bendera putih.

Leo tetap berjalan tanpa memperhatikan kondisiku. Matanya menatap lurus pada satu tujuan, tidak terpengaruh dengan sekitar.

"Hei!?,, Hei kau mendengarku kan?"

Aku melayangkan tanganku didepan wajahnya. Dia tidak bergeming dan tetap melihat kedepan. Saking kesalnya, Aku berencana untuk mendahului dan berdiri didepannya.

"Nak, kita su..." Ucapan Leo terhenti.

DUG!!

"Aahhhh!! sakit!" Erangku kesakitan.

Sebuah dinding tak terlihat sepertinya menabrak dahiku dengan sempurna. Aku langsung terpental dan terjerembab diatas padang rumput ini. Leo langsung menghampiriku dengan cepat.

"Aah nak, padahal Aku sudah memperingatimu soal itu. Sini biar Aku jilat" Wajah Leo mendekat, ekspresinya cukup menjijikkan.

"Hah! Sudah sudah hentikan. Tidak apa-apa. Yang lebih penting cepat jelaskan hal ini." Aku menunjuk sesuatu didepanku.

"Oh ini.." Leo berdiri, lalu membersihkan rumput kering yang menempel dijubahnya.

"Selamat datang di Desa Nagh, Nona Arina!!"

"Hah?" Ucapku terheran.

"Ehm... Kau tidak melihatnya?. Tempat ini? Tempat i-n-i??" Leo menunjuk sesuatu didepannya dengan dua tangan dan juga memiringkan tubuhnya, seperti anak panah. Sungguh aneh.

"Maksudmu dinding tembus pandang ini adalah desa nah-apalah itu?" Aku lalu menyentuh benda ini, terlihat seperti kaca.

"Iii-yapp" Ucap Leo dengan lantang.

"Coba kau lihat dengan mata sihir, kau akan terkejut melihatnya"

"Aku tidak memilikinya Leo, jika dari awal sud-"

"Coba konsetrasikan sihirmu dimatamu, kau mungkin bisa melihatnya" Leo kembali mematahkan ucapanku untuk kesekian kalinya.

Aku mencoba memicingkan mataku, melebarkan mata, dan segala hal tentang mata sudah kucoba. Melakukannya saja sudah membuat mataku perih. Leo melihatku sambil menutup mulutnya, Aku yakin 100% dia mentertawakanku!.

Tiba-tiba Leo meletakkan tangannya diatas kepalaku. Dia benar-benar mempermainkanku.

"Ari~ kamu tidak melakukannya dengan benar looh" Sekarang nada bicara Leo terdengar seperti abangku. Leo mengacak-ngacak rambutku dengan cepat.

"Bisakah kau berhenti melakukannya hah!!"

Aku menjauhkan tangannya dengan paksa dari kepalaku. Emosi ku bertambah. Aku heran dengan sikapnya akhir-akhir ini.

"Kamu itu ya!! Arghhh" Aku menjambak rambut Leo dengan ganas.

"Bi-bisakah kau melihat kesana nak...? Kau mungkin akan terkejut..." Leo memegangi rambutnya sambil merintih kesakitan.

Sebuah desa diatas padang rumput luas terlihat dihadapanku. Ada banyak orang yang lalu lalang, ibu-ibu yang menjemur pakaian dan anak kecil yang bermain kejar kejaran pun terlihat. Aku berjalan penuh takjub melihat sekitar. Orang-orang memperhatikan kami dengan heran, Aku sih tidak terlalu peduli.

Beberapa anak kemudian mendekati kami, mereka mendekati Leo dengan girang, memengangi kakinya bahkan sampai bergelayut diatas bahunya. Ada pula yang langsung melompat dengan buas, mengincar punggungnya dan meminta untuk digendong.

"Pria berjubah hitam telah kembali!! Yeyy!" Para anak bersorak-sorai seperti memanggil anak-anak lainnya. Leo tampak senang namun juga kewalahan.

"Se-selamat datang di Desa Nagh, No-nona Ari-Arina..." Ucap Leo terbata-bata karena terganggu oleh anak-anak.

"Ehe.. Iya..."

Aku bingung harus berkata apa.