Chereads / Brave New Age (Bahasa) / Chapter 69 - Kemampuan Istimewa

Chapter 69 - Kemampuan Istimewa

02 Oktober 1274 AG - 08:00 Am

Southforest Dungeon - Pintu Masuk

—————

"Kamu jahat, Simian!" hardik Conna memukul-pukul pantat Simian dengan batang kayu.

Gadis itu masih ngomel sejak bangun tadi hingga seluruh perlatan camping dibenahi. Dia tidak terima karena Simian mencoret-coret mukanya. Walaupun gadis itu sudah membersihkannya, Mascara masih sakit perut mengingat wajah lucu Conna yang berkumis, berjenggot dan beralis tebal.

"Kamu jahat, Mascara! Berhenti tertawa! Hiks ..."

Gadis cengeng itu mulai mewek dan mengucek matanya dengan punggung tangan. Simian langsung membelai poni pirangnya untuk menenangkannya seperti biasa.

"Salah sendiri susah dibangunin. Sudahlah, maafkan aku. Ayo kita masuk," kata Simian penuh kelembutan. Dia berganti melirik Mascara dan memerintahnya. "Giliranmu, Nona pathfinder!"

Mascara mengangguk. Sebagai orang yang paling mengenal karakteristik lingkungan, si tomboy itu selalu berjalan di posisi paling depan. Dia memberi kode tangan untuk berhenti ketika lorong dungeon itu mulai gelap.

Dia mengamati dinding berlumut di sekitarnya. Seperti kebanyakan dungeon, lumut-lumut itu nampak bercahaya sehingga dia masih bisa melihat meski di dalam gua. Namun cahaya itu hanya terlihat di sekitaran 100 meter saja dari pintu masuk. Lebih dari itu yang ada hanyalah kegelapan di lanjutan lorong.

Setelah memastikan keadaan, dia mengambil batu dan melemparnya sekuat tenaga.

"Audakra ... Audavibro ..."

Mascara memejamkan mata dan komat-kamitkan dua kata aneh yang dia sendiri tidak tahu artinya. Walaupun dua kata itu terdengar konyol, tapi efeknya bukanlah lelucon. Setelah mantra skill itu terucap, pendengaran Mascara yang sejak awal sudah tajam menjadi jauh lebih mengerikan.

Setajam apakah pendengarannya?

Di telinga orang lain dentingan batu itu hanya berbunyi 'TUK'. Tapi di telinga Mascara, suara batu itu terdengar lebih kencang menggema dari yang seharusnya. Pantulan gema itu pun menggambarkan struktur ruangan serta informasi suara lain di jarak ratusan meter.

Setelah mengetahui seluk beluk ruangan gelap itu Mascara hendak komat-kamitkan mantra. Tapi dia lebih dulu menoleh ke anggota party-nya untuk menyampaikan sesuatu.

"Jangan ada yang kentut sembarangan. Itu akan membunuhku."

Setelah melihat ketiga rekannya mengangguk, dia mengucapkan lagi dua mantra sekaligus.

"Nazakra ... Odorosenso ..."

Seperti peringatannya, mantra skill itu melipat-gandakan indera penciumannya menjadi jauh lebih tajam dari hidung manusia biasa. Setelah beberapa kali mengendus seperti tikus, dia menyampaikan sebuah laporan.

"Tidak ada suara atau bau omegra 200 meter di depan," tukas Mascara sebelum menunjuk sisi kanan jalan di depannya yang gelap karena tidak ada lumut bercahaya. "Informasi di peta itu salah. Di sekitar 300m sisi kiri ada jebakan. Aku mencium bau lumut cahaya di sisi kanan sampai 400m."

Simian mengangguk dan tersenyum kagum.

"Struktur labirinnya?" tanya pria itu.

"Di depan kita ada pertigaan seperti huruf 'Y'. Aku bisa mendengar struktur lorongnya punya tinggi dan lebar sama. Kira-kira lima meter." Mascara menyodorkan peta yang baru dia coret-coret. "Bentuk lorong di labirin itu seperti jaring kotak-kotak sederhana. Tapi kalau kita salah jalan, kita bisa injak jebakan atau berputar-putar, Simian."

Simian mengangguk. Dia berganti melirik Conna dan bertanya, "Punya analisa lain, Nona intelek?"

"Mascara lebih berpengalaman untuk itu. Tapi kalau kamu mau teori empiris, menurutku kunci labirin itu dari lumut cahaya yang menempel di dinding dan langit-langit." Conna mencolek Mascara. "Tidak mencium bau omegra, kan?"

"Iya, kira-kira sampai 500 meter."

"Baiklah, aku pakai skill ini saja."

Conna mengacungkan jari imutnya. Jari telunjuk itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya begitu gadis itu melapalkan mantra. Secara perlahan seluruh lumut yang awalnya padam mulai menunjukan cahaya redup, yang kemudian semakin terang benderang seperti di luar ruangan.

Melihat skill spektakuler itu mata Simian kontan berbinar-binar.

"Kereeeen!!!"

Simian dan Vodi bertepuk tangan.

"Siapa dulu dong?" sambut Conna berkacak pinggang dan membusungkan dada besarnya. "Puja aku, hamba sahaya."

Mascara buang muka sekalipun dia menyimpan kekaguman yang sama. Dia tidak pernah tahan dengan sikap buruk Conna yang gemar sekali pamer. Karena si kecil itu mulai bertingkah seperti ratu, Mascara pun main colek dan mencibirnya.

"Sihirmu semakin kuat akhir-akhir ini."

Conna langsung ketus.

"Jangan samakan ilmu pengetahuan dengan omong kosong. Cabut kata-katamu!"

"Memang apa hubungannya sama ilmu pengetahuan?" Mascara bertanya masih dengan nuansa mencibir.

"Kamu lihat lumut-lumut itu? Aku selalu curiga cahaya mereka berasal dari matahari. Jadi aku belajar merancang skill untuk menyimpan cahaya matahari untuk mereka. Sederhana bukan?"

"Bagian mana yang sederhana? Tidak semua orang kutu buku sepertimu, Nona intelek tukang pamer."

"Sudah aku bilang aku menelitinya sendiri, hiks! Itu bukan dari buku, Mascara." Conna semakin tersinggung. Dia menggembungkan pipinya dan mulai menangis mengadu kepada Simian.

Mascara semakin sebal ketika si pengadu itu mulai menyodorkan rambutnya ke Simian untuk dielus.

"Dasar kucing!"

"Terserah itu sihir atau tidak. Skill mu keren, Conna!" sahut Simian menghibur. Dia melirik empat buah batang kayu di pinggang Vodi dan membuangnya. "Sekarang dan di masa depan, kita satu-satunya party yang enggak perlu repot-repot bawa obor di dungeon! Hahaha!"